• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Senin, 29 April 2024

Fiqih

Demi Edukasi, LBM NU DKI Bolehkan Hukum Bangun Patung Pahlawan

Demi Edukasi, LBM NU DKI Bolehkan Hukum Bangun Patung Pahlawan
Tragedi G30S yg terjadi di Jakarta & Yogyakarta pada 30 September 1965_ Utk jasa para pahlawan ini, Presiden RI ke-2, Soeharto menggagas pembangunan Monumen Pancasila Sakti. (Foto: NU Online Jakarta/pinterest.com).
Tragedi G30S yg terjadi di Jakarta & Yogyakarta pada 30 September 1965_ Utk jasa para pahlawan ini, Presiden RI ke-2, Soeharto menggagas pembangunan Monumen Pancasila Sakti. (Foto: NU Online Jakarta/pinterest.com).

Deskripsi Masalah: Terdapat beberapa patung yang dibangun baik oleh pemerintah maupun perusahaan swasta atau perorangan. Motifasi dan tujuan pembangunannya pun beragam. Pemerintah membangun patung para pahlawan bertujuan untuk mengingat jasa para pahlawan, napak tilas, dan masyarakat dapat mengambil pelajaran dan meneladaninya, atau menjadikannya tempat rekreasi. Seperti Patung Pahlawan Bung Karno, Jenderal Sudirman, Gus Dur, dll.. Perusahaan swasta biasanya membuat patung bertujuan seni, yang sesuai dengan budaya dan kesenian daerah, seperti Patung Tiga Mojang di perumahan Harapan Indah Bekasi yang didemo warga.


Baru-baru ini juga pemerintah berencana akan membangun patung Bung Karno yang rencananya di Bandung Jawa Barat, yang menjadi kontroversial. Yang tidak bersetuju dan bahkan mengharamkan menyatakan bahwa patung Bung Karno yang akan dibangun itu dikhawatirkan akan dijadikan berhala. Sebagian yang bersetuju menyatakan bahwa itu bertujuan untuk menghormati jasa Bung Karno agar dijadikan pelajaran dan ikon pengingat kolektif masyarakat. Tentu saja yang dimaksudkan dalam persoalan ini adalah patung yang berada di ruang publik, bukan patung yang berada di ruang privat agama tertentu. 


Pertanyaan: 


Bagaimana hukumnya membangun patung pahlawan yang bertujuan untuk edukasi, menginatkan jasanya, menjadi teladan, dan kesadaran sejarah pada publik?
  

Jawaban:


Hukumnya tafshîl (terperinci) dan khilâfiyyah (perbedaan pendapat antar para ulama). Jika patung pahlawan itu dibangun separuh badan, maka seluruh ulama bersepakat memperbolehkan. Tetapi jika patung itu dibangun utuh dari kepala sampai kaki, menurut sebagian ulama dari Mazhab Malikiyah hukumnya adalah boleh dengan syarat pembangunan patung pahlawan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan publik, edukasi, dan kebaikan bersama. Sebagian ulama pun membolehkan patung yang bertujuan untuk edukasi. Karena patung pahlawan ini berguna untuk mengingatkan rakyat Indonesia agar selalu mengenang jasa-jasa pahlawan dan dapat meneruskan cita-cita mulia para pahlawan.


Penjelasan Para Ulama:


الفقه على مذاهب الأربعة الجزء الثاني، ٤۰
وذلك لأن الصورة إما أن تكون صورة لغير حيوان كشمس وقمر وشجر ومسجد، أو تكون صورة حيوان عاقل أو غير عاقل والقسم الأول جائز لا كلام فيه. وأما القسم الثاني فإن فيه تفصيل المذاهب على أن المحرم منه إنما حرم في نظر الشارع إذا كان لغرض فاسد كالتماثيل التي تصنع لتعبد من دون الله. فإن فاعل هذا له أسوأ الجزاء.وكذلك إذا ترتب عليها تشبه بالتماثيل أو تذكر لشهوات فاسدة، فإنها في هذه الحالة تكون كبيرة من الكبائر، فلا يحل عملها ولا بقاءها ولا التفرج عليها.
أما إذا كانت لغرض صحيح كتعلم وتعليم فإنها تكون مباحة لا إثم فيها، ولهذا استثنى بعض المذاهب لعب البنات «العرائس» الصغيرة الدمى، فإن صنعها جائز، وكذلك بيعها وشراؤها. لأن الغرض من ذلك إنما هو تدريب البنات الصغار على تربية الأولاد، وهذا الغرض كاف في إباحتها.
وكذلك إذا كانت الصورة مرسومة على ثوب مفروش أو بساط أو مخدة فإنها جائزة، لأنها في هذه الحالة تكون ممتهنة فتكون بعيدة الشبه بالأصنام، وبالجملة فإن غرض الشريعة الإسلامية إنما هو القضاء على الوثنية ومحوآثارها من جميع الجهات، فكل ما يدني منها أو يثير ذكراها فهومحرم، وما عدا ذلك فهو جائز.


