Waspada Brain Rot, Dampak Konsumsi Konten Digital Instan
Ahad, 24 Agustus 2025 | 14:20 WIB

Ilustrasi otak manusia yang mengalami gangguan akibat paparan konten digital berlebihan. (Foto: Freepik).
Elis Susiyani
Kontributor
Jakarta, NU Online Jakarta
Fenomena Brain Rot belakangan ini ramai diperbincangkan di media sosial. Istilah ini muncul dari tren konten digital anomali seperti Tralalelo Tralala dan Tung Tung Sahur yang secara visual maupun naratif dianggap aneh dan tidak jelas.
Menurut Firth et al. (2019) dalam penelitian Widya et.al (2025), salah satu fenomena yang muncul akibat konsumsi konten dangkal berlebihan adalah brain rot, yaitu penurunan fungsi kognitif yang dipicu oleh video pendek, meme, hingga tren media sosial.
Dampak Brain Rot
Oxford University Press memilih istilah Brain Rot sebagai kata tahun 2024 dengan arti “pembusukan otak”. Fenomena ini didefinisikan sebagai kemerosotan mental dan intelektual akibat konsumsi berlebihan konten digital berkualitas rendah. Dikutip dari Kompas bahwa konten instan memicu pelepasan dopamin yang mendorong individu terus mencari stimulasi baru.
Akibatnya, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengikuti tren viral, menurunkan produktivitas, serta kesulitan fokus pada tugas yang membutuhkan konsentrasi.
Menurut Mendez et al. (2024), paparan konten digital cepat dalam jangka panjang juga dapat mengganggu kapasitas otak mengelola emosi serta memicu hyper fixation, yaitu ketertarikan berlebihan pada topik tertentu dalam waktu singkat. Jika tidak dikendalikan, kondisi ini dapat menghambat interaksi sosial di dunia nyata.
Cara Mencegah Brain Rot
Untuk mengurangi dampak Brain Rot, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Pertama, lakukan Digital Detox. Menurut Cherry (2020), digital detox adalah periode tidak menggunakan gawai atau media sosial untuk sementara waktu. Cara ini dapat dimulai dengan mematikan notifikasi, membatasi waktu membuka media sosial, atau menghapus aplikasi tertentu. Kemenkes RS Marzoeki Mahdi menyarankan penggunaan media sosial dibatasi maksimal 1–1,5 jam sehari.
Kedua, tingkatkan Literasi Digital. Pilih konten yang berkualitas, relevan, dan berasal dari sumber terpercaya. Literasi digital membantu masyarakat menggunakan teknologi secara bijak sekaligus menghindari informasi palsu.
Ketiga, latih keterampilan berpikir kritis. Biasakan membaca artikel, buku, atau mengikuti diskusi untuk melatih analisis dan refleksi terhadap informasi yang diterima.
Keempat, lakukan Olahraga. Aktivitas fisik merangsang pelepasan brain-derived neurotrophic factor (BDNF), protein yang berperan penting dalam perkembangan dan pemeliharaan sel otak. Senyawa ini membantu memori, regulasi emosi, dan pengelolaan informasi.
Kelima, utamakan interaksi sosial tatap muka. Bersosialisasi dengan keluarga, teman, atau bahkan bermain dengan hewan peliharaan bisa membantu menjaga keseimbangan emosional dan mengurangi dampak negatif media digital.
Menurut Kemenkes RS Marzoeki Mahdi, Brain Rot bukan sekadar tren media sosial, melainkan fenomena nyata yang memengaruhi kesehatan mental dan kognitif. Kesadaran dalam menggunakan media sosial secara bijak menjadi kunci agar otak tidak “membusuk” akibat konten digital rendah.
Terpopuler
1
Kuasa Hukum AMPB Alami Penganiayaan, Komnas HAM Turun Tangan
2
HUT Ke-80, PT KAI Luncurkan Kereta Petani dan Pedagang
3
Deepfake, Kejahatan Siber Berbasis AI yang Kian Mengkhawatirkan
4
MAPABA PMII STFI Sadra Dorong Kaderisasi Berbasis Intelektual dan Spiritual
5
MWCNU Cempaka Putih Gelar Diklat Standarisasi Mu’allim Al-Qur’an
6
Waspada Brain Rot, Dampak Konsumsi Konten Digital Instan
Terkini
Lihat Semua