• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Selasa, 7 Mei 2024

Nasional

Inilah Tiga Karakteristik Ekstremisme Menurut Akademisi UIN Jakarta

Inilah Tiga Karakteristik Ekstremisme Menurut Akademisi UIN Jakarta
Talkshow Ramadhan UIN Jakarta
Talkshow Ramadhan UIN Jakarta
Tangerang Selatan, NU Online
Tindakan ekstrem sudah terjadi berulang kali di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di berbagai belahan dunia. Hal tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah melampaui batas normal kemanusiaan. Setidaknya, terdapat tiga ciri dari kelompok berpaham ekstrem tersebut.

“Karakteristik ekstremisme paling tidak ada tiga,” kata Irfan Abu Bakar, Dewan Penasehat Center for Study or Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat Talkshow Ramadhan dengan tema Masa Depan Moderatisme Islam di Kampus di Masjid Al-Jamiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir H Juanda No. 95, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten, Kamis (23/5).

Pertama, menurutnya, mereka berpandangan intoleran. Artinya, kelompok tersebut tidak bisa menerima pandangan yang berbeda dari pemahamannya. “Menganggap pandangannya paling benar, paling selamat, paling murni,” katanya.

Kedua, kata Irfan, mereka cenderung fanatik dan tidak kritis. Hal tersebut membuatnya jarang mau berdebat dengan kelompok lain dan terkesan ngotot.

Ketiga, lanjutnya, mereka kerap membuat stigmatisasi terhadap kelompok lain. Dalam hal ini, mereka sering melontarkan tuduhan-tuduhan negatif, seperti kafir, munafik, dan sebagainya. “Karena takut dikritik oleh yang lain maka kaum ekstremis membuat stigmatisasi, menganggap kafir, munafik,” ujar Irfan.

Karakter demikian, menurutnya, disebabkan kurangnya literasi dan keengganannya melakukan kontekstualisasi. “Salah satu sebab ekstrim kurang memahami literasi keagamaan kurang kontekstual,” ucap dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta itu.

Lebih lanjut, Irfan menjelaskan bahwa orang-orang ekstremis itu tidak memiliki fiqhut tadayyun, yakni pemahaman tentang Islam dalam penerapannya dalam konteks masyarakat sosial historis yang mengalami perkembangan, dan hanya berpegang pada fiqhud din sebagai pemahaman Al-Qur’an dan hadits yang ideal.

“Orang ekstremis itu rendah literasi sehingga memaksakan idealisme yang mereka baca dalam Al-Qur'an,” tuturnya.

Irfan mencontohkan khilafah sebagai sistem pemerintahan masa lalu, seperti Khilafah Utsmani merupakan ijtihad kontekstualisasi di masanya. Menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) itu, katanya, bukan berarti dalam tataran praktiknya seperti masa lalu. “Kaffah tidak mengacu praktik mekanisme masa lalu, tapi prinsip idealisme,” pungkasnya.

Diskusi ini juga diisi oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra. (Syakir NF/Muhammad Faizin)


Editor:

Nasional Terbaru