• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 19 April 2024

Nasional

Imbauan PWNU DKI Jakarta Terkait Pilkada

Imbauan PWNU DKI Jakarta Terkait Pilkada
Jakarta, NU Online
Pilkada DKI Jakarta yang telah memasuki putaran kedua pencoblosan semakin menunjukan eskalasi konflik. Untuk itu diharap semua pihak mampu menahan diri dan mengedepankan kepentingan bangsa.

Demikian disampaikan Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta KH Ahmad Zahari, Kamis (30/3). Ia mengimbau agar masyarakat memilih pemimpin sesuai dengan keinginan hatinya (nurani), bukan berdasarkan desakan atau anjuran siapa pun, apalagi bersifat memaksa.

"PWNU mengimbau untuk memilih semua, siapa saja yang disenengin, coblos," tegas Kiai Zahari ketika memberikan keterangan usai diskusi publik bertema "Kepemimpinan dalam Islam" yang digelar oleh Komunitas IRMA di Posko Kemuning, Pegangsaan Dua, Menteng, Jakarta Pusat.

Sementara itu, terkait persoalan agama yang kerap dimainkan dalam Pilkada DKI Jakarta, ia hanya meyakini bahwa ajaran agama selalu menganjurkan pada kebaikan. Tetapi, harus dipisahkan dengan memilih pemimpin dalam konteks Pilkada di Indonesia. Sebab, persoalan pilihan tergantung dari setiap individu masing-masing.

"Tergantung individunya. Kalau agama menganjurkan untuk kebaikan ya ikutilah, kan begitu saja," ungkapnya.

Sedangkan terkait tempat ibadah yang dijadikan sebagai ajang kampanye dan menyerang mereka yang berbeda penafsiran dalam kebolehan memilih pemimpin non-muslim,  ia mengingatkan bahwa rumah ibadah adalah tempat umum sehingga tidak sebaiknya digunakan sebagai sarana melakukan orasi politik, terlebih khutbah keagamaan yang bersifat takfiri dan bernada kebencian,

"Masjid adalah untuk rumah bersama, siapa saja tidak hanya untuk satu pengikut calon gubernur atau cawagub atau presiden atau bupati. Kalau dalam masjid mestinya umum-umum saja (khutbah) karena tidak hanya satu orang, satu kelompok. Khutbah keagamaan jangan jadi alat kampanye kebencian untuk yang berbeda," imbaunya.

Sebagaimana diketahui, permainan politik identitas yang berbau agama mewarnai berjalannya Pilkada DKI. Sebut saja, belum lama ini terpasang spanduk bernada provokatif yang secara tidak langsung membuat masyarakat Jakarta tidak memilih pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur tertentu. 

Kepemimpinan agama dan politik

Senada, Syafiq Hasyim intelektual muda NU dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa kepemimpinan agama tidak sama dengan kepemimpinan politik.

"Kepemimpimpinan (politik) tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan agama. Tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan sosial. Tidak bisa disandera dengan kepentingan primordial," kata Syafiq yang saat ini menjabat sebagai salah seorang Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU).

Syafiq meminta masyarakat tidak mendasarkan pilihan calon pemimpin dengan dasar agamanya dalam Pilkada DKI Jakarta. Yang harus kita junjung, adalah norma keadilan.

"Maqoshidus Syariah dalam konsep Negara adalah manifestasi sifat Ilahiah di muka bumi, maka norma yang harus diusung adalah keadilan, cinta kasih dan kebersamaan. Dalam konteks ini keadilan tidak boleh memihak baik faktor agama, suku, dan keyakinan," tambahnya.

Lebih lanjut Syafiq menegaskan, konteks memilih pemimpin adalah berdasarkan kinerja dan gagasan dalam memajukan bangsa. "Persoalan pemerintah adalah persoalan masyarakat. Kepemimpinan dipilih berdasarkan sejauh mana ia mampu menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial. Harus dilihat track record-nya," tandasnya. 

Terkait adanya perbedaan tafsir dalam memilih pemimpin non-muslim, Syafiq menyampaikan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmah, jadi tidak dibolehkan memaksakan tafsir tersebut.

"Perbedaan pendapat ulama dalam memilih pemimpin muslim itu menunjukkan ragam keilmuan Islam yang begitu kaya. Tidak boleh mematenkan tafsir keagamaan. Konflik menjadi terbuka ketika ada pemaksaan monotafsir. Al-Mawardi membolehkan pemimpin non-muslim, Ibnu Taimiyah juga mengisyaratkan boleh non-muslim jadi pemimpin. Kita kembalikan kepada masyarakat untuk memilih yang mana. Tapi tidak boleh memaksakan kehendak," tandas Syafiq. (Red: Fathoni)


Editor:

Nasional Terbaru