“Hal itu karena gambar dapat berupa gambar selain binatang seperti matahari, bulan, pohon, atau masjid, atau dapat juga berupa gambar hewan yang berakal atau tidak berakal. Bagian pertama boleh dan tidak ada perdebatan mengenai itu. Adapun bagian kedua, beberapa mazhab punya ketentuan terperinci, bahwa yang diharamkan adalah apa yang diharamkan menurut syariat bila untuk tujuan yang rusak (tidak baik), seperti patung yang dibuat untuk disembah selain Allah. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka akan mendapat siksa yang paling buruk. Begitu pula jika menyerupai patung atau sesuatu yang mengundang syahwat (hawa nafsu), maka dalam hal ini termasuk dosa besar, tidak boleh dilakukan, dipelihara, atau dilihat.
Namun jika untuk tujuan yang benar, seperti belajar dan mengajar, maka diperbolehkan dan tidak ada dosa di dalamnya. Oleh karena itu sebagian mazhab mengecualikan anak-anak perempuan yang bermain “boneka” kecil. Membuat boneka-boneka itu diperbolehkan, juga memperjual-belikannya. Karena tujuannya adalah melatih anak-anak kecil perempuan untuk membesarkan anak, dan tujuan ini cukup untuk membolehkannya.
Begitu pula jika gambar tersebut digambar pada pakaian, permadani, atau bantal, maka diperbolehkan, karena dalam hal ini gambar tersebut jauh dari berhala. Singkatnya, tujuan hukum Islam adalah untuk memberantas paganisme dan menghapuskan jejak-jejaknya dari segala sisi, maka segala sesuatu yang mendekatinya atau yang mengingatkannya adalah haram dan selain itu boleh.”


وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي، ٢٦٧٠/٤
كما في الفقه على مذاهب الأربعة الجزء الثاني صحيفة 40 ما نصه :وأما القسم الثاني فإن فيه تفصيل المذاهب على أن المحرم منه إنما حرم في نظر الشرع إذا كان لغرض فاسد كالتماثيل التي تصنع لتعبد من دون الله وكذلك إذا ترتب عليها تشبه أو تذكر لشهوات فاسدة فإنها في هذه الحالة تكون كبيرة من الكبائر فلا يحل عملها ولا بقاؤها ولا التفرج عليها. أما إذا كانت لغرض صحيح كتعلم وتعليم فإنها تكون مباحة لا إثم فيها. ولهذا استثنى بعض المذاهب لعب البنات العرائس الصغيرة الدمى فإن صبغها جائز وكذلك بيعها وشراؤها لأن الغرض من ذلك إنما هو تدريب البنات الصغار على تربية الأولاد وهذا الغرض كاف في إباحتها. اهـ.
وكان التصوير الموجود في عهد النبوة الذي اتجه إليه النهي والتحريم هو الذي توافر فيه صفات ثلاث: صورة ماله روح من الإنسان والحيوان، وقصد التعظيم، ومضاهاة أو محاكاة خلق الله تعالى وفعله. والحكمة من التحريم: منع التشبه بعبادة الأوثان والأصنام، ومحاربة الشرك، وتوفير التعظيم لله وحده.


“Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, vol. 2, hal. 40, yang berbunyi: Adapun bagian kedua, beberapa mazhab punya ketentuan terperinci, bahwa yang diharamkan adalah apa yang diharamkan menurut syariat bila untuk tujuan yang rusak (tidak baik), seperti patung yang dibuat untuk disembah selain Allah. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka akan mendapat siksa yang paling buruk. Begitu pula jika menyerupai patung atau sesuatu yang mengundang syahwat (hawa nafsu), maka dalam hal ini termasuk dosa besar, tidak boleh dilakukan, dipelihara, atau dilihat.
Namun jika untuk tujuan yang benar, seperti belajar dan mengajar, maka diperbolehkan dan tidak ada dosa di dalamnya. Oleh karena itu sebagian mazhab mengecualikan anak-anak perempuan yang bermain “boneka” kecil. Membuat boneka-boneka itu diperbolehkan, juga memperjual-belikannya. Karena tujuannya adalah melatih anak-anak kecil perempuan untuk membesarkan anak, dan tujuan ini cukup untuk membolehkannya.
Gambar yang ada pada masa kenabian yang menjadi sasaran pelarangan dan pengharaman adalah yang mempunyai tiga ciri, yaitu: gambar yang mempunyai ruh dari manusia atau binatang dengan tujuan pengagungan, dan peniruan terhadap perciptaan dan tindakan Allah Swt.. Hikmah di balik larangan tersebut: mencegah peniruan dalam menyembah berhala, memberantas kemusyrikan, dan pengagungan hanya kepada Allah semata.”


وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي، ٢٦٧١/٤
قال الطحاوي: إنما نهى الشارع أولاً عن الصور كلها، وإن كانت رقماً؛ لأنهم كانوا حديث عهد بعبادة الصور، فنهى عن ذلك جملة، ثم لما تقرر نهيه عن ذلك، أباح ما كان رقماً في ثوب للضرورة إلى اتخاذ الثياب، وأباح ما يمتهن؛ لأنه يأمن على الجاهل تعظيم ما يمتهن، وبقي النهي فيما لا يمتهن.


“Al-Thahawi berkata: syariat pertama-tama melarang semua gambar, meskipun itu angka. Karena mereka baru mengenal penyembahan patung, maka semua itu dilarang. Kemudian, ketika larangan itu telah diputuskan, syariat membolehkan gambar yang berupa angka pada kain untuk keperluan penggunaan pakaian, dan memperbolehkan untuk keperluan pekerjaan; karena aman bagi orang bodoh untuk mengagungkan apa yang ia kerjakan, sedangkan keharamannya tetap pada apa yang bukan keperluan untuk pekerjaan.


مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ١٠٢/١٢
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ تَصْوِيرِ ذَوَاتِ الأْرْوَاحِ مِنَ الإْنْسَانِ أَوِ الْحَيَوَانِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْوَالٍ:
الْقَوْل الأْوَّل:إِنَّ ذَلِكَ غَيْرُ حَرَامٍ. وَلاَ يَحْرُمُ مِنْهُ إِلاَّ أَنْ يَصْنَعَ صَنَمًا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ تَعَالَى، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {قَال أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ} وَلِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأْصْنَامِ - وَاحْتَجَّ الْقَائِلُونَ بِالإبَاحَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي حَقِّ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: {يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيل وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ}  قَالُوا: وَشَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ} .
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَقِّ الْمُصَوِّرِينَ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ . وَفِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ وَقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ خَلْقًا كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً . قَالُوا: وَلَوْ كَانَ هَذَا عَلَى ظَاهِرِهِ لاَقْتَضَى تَحْرِيمَ تَصْوِيرِ الشَّجَرِ وَالْجِبَال وَالشَّمْسِ وَالْقَمَرِ، مَعَ أَنَّ ذَلِكَ لاَ يَحْرُمُ بِالاِتِّفَاقِ، فَتَعَيَّنَ حَمْلُهُ عَلَى مَنْ قَصَدَ أَنْ يَتَحَدَّى صَنْعَةَ الْخَالِقِ عَزَّ وَجَل وَيَفْتَرِيَ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ يَخْلُقُ مِثْل خَلْقِهِ.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَقِّ الْمُصَوِّرِينَ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ . قَالُوا: لَوْ حُمِل عَلَى التَّصْوِيرِ الْمُعْتَادِ لَكَانَ ذَلِكَ مُشْكِلاً عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ. فَإِنَّ أَشَدَّ مَا فِيهِ أَنْ يَكُونَ مَعْصِيَةً كَسَائِرِ الْمَعَاصِي لَيْسَ أَعْظَمَ مِنَ الشِّرْكِ وَقَتْل النَّفْسِ وَالزِّنَا، فَكَيْفَ يَكُونُ فَاعِلُهُ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا، فَتَعَيَّنَ حَمْلُهُ عَلَى مَنْ صَنَعَ التَّمَاثِيل لِتُعْبَدَ مِنْ دُونِ اللَّهِ.
- وَاحْتَجُّوا أَيْضًا بِمَا يَأْتِي مِنَ اسْتِعْمَال الصُّوَرِ فِي بَيْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُيُوتِ أَصْحَابِهِ، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ تَعَامُلُهُمْ بِالدَّنَانِيرِ الرُّومِيَّةِ وَالدَّرَاهِمِ الْفَارِسِيَّةِ دُونَ نَكِيرٍ، وَبِالأحْوَال الْفَرْدِيَّةِ لِلاِسْتِعْمَال الْوَاقِعِ مِنْهُمْ مِمَّا يَرِدُ ذِكْرُهُ فِي تَضَاعِيفِ هَذَا الْبَحْثِ، دُونَ تَأْوِيلٍ.
