• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 4 Juli 2024

Keislaman

Hukum Berhaji dengan Visa Non-Haji

Hukum Berhaji dengan Visa Non-Haji
Hukum Berhaji denga Visa Non-Haji. (Foto: NU Online/Alhafiz Kurniawan)
Hukum Berhaji denga Visa Non-Haji. (Foto: NU Online/Alhafiz Kurniawan)

Ibadah haji memiliki ketentuan berupa syarat wajib, rukun, wajib, sunnah, dan juga larangan haji. Sah atau tidaknya ibadah haji seseorang tergantung sejauh mana jamaah yang bersangkutan memenuhi ketentuan terutama syarat dan rukun haji serta menjauhi larangan haji tersebut.


Syarat utama ibadah haji adalah istitha'ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.


Adapun jenis transportasi, menu konsumsi, dan bentuk akomodasi (penginapan misalnya) termasuk visa dan tasreh haji tidak termasuk ke dalam ketentuan yang mempengaruhi sah dan tidak sahnya ibadah haji seseorang secara syariat.


Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas secara syariat hukum berhaji dengan visa non-haji (tidak prosedural) di Jakarta, Selasa (28/5/2024) siang. Dalam putusan musyawarah bahtsul masail PBNU, ibadah haji dengan visa non-haji (tidak prosedural) adalah sah secara syariat, tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa.


“Sah hajinya karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji. Larangan agama yang berwujud dalam larangan pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal (راجع إلى أمر خارج),” tulis putusan Syuriyah PBNU tersebut.


Adapun ibadah haji yang dilakukan tanpa prosedural, dalam pandangan PBNU, dianggap cacat dan yang bersangkutan berdosa karena melanggar aturan syari'at yang mewajibkan ketaatan terhadap perintah ulil amri dan pemenuhan perjanjian.


1.    Jamaah haji tanpa visa haji (nonprosedural) melanggar aturan syariat yang mewajibkan mentaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian (يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود), baik itu pemerintah Arab Saudi maupun pemerintah Indonesia, termasuk di dalamnya yang melarang haji tanpa visa haji. Larangan tersebut benar dan sah menurut syari'at dan akal sehat. Oleh karena itu wajib ditaati oleh semua pihak.

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأ َمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله ِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأ َخِرِ ذَلِكَ خَيْرُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا ً

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Lalu jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah)Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Surat An-Nisa ayat 59).

 

2. Praktik haji dengan visa non-haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non-haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.


Praktik haji dengan visa non-haji mengandung mudharat dan mafsadat karena kapasitas tempat pelaksanaan manasik haji terlalu sempit dibandingkan jumlah umat Islam yang berminat melaksanakan ibadah haji. Sekiranya otoritas Saudi tidak melakukan pembatasan, maka terjadi kepadatan dan keruwetan luar biasa yang potensial mengganggu keamanan, perlindungan, dan keselamatan jiwa dan harta jamaah.


لا َ ضَرَرَ وَلا َ ضِرَارَ رواه ابن ماجة 


Artinya: “Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak (diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain,” (HR Ibnu Majah).


Berdasarkan hal tersebut, harian syuriyah PBNU merekomendasikan agar pemerintah dapat menumbuhkan kesadaran supaya masyarakat tidak melakukan haji non-prosedural dan cara-cara ilegal. Sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.


Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik. Wallahu a’lam.

 

Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online, Wakil Sekretaris LBM PBNU
 


Keislaman Terbaru