Bahtsul Masail

Beredar Wacana Kelonggaran Pelaksanaan Haji di Luar Bulan Dzulhijjah, Bagaimana Hukumnya?

Jumat, 20 Juni 2025 | 09:30 WIB

Beredar Wacana Kelonggaran Pelaksanaan Haji di Luar Bulan Dzulhijjah, Bagaimana Hukumnya?

Beredar Wacana Kelonggaran Pelaksanaan Haji di Luar Bulan Dzulhijjah, Bagaimana Hukumnya?

‎Pelaksanaan ibadah haji merupakan ibadah yang selalu menjadi sorotan umat Islam dibelahaan dunia, hal ini dikarenakan semua umat muslim dari berbagai penjuru dunia dalam waktu yang bersamaan berkumpul di satu tempat dalam rangka menjalankan rangkaian ibadah haji, apalagi antusias umat Islam begitu besar untuk bisa menunaikan ibadah haji, sehingga jama’ah haji setiap tahun selalu mengalami peningkatan yang signifikan. 


‎Dengan banyaknya jumlah jama’ah haji yang berkumpul dalam satu waktu dan tempat tentu berpotensi besar menimbulkan permasalahan serius sehingga membutuhkan solusi yang tepat. Seperti contoh ibadah haji tahun 2024, menurut Badan Otoritas Umum Statistik Arab Saudi (Gastat) merilis angka resmi jumlah jemaah haji tahun 2024 diikuti sebanyak 1.833.164 jemaah dari dalam maupun luar negeri (sumber: Inews) dari jumah tersebut sebanyak 1.301 jamaah haji meninggal dunia dan yang terbanyak berasal dari jamaah Indonesia. (sumber: Kemenag).


Hal ini disebabkan dari beberapa faktor diantaranya kaum yang sudah lanjut usia dan sakit, panas ekstrem, tenda penuh sesak, masalah sanitasi dan lain sebagainya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus untuk menemukan solusi yang tepat.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


‎Dengan demikian muncul sebuah wacana dari KH Masdar Farid Mas'udi yang mengatakan bahwa haji boleh dilakukan pada hari-hari di bulan Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah dengan alasan diantaranya:

 

‎Pertama, QS al-Baqarah [2]: 197, menurutnya Ayat al-Qur’an ini secara terang benderang (sharih) dan definitIf (qath’iy) menegaskan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah jelas; sekali lagi beberapa bulan,  bukan hanya beberapa hari. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


‎Kedua, Dalam masalah waktu KH Masdar Farid Mas'udi mengatagorikan ibadah haji sebagai ibadah dengan konsep waktu longgar (muwassa’). Yakni aktivitas ibadah dengan alokasi waktu yang lebih panjang dari yang dibutuhkan. Hanya saja waktu afdlaliyah (prime time) untuk haji adalah  hari-hari tanggal 8,9,10,11,12,13 bulan Dzulhijah. Namun bukan berarti di selain hari tersebut hajinya tidak sah. 

‎Ketiga, Mengabaikan ayat tentang waktu haji 3 bulan secara empirik telah mengacaukan konsep dasar haji sebagai napak tilas jejak spritual dan secara kasat mata telah mengakibatkan terjadinya haraj, masyaqqat bahkan madlarat yang luar biasa pada umat yang menunaikannya, yang mana prosesi ibadah haji seharusnya dituniakan dengan penuh kekhusukan dan penghayatan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


‎Keempat, Hadits tentang “…Haji itu Arafah, barang siapa datang sebelum salat subuh malam kebersamaan maka sempurnalah hajinya..” (HR. Ahmad). Menurut beliau bahwa hadits ini  hanya bicara perihal batas waktu terakhir dari kegiatan wukuf di Arafah, yakni waktu Subuh tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara batas awal waktu kegiatan wukuf dan kegiatan haji lainnya tetap terbentang sejak memasuki  bulan Syawal.   



‎Deskripsi tersebut melahirkan beberapa pertanyaan, di antaranya: 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


‎1. Apakah wacana KH Masdar Farid Mas'udi yang mengatakan bahwa haji boleh dilakukan pada 3 bulan dapat dibenarkan?


‎2. Apakah ada Pendapat dari Ulama Salaf maupun Khalaf yang membolehkan haji pada bulan Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah 


‎3. Apakah dengan dalih mashlahat diperbolehkan mengikuti wacana tersebut ?

‎Hasil Jawaban dari pertanyaan di atas: 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


‎1. Tidak dapat dibenarkan karena seperti bulan-bulan untuk pelaksanaan ibadah haji sudah ditentukan dan juga kewajiban untuk wukuf di arafah pada hari tanggal 9 bulan Dzulhijjah adalah berdasarkan konsep nash yang jelas dan ijma'.

 

‎2. Belum ditemukan

 

‎3. Tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ijma’


‎  - ضوابط المصلحة ص: 153


‎أن ما يراه المجتهد أو الباحث مصلحة لا يعدو أحد النوعين إما أن تكون مصلحة ثابتة بمحض الرأي لا شاهد لها من أصل معتبر في الكتاب أو السنة وإما أن تكون ثابتة بشاهد من أحد الأصلين وليس عمل الرأي فيها إلا التنبيه لذلك والقياس عليه ولكل من النوعين حديث وحكم يختص به فأما النوع الأول وهو المصلحة الثابتة بمحض الرأي فينبغى أن يعلم أن ميزان صدق الرأي في هذا هو أن لا يخالف كتابا ولا سنة فإذا تبين مخالفته للسنة بالمعنى الذي فرغنا من تحقيقه تبين أنه ليس مصلحة حقيقة وإنما شبه على صاحبه أنه كذلك ومن ثم فلا يجوز العمل بذلك الرأي سواء أكانت المخالفة بينهما مخالفة كلية وهي ما يطلق عليها المعارضة بحيث لا يمكن الجمع بينهما بتخصيص أو تقييد أو كانت المخالفة دون ذلك بحيث يمكن الجمع بينهما بتخصيص السنة أو تقييدها إذ لا يجوز أن يخصص السنة أو يقيدها إلا ما ثبت إعتباره شرعا والمصلحة المخالفة لها لم يثبت إعتبارها بعد حتى تقوى على التقييد أو التخصيص اهـ


‎- العلماء المجددون ومجال تجديدهم واجتهادهم لفضيلة الشيخ ميمون زبير الساراني صـ 15 – 14


‎ومثل إقامة الحدود لعدم وجود الدول المقننة لأحكام الحدود الشرعية الا المملكة العربية السعودية - إلى أن قال - فالأحكام القرآنية او الشرعية التي لم نستطع العمل بها لا يجوز تبديلها وتغييرها من قبل أنفسنا ولاسيما بدعو الإجتهاد والاستنباط وإنما الواجب علينا تجاهها العمل بما امكن في حدود أنفسنا وأسرنا وأهلينا وخدمنا ومن تحت رعايتنا قال تعالى: {لاَ يُكَلِّفُ الله نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا}، وقال: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا}، وأن نأسف ونحزن ونتحسر على تعطيلها وعدم تنفيدها والصبر وانتظار الفرج من الله تعالى حتى يجيء الأوان ويأتي الإبّان لتطبيقها والعمل بها وان لانزال موقنين بحقية تلك الأحكام المعطلة وانها أحكام الله اللطيف الخبير العليم بمصالح العباد ونعتقد صلاحية الشريعة الإسلامية لكل زمان  ومكان ولكل أمة وشعب ووفاءها بحاجة البش
 

Putusan ini disahkan oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) DKI Jakarta

ADVERTISEMENT BY ANYMIND