وَقَدْ نَقَل الأْلُوسِيُّ هَذَا الْقَوْل فِي تَفْسِيرِهِ عِنْدَ تَفْسِيرِ الآْيَةِ "١۳" مِنْ سُورَةِ سَبَأٍ، حَيْثُ ذَكَرَ أَنَّ النَّحَّاسَ وَمَكِّيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَابْنَ الْفَرَسِ نَقَلُوهُ عَنْ قَوْمٍ وَلَمْ يُعَيِّنْهُمْ. مِنْ أَجْل ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا الْقَوْل يُغْفِل ذِكْرَهُ الْفُقَهَاءُ فِي كُتُبِهِمُ الْمُطَوَّلَةِ وَالْمُخْتَصَرَةِ، وَيَقْتَصِرُونَ فِي ذِكْرِ الْخِلاَفِ عَلَى الأْقْوَال الآْتِيَةِ:
الْقَوْل الثَّانِي:وَهُوَ مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ وَبَعْضِ السَّلَفِ، وَوَافَقَهُمْ ابْنُ حَمْدَانَ مِنَ الْحَنَابِلَةِ، أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ مِنَ التَّصَاوِيرِ إِلاَّ مَا جَمَعَ الشُّرُوطَ الآْتِيَةَ:
الشرط الأول: أَنْ تَكُونَ صُورَةُ الإْنْسَانِ أَوِ الْحَيَوَانِ مِمَّا لَهُ ظِلٌّ، أَيْ تَكُونُ تِمْثَالاً مُجَسَّدًا، فَإِِنْ كَانَتْ مُسَطَّحَةً لَمْ يَحْرُمْ عَمَلُهَا، وَذَلِكَ كَالْمَنْقُوشِ فِي جِدَارٍ، أَوْ وَرَقٍ، أَوْ قُمَاشٍ. بَل يَكُونُ مَكْرُوهًا. وَمِنْ هُنَا نَقَل ابْنُ الْعَرَبِيِّ الإْجْمَاعَ عَلَى أَنَّ تَصْوِيرَ مَا لَهُ ظِلٌّ حَرَامٌ.
الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ كَامِلَةَ الأَْعْضَاءِ، فَإِِنْ كَانَتْ نَاقِصَةَ عُضْوٍ مِمَّا لاَ يَعِيشُ الْحَيَوَانُ مَعَ فَقْدِهِ لَمْ يَحْرُمْ، كَمَا لَوْ صَوَّرَ الْحَيَوَانَ مَقْطُوعَ الرَّأْسِ أَوْ مَخْرُوقَ الْبَطْنِ أَوِ الصَّدْرِ. الشرط الثالث: 
الشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَصْنَعَ الصُّورَةَ مِمَّا يَدُومُ مِنَ الْحَدِيدِ أَوِ النُّحَاسِ أَوِ الْحِجَارَةِ أَوِ الْخَشَبِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، فَإِنْ صَنَعَهَا مِمَّا لاَ يَدُومُ كَقِشْرِ بِطِّيخٍ أَوْ عَجِينٍ لَمْ يَحْرُمْ؛ لأِنَّهُ إِذَا نَشَفَ تَقَطَّعَ. عَلَى أَنَّ فِي هَذَا النَّوْعِ عِنْدَهُمْ خِلاَفًا، فَقَدْ قَال الأْكْثَرُ مِنْهُمْ: يَحْرُمُ وَلَوْ كَانَ مِمَّا لاَ يَدُومُ.
وَنُقِل قَصْرُ التَّحْرِيمِ عَلَى ذَوَاتِ الظِّل عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ أَيْضًا كَمَا ذَكَرَهُ النَّوَوِيُّ .وَقَال ابْنُ حَمْدَانَ مِنَ الْحَنَابِلَةِ: الْمُرَادُ بِالصُّورَةِ أَيِ: الْمُحَرَّمَةِ مَا كَانَ لَهَا جِسْمٌ مَصْنُوعٌ لَهُ طُولٌ وَعَرْضٌ وَعُمْقٌ.
الْقَوْل الثَّالِثُ:أَنَّهُ يَحْرُمُ تَصْوِيرُ ذَوَاتِ الأْرْوَاحِ مُطْلَقًا، أَيْ سَوَاءٌ أَكَانَ لِلصُّورَةِ ظِلٌّ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ. وَتَشَدَّدَ النَّوَوِيُّ حَتَّى ادَّعَى الإْجْمَاعَ عَلَيْهِ. وَفِي دَعْوَى الإجْمَاعِ نَظَرٌ يُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي. وَقَدْ شَكَّكَ فِي صِحَّةِ الإْجْمَاعِ ابْنُ نُجَيْمٍ كَمَا فِي الطَّحْطَاوِيِّ عَلَى الدُّرِّ، وَهُوَ ظَاهِرٌ، لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ لاَ يَرَوْنَ تَحْرِيمَ الصُّوَرِ الْمُسَطَّحَةِ. لاَ يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ. وَهَذَا التَّحْرِيمُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ هُوَ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ. وَيُسْتَثْنَى عِنْدَهُمْ بَعْضُ الْحَالاَتِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهَا أَوِ الْمُخْتَلَفِ فِيهَا مِمَّا سَيُذْكَرُ فِيمَا بَعْدُ. 
وَالتَّصْوِيرُ الْمُحَرَّمُ صَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ مِنَ الْكَبَائِرِ. قَالُوا: لِمَا فِي الْحَدِيثِ مِنَ التَّوَعُّدِ عَلَيْهِ بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ.


“Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menggambarkan makhluk hidup, baik manusia maupun hewan, berdasarkan tiga pendapat: Pendapat pertama: Hal itu tidak haram. Tidak diharamkan kecuali membuat berhala untuk disembah selain Allah Swt., sesuai dengan firman-Nya: (Ibrahim berkata: ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.’), dan sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw..: (Allah dan Rasul-Nya melarang penjualan arak, daging bangkai, babi, dan berhala). Dan orang-orang yang mengatakan hal itu boleh berargumen dengan menggunakan firman Allah Swt. tentang Sulaiman as.: (Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam). Mereka berkata: Dan orang-orang sebelum kami adalah syariat bagi kami, sesuai dengan firman Allah Swt..: (Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.)


Mereka berargumen dengan sabda Nabi Muhammad Saw. mengenai para penggambar/pelukis/pembuat patung yang membuat sesuatu yang serupa dengan ciptaan Allah. Dan dalam sebagian riwayat: mereka yang meniru ciptaan Allah. Dan sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan dari Tuhannya: (Barangsiapa yang lebih zhalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku, hendaklah ia cipta biji sawi, atau biji tepung, atau biji gandum!). Mereka berkata: kalau ini diambil makna zhahirnya, maka wajib mengharamkan penggambaran pohon, gunung, matahari, dan bulan, padahal hal itu tidak haram secara ijma’. Pengharaman ini perlu dikenakan kepada siapa pun yang bermaksud menantang penciptaan Allah Swt. dan mendaku bahwa ia telah menciptakan ciptaan yang serupa dengan ciptaan-Nya.


Mereka beragumen dengan sabda Nabi Saw. mengenai para penggambar/pelukis/pembuat patung: (Sesungguhnya yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para perupa [pembuat seni rupa; pelukis atau pembuat patung]). Mereka berkata: kalau dimaknai dengan penggambaran biasa, maka menurut kaidah syariat akan bermasalah. Dosa yang paling berat, seperti dosa-dosa lainnya, tidak lebih besar dari kemusyrikan, pembunuhan, dan perzinaan. Lalu bagaimana mungkin orang yang melakukannya bisa menjadi orang yang paling disiksa? Artinya, hadits tersebut ditujukan untuk orang yang membuat patung untuk disembah selain Allah.


Mereka juga berargumen dengan penggunaan beberapa gambar di rumah Nabi Muhammad Saw. dan rumah para sahabatnya, antara lain, transaksi mereka dengan dinar Romawi dan dirham Persia tanpa ada keberatan, dan dengan keadaan masing-masing orang yang juga menggunakan itu. Sebenarnya banyak contoh yang bisa disebutkan dalam pembahasan ini tanpa memerlukan takwil.


Al-Alusi mengutip perkataan ini dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat 13 dari Surat Saba’, di mana ia menyebutkan bahwa Al-Nahhas, Makki bin Abi Thalib, dan Ibnu al-Faras menceritakan tentang suatu kaum dan tidak menyebutkannya secara spesifik. Oleh karena itu, para ahli fikih lalai menyebutkan perkataan ini dalam kitab mereka yang panjang dan singkat, dan mereka membatasi diri hanya menyebutkan perbedaan pendapat pada pendapat yang paling kuat.


Pendapat kedua: pendapat mazhab Maliki dan sebagian ulama salaf, dan Ibnu Hamdan dari mazhab Hanbali sependapat dengan mereka, bahwa tidak dilarang membuat gambar kecuali yang menggabungkan beberapa hal berikut ini:


Pertama: gambar orang atau binatang haruslah yang ada bayangannya, yaitu harus berupa patung bentuk jasad (mujassad), jika datar maka tidak dilarang membuatnya seperti lukisan/ukiran di dinding, kertas, atau kain, tetapi makruh. Oleh karena itu, Ibnu al-Arabi menyampaikan ijma’ bahwa membuat sesuatu yang mempunyai bayangan adalah haram.


Kedua: harus mempunyai organ yang lengkap, jika ada anggota tubuh yang hilang sehingga binatang tersebut tidak dapat bertahan hidup, maka tidak haram, seperti menggambar binatang tanpa kepala, atau perut atau dada telah ditusuk.


Ketiga: patung dibuat dari sesuatu yang tahan lama, misalnya besi, tembaga, batu, kayu, atau sejenisnya. Jika dibuat dari sesuatu yang tidak tahan lama, maka tidak diharamkan, seperti kulit semangka atau adonan; karena kalau kering akan rusak. Namun ada perbedaan pendapat mengenai jenis ini, sebagian besar dari mereka mengatakan: haram meskipun dibuat dari sesuatu yang tak tahan lama.


Pembatasan larangan bagi bentuk sesuatu yang mempunyai bayangan juga diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, sebagaimana disebutkan oleh al-Nawawi. Ibnu Hamdan, seorang ulama mazhab Hanbali berkata: Yang dimaksud dengan gambar adalah; yang dilarang adalah sesuatu yang dibuat mempunyai badan berdasarkan ukuran panjang, lebar, dan dalam.
Pendapat ketiga: dilarang keras menggambar makhluk hidup, baik yang ada bayangannya maupun tidak. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Al-Nawawi menjadi lebih ketat sampai ia membuat ijma’ mengenai hal itu. Dalam klaim ijma’ ada pendapat yang diketahui berikut ini. Ibnu Nujaim, begitu juga dengan al-Tahtawi, meragukan keabsahan ijma’ tersebut, dan hal ini terlihat berdasarkan apa yang telah disebutkan di atas, bahwa sekelompok ulama Maliki tidak melarang gambar yang berbentuk datar. Mazhab mereka tidak berbeda dalam hal ini. Menurut mayoritas ulama larangan ini bersifat umum. Mereka mengecualikan beberapa kasus di mana terdapat kesepakatan atau ketidaksepakatan, yang akan disebutkan kemudian.
Para ulama Hambali menyatakan bahwa membuat gambar/patung yang dilarang adalah dosa besar. Mereka berkata: Karena adanya ancaman dalam hadits, yang mana Nabi Muhammad Saw.: (Sesungguhnya yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para perupa [pembuat seni rupa; pelukis atau pembuat patung]).”


قال ابن قدامة الحنبلي في "المغني" (٧/٢١٦، دار احياء التراث العربي): "إذا كان في ابتداء التصوير صورة بدن بلا رأس، أو رأس بلا بدن، أو جعل له رأس وسائر بدنه صورة غير حيوان، لم يدخل في النهي: لأن ذلك ليس بصورة حيوان. 
وقد استثنى الفقهاء من حرمة التماثيل ما كانت فيه المصلحة، كلعب الأطفال ووسائل لإيضاح في التعليم، لأن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أقر وجود العرائس عند عائشة رضي الله عنها، وأجاز أصبغ ابن الفرج من المالكية إذا كان من نحو حلوي أو عجين. 
وبناء على ذلك وفي واقعة السؤال: فإنه لايجوز صناعة التماثيل المكتملة من المواد التي تبقى لمدد طويلة لذوات الأرواح من إنسان أو حيوان. أما التماثيل غير المكتملة أو تلك التي فيها عيب يمنع بقاء الحيوان على هيئتها في الطبيعة حيا، أو تلك التي لايوجد حيوان على هيئتها في الطبيعة، أو تلك التي صنعت من مواد لا تبقى كالعجين مثلا، أو تلك التي تتخذ لمصلحة معتبرة شرعا كالأغراض التعليمية أو لعب الأطفال، أو غير ذلك مما لا تنطبق عليه شروط الحرمة فجائز شرعا. 


"Di dalam kitab al-Mughniy (7/216, Dar Ihya al-Turats al-Arabi) Ibnu Qudamah berkata: 'Jika gambar yang dibuat adalah gambar badan tanpa kepala, atau kepala tanpa badan, atau dibuatkan kepala namun seluruh badannya berbentuk selain hewan, itu tidak masuk dalam larangan: karena itu bukan gambar hewan. 
Para ahli fikih memberikan pengecualian terkait keharaman patung jika pada patung tersebut terdapat kemaslahatan, seperti mainan anak-anak dan alat-alat peraga dalam pengajaran, karena Nabi Saw. mengakui (membiarkan) kebedaraan boneka-boneka di sini Aisyah ra.. Dan Ashbagh ibn al-Farj dari mazhab Maliki membolehkan patung jika terbuat dari manisan atau adonan. 
Berdasarkan hal itu terkait pertanyaan tersebut: sesungguhnya tidak boleh membuat patung-patung utuh/lengkap dari bahan-bahan yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama (tahan lama) untuk hal-hal yang bernyawa berupa manusia atau hewan. Adapun patung-patung tak utuh/lengkap, atau cacat yang dalam kehidupan normal tidak akan bertahan hidup dengan keadaan cacat demikian, atau tidak ada hewan seperti itu dalam kehidupan normal, atau yang dibuat dari bahan-bahan yang tak bertahan lama seperti adonan, atau yang dibuat untuk suatu kemaslahatan yang diakui/diterima secara syariat, seperti untuk tujuan-tujuan pengajaran atau mainan anak-anak, atau selain itu yang tidak memenuhi syarat keharaman, maka dibolehkan secara syariat." (Al-Fatawa al-Islamiyah, Dar al-Iftaa al-Mashriyah, jilid. 33, Kairo: Dar al-Iftaa al-Mashriyah, 2021, hal. 61).

