Jakarta Raya

Peringati HUT ke-80 RI, Gus Yusron Shidqi Jelaskan Hirarki Pancasila

Selasa, 19 Agustus 2025 | 15:20 WIB

Peringati HUT ke-80 RI, Gus Yusron Shidqi Jelaskan Hirarki Pancasila

Gus Yusron Shidqi menyampaikan amanat dalam upacara peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI di Lapangan Pesantren Al-Hikam II Depok, Ahad (17/8/2025). (Foto: NU Online Jakarta)

Depok, NU Online Jakarta

Gus Yusron Shidqi menjelaskan konsep hirarki Pancasila sebagai lima sila yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam amanat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia di Lapangan Pesantren Al-Hikam II Depok, Ahad (17/8/2025).

 

Putra bungsu Kiai Hasyim Muzadi ini menyampaikan bahwa Pancasila memiliki struktur bertingkat yang harus dipahami secara berurutan. Dia menekankan bahwa setiap sila memiliki hubungan hierarkis yang tidak dapat diabaikan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

"Lima sila (Pancasila) yang dibacakan tadi menunjukkan hierarki manusia. Manusia sila pertama akan menghasilkan sila kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak ada sila kelima tanpa sila keempat," tegas Gus Yusron di hadapan para mahasantri, civitas akademika Pesantren Al-Hikam II Depok.

 

Putra bungsu Kiai Hasyim Muzadi ini menjabarkan bahwa sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak sekadar menjadi pengakuan terhadap keberadaan Allah, melainkan komitmen untuk menjadikan aturan agama sebagai dasar penentuan nilai. Dia menyatakan bahwa tanpa landasan ketuhanan, manusia mudah terombang-ambing dalam menilai baik dan buruk.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

"Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi fondasi nilai tauhid. Artinya, bukan hanya secara kognitif kita mengakui eksistensi Allah beserta sifat-sifat-Nya, tetapi juga sebagai komitmen bahwa nilai-nilai hidup ditentukan oleh aturan agama," ujarnya.

 

Gus Yusron menambahkan bahwa ketika seseorang tidak beragama, maka ukuran baik dan buruk baginya menjadi relatif. Dia mencontohkan bagaimana sesuatu yang dianggap buruk bisa saja dinilai baik, dan sebaliknya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

"Ketika seseorang tidak beragama, maka ukuran baik dan buruk baginya menjadi nisbi. Sesuatu yang dianggap buruk bisa saja dinilai baik, dan sebaliknya sesuatu yang baik bisa dianggap buruk," tambahnya.

 

Kiai muda ini menjelaskan bahwa setelah memahami sila pertama, barulah manusia dapat naik pada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dia menekankan ketidakmungkinan seseorang bisa berlaku adil dan beradab tanpa melaksanakan ibadah dan ketakwaan.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

"Jangankan kita ingin mencapai keadilan sosial, keberagamaan kita sebagai manusia Indonesia dalam sila pertama saja masih belum tuntas," ungkapnya.

 

Gus Yusron mempertanyakan bagaimana seseorang bisa mengatur orang lain agar adil dan beradab, jika kepada Tuhannya saja tidak beradab.

 

"Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatur orang lain agar adil dan beradab, jika kepada Tuhannya saja tidak beradab? Kepada dirinya sendiri sebagai manusia pun belum mampu berlaku adil dan beradab," ucap Putra bungsu Kiai Hasyim Muzadi.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Lebih lanjut, dia menyebutkan sila ketiga, Persatuan Indonesia, hanya bisa diwujudkan dengan keadilan dan keberadaban. Gus Yusron memberikan contoh historis tentang masa Arab pra-Islam untuk menguatkan argumennya.

 

"Tidak ada persatuan dalam kebengisan. Sejarah membuktikan, pada masa Arab pra-Islam, persatuan sulit dicapai karena kemanusiaan dirusak, keadilan diguncang, serta adab dan tata krama sosial dihancurkan."

 

Dia menegaskan bahwa untuk menjadi manusia sila ketiga, seseorang harus terlebih dahulu tuntas dalam keadilan dan keberagamaannya.

 

"Maka, untuk menjadi manusia sila ketiga, seseorang harus terlebih dahulu tuntas dalam keadilan dan keberagamaannya," tegas Gus Yusron.

 

Dalam menjelaskan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Gus Yusron mencontohkan bahwa pesantren merupakan miniatur negara. Dia menyatakan bahwa jika santri mampu mengelola organisasi kecil dengan komitmen dan dedikasi, maka itu akan menjadi bekal penting untuk mengurus bangsa.

 

"Kita memiliki sistem kenegaraan dengan wakil-wakil rakyat. Namun, kita tidak perlu jauh-jauh mengkritik orang di luar sana, karena pesantren ini sejatinya adalah miniatur negara," Gus Yusron memberikan analogi.

 

Dia mengingatkan para santri untuk tidak terlalu bermimpi mengurus Indonesia yang lebih besar jika belum mampu mengurus organisasi kecil dengan baik.

 

"Jika kita belum mampu mengurus organisasi kecil dengan baik, maka jangan terlalu bermimpi untuk bisa mengurus Indonesia yang lebih besar dan lebih cerah," ujarnya.

 

Pada sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Gus Yusron menyoroti ketidakadilan yang kerap berpihak hanya pada kelompok tertentu. Dia menggambarkan bagaimana keadilan seringkali hanya berlaku untuk kalangan terbatas dan uang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.

 

"Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, masih menjadi tantangan besar hingga hari ini. Keadilan seringkali hanya berlaku untuk kalangan terbatas, seakan-akan hanya berputar di lingkaran tertentu. Uang pun hanya beredar di antara orang-orang kaya saja (daulatan baynal aghniyā'i minkum)."

 

Gus Yusron menegaskan bahwa keadilan sosial tidak bisa berdiri sendiri dan harus ditopang oleh empat sila sebelumnya untuk mencapai puncak hirarki berbangsa dan bernegara.

 

"Karena itu, keadilan sosial tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Barulah pada akhirnya kita sampai pada puncak hirarki berbangsa dan bernegara: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND