• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 26 April 2024

Akhlak Tasawuf

Zakat yang Tertolak

Zakat yang Tertolak
sedekah, infaq, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya yang kita harapkan dapat membersihkan diri kita, harus berasal dari harta yang halal.
sedekah, infaq, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya yang kita harapkan dapat membersihkan diri kita, harus berasal dari harta yang halal.

Zakat merupakan persembahan seorang hamba yang dikumpulkan dan disalurkan kepada orang yang berhak. Sebagai sebuah ibadah wajib, ia harus dilakukan oleh umat Islam. Tetapi ibadah ini dapat diterima dan mungkin juga ditolak oleh Allah.


Allah SWT berfirman:


خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا...


Artinya, "Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka..." (Surat At-Taubah ayat 103).


Membaca penggalan ayat di atas, ada sebagian pihak yang salah paham. Terutama dalam memaknai kata تطهرهم (membersihkan) dan تزكيهم (menyucikan).


Ilustrasi kesalahpahaman tersebut antara lain misalnya, “Saya akan merasa nyaman untuk melakukan korupsi, gratifikasi, mark up, manipulasi dan jenis-jenis modus operandi keji lainnya di dalam meraup harta. Toh harta haram yang saya peroleh tersebut dapat dibersihkan dan disucikan sehingga menjadi halal, dengan cara membayar zakat atau sedekah dari sebagian harta tersebut.”


Ilustrasi di atas jelas sebuah miskonsepsi yang fatal. Bisa jadi karena ketidaktahuan. Atau, justru akibat semacam excuse untuk pembenaran diri.


Jika kita telaah, yang dimaksud oleh frasa "membersihkan" dan "menyucikan" adalah membersihkan diri dari noda-noda dosa dan kekikiran dan menyucikan serta mengangkat diri dari kehinaan derajat kemunafikan menuju ke derajat keikhlasan (Lihat Tafsir Al-Muntakhab dan Tafsir At-Thabari).


Rasulullah saw pernah bersabda:


لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول رواه مسلم


Artinya, “Tidak diterima shalat tanpa bersuci, juga tidak diterima sedekah (zakat) yang berasal dari hasil manipulasi,” (HR Muslim).


Bahkan, lebih detail lagi Rasulullah mewanti-wanti:


ولا يكسب عبد مالا من حرام فينفق فيه فيبارك له فيه، ولا يتصدق به فيقبل منه، ولا يترك خلف ظهره إلا كان زاده إلى النار، إن الله عز وجل لا يمحو السيىء، ولكن يمحو السيىء بالحسن، إن الخبيث لا يمحو الخبيث. رواه أحمد


Artinya, “Jika seorang hamba memperoleh harta dari jalan yang haram, kemudian ia menafkahkannya, maka ia tidak akan diberkati. Jika ia sedekahkan (zakati) harta, maka tidak akan diterima. Jika ia simpan harta itu, maka hanya akan menjadi bekalnya menuju ke neraka. Sungguh Allah tidak menghapus yang buruk (dosa) dengan menggunakan yang buruk (harta yang haram). Namun Allah menghapus yang buruk (dosa) dengan yang baik (harta yang halal). Sungguh yang kotor tidak dapat menghapus yang kotor,” (HR Ahmad).


Dari sini dapat dipahami bahwa sedekah, infaq, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya yang kita harapkan dapat membersihkan diri kita, harus berasal dari harta yang halal.


Mungkinkah kita berwudhu dengan air comberan yang kotor, bau lagi menjijikkan?


Saat berpuasa, kita mampu untuk tidak makan dan minum. Hubungan seksual suami-istri yang halal pun kita jauhi. Dengan puasa, kita terlatih menahan diri bahkan dari yang dihalalkan. Apalagi dari yang diharamkan, tentunya.


Semoga Ramadhan serta paket kurikulumnya dapat mengantarkan kita kembali peduli dan mawas diri dari segala yang haram. Sehingga momentum Idul Fitri dapat kita rayakan secara lebih esensial lagi, berupa komitmen untuk menjaga kebersihan lahir dan merawat kesucian batin ini. Amin.


KH A Muzaini Aziz, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta


Akhlak Tasawuf Terbaru