Untuk keterangan pelengkap bisa dilihat dalam cerita tentang Rasulullah Saw. yang tidak menghapus lukisan Nabi Isa as. dan Bunda Maria yang disebutkan di dalam kitab Akhbâr Makkah wa mâ Jâ`a fîhâ min al-Âtsâr, karya Imam Abu al-Walid Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraqi (w. 250 H), hal. 239, sebagai berikut:


ووضع اكفيه على صورة عيسى ابن مريم وأمه وقال: امحوا جميع الصور إلا ما تحت يدي، ورفع يديه عن عيسى ابن مريم وأمه. 


“Rasulullah Saw. meletakkan tangannya pada gambar Isa putra Maryam dan ibunya seraya berkata, ‘Hapuslah semua gambar kecuali yang ada di bawah tanganku,’ dan beliau melepaskan tangannya dari Isa putra Maryam dan ibunya.” 


Keterangan lain disebutkan di dalam kitab Fath al-Bârîy karya Ibnu Hajar al-Asqalani, dan kitab Târîkh al-Islâm karya Abu Abdillah al-Dzahabi, vol. 1, hal. 73, sebagai berikut:


تاريخ الإسلام لأبي عبد الله الذهبي، ۷۳/١
وفي الحديث عن ابن أبي نجيح عن أبيه عن حويطب بن عبد العزى وغيره: فلما كان يوم الفتح دخل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إلى البيت فأمر بثوب فبل بماء وأمر بطمس تلك الصور ووضع كفيه على صورة عيسى وأمه وقال: امحوا الجميع إلا ما تحت يدي. رواه الأزرقي. ابن جريج قال: سأل سليمان بن موسى الشامي عطاء بن أبي رباح. وأنا أسمع: أدركت في البيت تمثال مريم وعيسى؟ قال: نعم أدركت تمثال مريم مزوقا في حجرها عيسى قاعد وكان في البيت ستة أعمدة سواري وكان تمثال عيسى ومريم في العمود الذي يلي الباب فقلت لعطاء: متى هلك؟ قال في الحريق زمن ابن الزبير قلت: أعلى عهد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - تعني كان؟ قال: لا أدري وإني لأظنه قد كان على عهده. قال داود بن عبد الرحمن عن ابن جريج: ثم عاودت عطاء بعد حين فقال: تمثال عيسى وأمه في الوسطى من السواري. قال الأزرقي: ثنا داود العطار عن عمرو بن دينار قال: أدركت في الكعبة قبل أن تهدم تمثال عيسى وأمه قال داود: فأخبرني بعض الحجبة عن مسافع بن شيبة: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: يا شيبة امح كل صورة إلا ما تحت يدي قال: فرفع يده عن عيسى ابن مريم وأمه. قال الأزرقي عن سعيد بن سالم حدثني يزيد بن عياض بن جعدبة عن ابن شهاب: أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل الكعبة وفيها صور الملائكة فرأى صورة إبراهيم فقال: قاتلهم الله جعلوه شيخا يستقسم بالأزلام ثم رأى صورة مريم فوضع يده عليها فقال: امحوا ما فيها إلا صورة مريم. ثم ساقه الأزرقي بإسناد آخر بنحوه وهو مرسل ولكن قول عطاء وعمرو ثابت وهذا أمر لم نسمع به إلى اليوم. 


