• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Sabtu, 20 April 2024

Akhlak Tasawuf

Mbah Wahab Sang Santri Kelana, Teguhkan Keilmuan

Mbah Wahab Sang Santri Kelana, Teguhkan Keilmuan
Di tangan Mbah Wahab, NU selau menjadi pemain inti dalam konteks kenegaraan, KH Abdul Wahab Chasbullah, (Foto: NU Online).
Di tangan Mbah Wahab, NU selau menjadi pemain inti dalam konteks kenegaraan, KH Abdul Wahab Chasbullah, (Foto: NU Online).

Julukan santri kelana untuk KH Abdul Wahab Chasbullah dengan sapaan akrabnya Mbah Wahab dalam mencari ilmu bukan tanpa sebab. Secara kalkulasi, terdapat kurun waktu 20 tahun beliau mencari dan meneguhkan bahwa keilmuan adalah harga mati. 


Proses itu bermula ketika beliau berumur 13 tahun mulai nyantri, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti berguru atau belajar di Pesantren Langitan, Desa Mandungan, Widangan, Kecamatan Tuban, Jawa Tengah (Jateng). 


Kala itu diasuh oleh KH Muhammad Nur tahun 1852 sampai ke Makkah pada tahun 1910. Makkah menjadi rujukan Mbah Wahab untuk memantapkan keilmuanya karena waktu itu Makkah merupakan sentral dalam keilmuan Islam. Tulis Safrizal Rambe dalam buku biografi ‘Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU: Sang Pengerak Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Chasbullah,” halaman 29.


Komparasi dan internalisasi keilmuan yang dilakukan Mbah Wahab terhadap keilmuan yang didapatkanya dari Ulama Indonesia dan Makkah menjadikan beliau kaya akan sudut pandang. 


Mbah Wahab memiliki karakter tidak mudah kagetan atas segala fenomena kejadian yang baru. Sehingga, dapat menjadi moderat dalam berfikir ataupun dalam konteks gerakan. Itulah Mbah Wahab, meski beliau sudah dianugrahi status sosial yang tinggi sejak lahir, beliau tidak serta merta ongkang-ongkang kaki menikmati keistimewaanya.  


Berkat ilmu-ilmu yang telah telah dipelajari, menjadikan putra dari Pengaruh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur KH Hasbullah Said Mampu menjadi orang yang arif dan futuristik yaitu gagasan ide yang berorientsi ke masa depan dalam bentuk kreatif dan inovatif. 


Tidak heran, ketika beliau kembali ke tanah air banyak sekali gebrakan dan ide-ide segar yang dirumuskanya. Mulai dari geopolitik, nasionalisme, pendidikan, ekonomi, pers, organisasi dan politik. Begitu tulis Safrizal Rambe dalam buku yang sama di halaman 99. 


Di tangan Mbah Wahab, NU selau menjadi pemain inti dalam konteks kenegaraan, tidak dengan spirit ingin diakoni (Penyantun orang miskin), dikultuskan atau dipuja-puja apalagi untuk kepentingan paling jorok yaitu pragmatisme yang memiliki pemikiran cenderung sempit dan instant. 


Kita sebagai warga Nahdliyin hanyalah generasi penerus para alim ulama terdahulu. Sejengkalpun tidak akan pernah mampu menyamai keilmuan serta keteguhanya dalam berjuang. 


Waktu terus berjalan, hampir satu abad lamanya NU berdiri kokoh mengawal bumi pertiwi. Rasa-rasanya hari ini, siapapun itu orangnya. Sepertinya kurang lengkap kalau tidak ikut atau minimal mengklaim bahwa dia adalah warga Nahdliyin. 


Dari sosok Mbah Wahab, kita belajar bahwa perjuangan tidak cukup hanya dengan retorika semata. Kontribusi lebih mulia, dari pada berebut klaim sana-sini soal narasi.


Ahmad Safaruddin, Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aktivis Muda NU DKI Jakarta.


Akhlak Tasawuf Terbaru