• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Selasa, 16 April 2024

Jakarta Raya

KH Syukron Makmun Jelaskan Empat Jenis Perintah Allah 

KH Syukron Makmun Jelaskan Empat Jenis Perintah Allah 
KH Syukron Makmun. Foto: NU Online Jawa Timur
KH Syukron Makmun. Foto: NU Online Jawa Timur

Jakarta Pusat, NU Online Jakarta

 

Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta KH Syukron Makmun menjelaskan bahwa ada empat jenis perintah dari Allah. Hal ini disampaikan saat menghadiri acara Jakarta Shalawat Lebaran Nahdliyin di Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (8/9/2022) malam. 


Pertama, yaitu perintah yang Allah tentukan tempat dan waktunya, yaitu haji. Tempatnya di Makkah, waktunya 9-13 Dzulhijah. Kedua, perintah yang Allah tentukan tempatnya saja waktunya bebas yaitu umrah. Ketiga, perintah yang Allah tetapkan waktunya saja, tempatnya bebas yaitu shalat wajib lima waktu,” jelasnya.


Keempat, ini barangkali ada perintah yang saudara-saudara sekalian kurang memahami. Ada perintah yang Allah tidak tentukan tempat dan waktunya. Misalnya baca Al-Quran dan dzikir, bebas kapan saja dan di mana saja,” imbuhnya.


Kiai Syukron kemudian menjelaskan tentang shalawat. Menurutnya, shalawat termasuk dalam kategori yang keempat, yakni perintah Allah yang bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Ia kemudian berseloroh, membercandai Pelantun Shalawat Habib Syech Abdul Qodir Assegaf yang duduk tepat di sebelah kiri. 


“Shalawat tidak pandang tempat dan waktu tergantung pada Habib Syech mau mengadakan di Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, sehingga seluruh bershalawat. Ini bukan perintah tapi anjuran,” kata Kiai Syukron, berkelakar.


Putra dari KH Makmun Nawawi ini menegaskan, shalawatan adalah sunnah yang baik. Ia sangat menyayangkan kepada sekelompok orang yang suka menyalahkan shalawatan, bahkan menyebut shalawat sebagai bid’ah dan bid’ah adalah jelek atau sesat.


Bid’ah itu sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Apakah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah diartikan selalu jelek? Akal yang sehat akan menjawab. Barang yang baru itu mungkin baik (dan) mungkin juga jelek,” tegas Kiai Syukron.


Lebih lanjut, kiai kondang kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 1941 ini mengutip pendapat Imam Syafi’I yang menyatakan, apabila terdapat barang baru yang sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad maka itu disebut bid’ah mahmudah atau baik. Sebaliknya, jika bid’ah itu bertentangan dengan Sunnah Nabi, dinamakan bid’ah sayyi’ah atau tidak baik. 


Kiai berjuluk Singa Podium ini lantas bercerita tentang shalat tarawih yang merupakan barang baru. Artinya, ketentuan shalat tarawih tidak ada di zaman Nabi Muhammad tetapi terjadi pada zaman sahabat Rasulullah.


“Waktu zaman Sayyidina Abu Bakar tidak ada shalat tarawih, baru saat pada zaman Sayyidina Umar, ada 12 ribu orang sembahyang tarawih sendiri-sendiri. Kemudian Sayyidina Umar berijtihad agar shalat tarawih ini dibuat secara berjamaah. Kemudian ditunjuklah Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dan terjadilah shalat tarawih berjamaah,” ungkap Kiai Syukron. 


Kiai Syukron melanjutkan, setelah shalat tarawih dilaksanakan secara berjamaah lalu Sayyidina Umar berkata, “Inilah sebagus-bagusnya bid’ah karena tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.”


Kotributor: Suwitno
Editor: Aru Elgete
 


Editor:

Jakarta Raya Terbaru