“Dan dalam hadits dari Ibnu Abi Najih, dari ayahnya, dari Huwaitab bin Abdil Uzza dan lainnnya: ketika hari penaklukan itu, Rasulullah Saw. memasuki Ka’bah dan memerintahkan untuk diambilkan kain, kemudian membasahinya dengan air dan memerintahkan untuk menghapus gambar-gambar. Rasulullah Saw. meletakkan tangannya pada gambar Isa putra Maryam dan ibunya seraya berkata, ‘Hapuslah semua gambar kecuali yang ada di bawah tanganku,’ dan beliau melepaskan tangannya dari Isa putra Maryam dan ibunya. Diriwayatkan oleh Al-Azraqi. Ibnu Juraij berkata: Sulaiman bin Musa al-Syami bertanya kepada Atha` bin Abi Rabah. Dan aku mendengar: Apakah kau mendapati di dalam Ka’bah patung Maryam dan Isa? Atha` berkata: ‘Ya, aku menemukan patung Maryam memangku Isa terukir di Ka’bah. Di dalam Ka’bah terdapat enam tiang, dan patung Yesus dan Maria berada pada tiang di sebelah pintu.’ Kemudian aku berkata kepada Atha`: ‘Kapan apakah itu rusak?’ Ia mengatakan tentang kebakaran pada masa Ibnu al-Zubair. Aku berkata: ‘Apakah maksudmu itu terjadi pada pada masa Rasulullah Saw.?’ Ia berkata: ‘Aku tidak tahu, tetapi aku pikir itu terjadi pada masanya.’ Dawud bin Abdirrahman berkata dari Ibnu Juraij: ‘Beberapa saat kemudian Atha` berkata: ‘Patung Yesus dan ibunya ada di tengah pilar.’ Al-Azraqi berkata: ‘Dawud Al-Attar meriwayatkan kepada kami berdasarkan riwayat Amr bin Dinar yang berkata: ‘Aku mendapati patung Isa dan ibunya di dalam Ka’bah sebelum dibongkar.’ Dawud berkata: ‘Beberapa orang al-Hajba memberitahuku dari Musafih bin Syaibah, bahwa Nabi Saw. bersabda: (Wahai Syaibah, hapuslah semua gambar kecuali yang ada di bawah kedua tanganku). Kemudian beliau mengangkat tangannya dari Isa putra Maryam dan ibunya. Al-Azraqi berkata dari Sa’id bin Salim: ‘Yazid bin Ayadh bin Ja’dbah menceritakan kepadaku dari Ibnu Syihab, bahwa Nabi Muhammad Saw. memasuki Ka’bah, dan di dalamnya terdapat gambar-gambar Malaikat, lalu beliau melihat gambar Ibrahim dan berkata: (Semoga Allah memerangi mereka. Mereka telah menjadikannya seorang laki-laki tua yang bersumpah dengan anak panah). Kemudian beliau melihat gambar Maryam, dan beliau meletakkan tangannya di atasnya seraya berkata: (Hapus apa yang ada di dalamnya kecuali gambar Maryam). Kemudian Al-Azraqi menghubungkannya dengan sanad lain yang serupa dengannya, dan itu adalah mursal, namun pernyataan Atha` dan Amr itu terbukti, dan ini adalah sesuatu yang belum kita dengar sampai saat ini.”


Di dalam kitab Fath al-Bârîy, vol. 8, hal. 21 dikisahkan bahwa Sulaiman bin Musa bertanya kepada Atha` bin Abi Rabah, “Apakah kau mendapati patung di Ka’bah?” Atha` menjawab, “Ya, aku mendapati patung Bunda Maria memangku Yesus terukir di Ka’bah.”
Patung Isa? Patung Maryam? Di Ka’bah? Bagaimana bisa? Ya, benar. Patung ini tidak dihilangkan Nabi Saw. saat berhala-berhala Arab dihancurkan, sebagaimana dijelaskan salah satunya di dalam kitab Akhbâr Makkah (vol. 1, hal. 249) karya Abu al-Walid al-Azraqi. Al-Azraqi menulis, “Nabi Saw. menyuruh Fadhal bin Abbas membawa kain yang dibasahi air Zamzam.” Kemudian Nabi Saw. meletakkan tangannya di atas lukisan Isa dan Maryam seraya berkata, “Hapus semua lukisan ini kecuali yang ada di bawah kedua tanganku.’ Maka semua lukisan itu dihapus kecuali lukisan Isa dan Maryam.”


Meskipun hadits ini dha’îf (lemah) secara transmisi, namun hadits ini tsâbit li ghayrihi (shahîh karena hal lain). Hal lain yang dimaksud adalah pengakuan Atha` bin Abi Rabah bahwa ia sempat melihat lukisan itu. Lukisan Isa dan Maryam ini baru hilang saat Ka’bah mengalami kerusakan pada masa Ibnu Zubair.


Artikel diatas telah disahkan oleh Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi dan Tim Perumus KH Asnawi Ridwan, KH Taufik Damas, KH Mulawarman Hannase, dan KH Ahmad Mahrus Iskandar, pada 17 September 2023.


Fiqih Terbaru