Nasional

Deepfake, Kejahatan Siber Berbasis AI yang Kian Mengkhawatirkan

Kamis, 21 Agustus 2025 | 12:30 WIB

Deepfake, Kejahatan Siber Berbasis AI yang Kian Mengkhawatirkan

Ilustrasi teknologi deteksi deepfake yang membandingkan konten asli (REAL 100%) dengan konten palsu (FAKE 100%) menggunakan sistem pemindaian wajah. (Foto: freepik)

Jakarta Pusat, NU Online Jakarta

Masyarakat digegerkan dengan video viral yang memperlihatkan Sri Mulyani mengatakan guru sebagai beban negara. Pihak yang berwenang kemudian mengungkapkan bahwa video tersebut merupakan hasil kejahilan teknologi kecerdasan buatan (AI) deepfake.

 

Data menunjukkan bahwa kasus penipuan deepfake di Indonesia mengalami lonjakan sebesar 1550% antara tahun 2022 dan 2023. Presiden Prabowo Subianto dan Presiden sebelumnya Joko Widodo juga menjadi korban teknologi ini.

 

Para ahli menjelaskan bahwa deepfake merupakan sebuah jenis teknologi AI (artificial intelligence) yang berupa video, gambar, dan audio untuk menciptakan output manipulasi yang kegiatannya terlihat riil tetapi sebenarnya adalah fake. Kemunculan kecerdasan buatan ini membuat orang semakin resah apabila video maupun audio mereka disalahgunakan yang nantinya akan berdampak negatif terkait informasi pribadi.

 

Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkap bahaya dari teknologi deepfake ini. Azizatuz Zahro dkk dalam penelitian berjudul "Dampak Penyalahgunaan Deepfake dalam Memanipulasi Visual: Menguak Potensi Infopocalypse di Era Post Truth Terhadap Asumsi Masyarakat pada Media Massa" menyebut deepfake telah menjadi bagian dari kejahatan siber.

 

Tingginya angka hoaks di Indonesia menjadi pertanda bahwa hal tersebut merupakan salah satu pertanda era post-truth. Era post-truth terlihat dengan hilangnya batas antara kebenaran dan kebohongan, fakta objektif terkaburkan, dan hoaks dianggap sebagai kebenaran.

 

Kecenderungan masyarakat untuk memahami informasi yang diterimanya hanya secara sepotong dan gegabah yang membuat tersebarnya informasi akan memengaruhi opini masyarakat sehingga informasi yang tidak benar justru dianggap yang paling benar.

 

Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (UNAIR) Aziz Fajar memaparkan cara kerja deepfake dalam memanipulasi gambar. Dia menjelaskan bahwa deepfake merupakan salah satu aplikasi dari model AI yang kerap digunakan untuk mengubah piksel pada gambar.

 

"Dengan mengubah nilai piksel pada gambar, maka gambar hasil modifikasi akan berbeda dengan gambar aslinya," katanya dikutip NU Online jakarta dari laman UNAIR pada Kamis, (21/8/2025).

 

Dosen program studi sains data itu mengungkapkan kemampuan aplikasi AI dalam mengubah tampilan wajah. Dia menyampaikan bahwa aplikasi AI tersebut pun mampu mengubah tampilan wajah sehingga banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

 

"Deepfake dapat digunakan untuk mengubah wajah seseorang. Sehingga dapat dimungkinkan pembuatan video atau gambar hoaks. Padahal, orang yang menjadi korban tidak pernah melakukannya," tuturnya.

 

Aziz menyebutkan solusi teknologi untuk mengatasi deepfake. Dia menyampaikan bahwa kini telah tersedia aplikasi yang dapat mendeteksi deepfake, salah satunya ialah Microsoft's Video Authenticator Tools.

 

"Aplikasi keluaran Microsoft itu dapat membantu kita untuk mendeteksi foto dan video palsu yang tersebar," jelasnya.

 

Peneliti internasional menilai deepfake sebagai ancaman serius di masa depan. Pada 2020, peneliti di University College London menilai teknologi deepfake sebagai kejahatan berbasis AI paling berbahaya yang dapat terjadi dalam 15 tahun ke depan.

 

Penilaian ini merupakan hasil diskusi antara 31 pakar dari kalangan akademisi dan penegak hukum, yang mengevaluasi 18 jenis kejahatan berdasarkan faktor seperti potensi bahaya dan kelayakan. Teknologi deepfake menjadi perhatian utama karena potensi penyalahgunaannya dalam kejahatan serius, sebagaimana dilaporkan Korea Times.