• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 17 Mei 2024

Nasional

Ahok dan Kampanye SARA di Pilkada Jakarta

Ahok dan Kampanye SARA di Pilkada Jakarta
Ilustrasi (antara)
Ilustrasi (antara)
Pilkada serentak pada bulan Februari 2017 akan diselenggarakan di 101 daerah, tetapi yang membetot perhatian publik di seluruh Indonesia adalah pilkada DKI Jakarta dengan tokoh utamanya, Basuki Cahaya Purnama yang akrab disebut Ahok, petahana yang ingin maju lagi sebagai gubernur untuk periode 2017-2022.

Hal yang menarik adalah posisi Ahok sebagai non-Muslim di tengah-tengah penduduk Jakarta yang mayoritas Muslim dan latar belakangnya yang berdarah Tiongkok serta karakternya yang lugas ketika berbicara yang di luar kebiasaan politisi yang mengedepankan kesantunan dalam berbicara dan bersikap. Posisi kantor media massa arus utama yang sebagian besar berada di Jakarta juga menyebabkan segala pernak-pernik mengenai pilkada Jakarta mudah diakses dan “digoreng”.

Sebagai sebuah kontestasi politik untuk merebut hati rakyat Jakarta, pihak-pihak yang bersaing berusaha untuk menampilkan citra dirinya dengan sebaik-baiknya sementara pihak lawan digambarkan sebagai calon yang tidak layak untuk memimpin Jakarta. Media massa menjadi alat yang ampuh untuk membangun opini dari masing-masing pihak.

Dalam konteks ini, tim sukses pihak petahana ingin menonjolkan prestasi yang telah dicapai selama pemerintahannya. Karena itu, isu yang diangkat adalah sikap Ahok yang antikorupsi, birokrasi yang kini lebih tertata, dan tentu saja keberaniannya dalam mengatasi berbagai tantangan di ibukota yang memang keras. Bagi yang ingin menjegalnya, maka isu yang diangkat soal isu gaya bicaranya yang dianggap tidak sopan, reklamasi pantai Jakarta, penggusuran, dan lainnya. Berkampanye dan berpromosi untuk memenangkan kandidat yang diusung merupakan hal yang sah-sah saja. Semua kecap adalah nomor satu, tidak ada kecap nomor dua.

Di luar perdebatan baik atau buruknya kebijakan yang diambil Ahok selama saat ini, sayangnya masih saja ada kampanye hitam dengan menggunakan isu SARA. Beberapa waktu lalu ada demo di Bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jakarta untuk mengampanyekan “jangan memilih pemimpin kafir”. Dalam perbincangan-perbincangan informal di warung atau pertemuan-pertemuan kecil, juga sering dibahas identitasnya sebagai keturunan Tiongkok yang berkuasa di tanah Betawi.

Undang-Undang Dasar Indonesia dan UU serta peraturan turunannya memberikan hak kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memilih atau dipilih, apa pun agamanya, dari mana pun asalnya. Sistem demokrasi yang dianut ini bertujuan untuk memilih pemimpin terbaik dari berbagai calon yang ada. Karena itulah, dalam negara yang demokrasinya yang sudah matang, rakyat menilai calon pemimpin dari kapasitasnya untuk mengelola pemerintahan. Karena itu jugalah, Sadiq Khan, seorang Muslim bisa menjadi walikota London, sekalipun Muslim merupakan penduduk minoritas di Inggris.

Bagi kelompok-kelompok yang selama ini mengampanyekan “jangan pilih pemimpin kafir” mereka ternyata juga membangga-banggakan terpilihnya Sadiq Khan. Pada satu sisi, mereka berharap negara lain menggunakan asas pluralitas sehingga memungkinkan Muslim bisa terpilih menjadi pemimpin, tetapi di sisi lain mereka tidak rela digunakannya asas pluralitas ini jika ada pemimpin non-Muslim yang terpilih di daerah yang didominasi Muslim. Ini menunjukkan sebuah sikap yang tidak konsisten dan mau menang sendiri.

Masyarakat juga harus hati-hati terhadap partai politik yang suka “menjual ayat” untuk kepentingan pragmatisme politik jangka pendek. Satu saat mereka menggunakan dalil bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin saat calon yang mereka usung laki-laki, tetapi di daerah lain mereka mendukung calon perempuan karena potensi kemenangannya besar. Pada daerah lain, ketika calon non-Muslim memiliki potensi besar terpilih, mereka menggunakan ayat yang membolehkan non-Muslim memimpin, tetapi dalam kasus Jakarta, mereka menggunakan ayat lainnya yang melarang Muslim memilih pemimpin kafir. Ayat-ayat suci Al-Qur’an digunakan sekehendak hatinya sesuai dengan kepentingan yang dibawa.

Penggunaan isu-isu SARA untuk tujuan jangka pendek guna memenangkan calon tertentu jelas-jelas berpotensi merusak keragaman dan harmoni sosial yang selama ini sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Para pendiri bangsa telah berkorban dan bersusah payah mendirikan bangunan Indonesia dengan segala keanekaragaman yang ada di dalamnya. Kita bisa melihat contoh-contoh dari bangsa lain yang dilanda konflik tak berkesudahan karena adanya sekat-sekat sosial yang dibangun atas kepentingan sempit kelompok tertentu.

Fenomena penggunaan isu SARA dalam pilkada ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga terjadi di daerah pemilihan lainnya, yang sayangnya kurang terekspos secara nasional, pada daerah-daerah yang jauh dari jangkauan media atau yang isunya kurang seksi untuk dipublikasikan secara nasional. Dengan tidak adanya pengawasan publik, tentu saja penggunaan isu-isu SARA ini berjalan dengan baik untuk meraih kemenangan. Tak heran, kualitas kepemimpinan di sebagian besar daerah di Indonesia kurang baik. Politik dinasti di mana ayah digantikan oleh anaknya untuk menjadi bupati atau walikota, banyaknya korupsi pemimpin daerah yang ditangkap karena korupsi menjadi petunjuk bahwa sistem demokrasi yang masih sekadar formalitas dan penggunaan isu-isu SARA ini telah menyengsarakan rakyat.

Jika pemimpin yang terpilih hanya memiliki kualitas medioker, yang paling dirugikan tentu rakyat yang harus menderita selama lima tahun ke depannya karena pemimpinnya tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang kompleks. Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar jika bupati dan walikotanya merupakan orang terbaik pada tingkatannya, gubernurnya juga orang paling kompeten, dan presidennya juga orang terbaik dari yang terbaik. Tantangan dalam menghadapi persaingan dunia begitu nyata, tak bisa jika menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada orang yang kualitasnya asal-asalan. (Mukafi Niam)


Editor:

Nasional Terbaru