Agus Zehid
Penulis
Di antara rukun Islam yang lima, ibadah haji merupakan salah satu rukun yang cukup berbeda dari rukun lainnya. Rukun yang terakhir ini merupakan praktek ibadah yang tidak hanya dikhususkan pada waktu tertentu, melainkan juga dilaksanakan pada tempat khusus, yaitu Makkah Al-Mukarromah.
Tak berlebihan sekiranya penempatan Haji di posisi terakhir dari rukun Islam dimaknai sebagai penyempurna dari rukun Islam sebelumnya. Meski demikian, Ibadah ini perlu kesiapan yang matang. Sebab haji tak hanya mengharuskan seseorang untuk siap secara niat dan mental, tapi juga siap secara finansial yang dapat mengantarkannya ke baitullah.
Haji, sebagaimana ritual penyembelihan kurban- memiliki akar sejarah yang juga bermuara dari Nabi Ibrahim A.S. Ibadah ini ditetapkan setelah Ibrahim bersama putranya Ismail selesai membangun ka'bah. Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia guna melaksanakan haji, (baca: surat al-Hajj ayat 27). Ibadah haji tak sebatas ritus keagamaan semata, tapi juga memiliki simbol sosial yang dapat dihayati secara mendalam bagi setiap manusia yang menjalaninya.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya al Idhoh fi Manasik Haji wal Umroh memaparkan beberapa filosofi dari ibadah haji yang berkaitan dengan nilai-nilai ukhrawi dan duniawi. Di antaranya penghayatan akan akhirat, persatuan dan kesetaraan manusia.
Penghayatan Akan Akhirat
Ibadah haji dimulai saat seseorang sampai pada miqot (tempat permulaan haji). Pada saat itu umat muslim mengganti pakaiannya dengan dua lembar kain putih tanpa jahitan. Melepaskan pakaian yang sebelumnya membedakan status sosial manusia. Baik kiai, pejabat, tentara, ulama, harus menanggalkan peran keduniaannya di hadapan Tuhan. Menandakan bahwa ukuran kemuliaan manusia di hadapan Tuhan tidak terikat dengan pakaian yang melekat pada tubuh mereka, melainkan ketakwaan yang tersembunyi di dalam lubuk hati manusia.
Baca Juga
Dirjen Haji Teken MoU dengan UIN Jakarta
Momen ini seakan-akan mengingatkan manusia pada memo masa lalu saat ia dilahirkan. Bahwa setiap insan yang dilahirkan ke bumi, ia hadir tanpa membawa sehelai apapun, jabatan apapun, yang kemudian hanya dibaluti kain untuk menutupi aurat dan tubuhnya dari kedinginan.
Begitupun saat manusia harus kembali menghadapi panggilan-Nya. Ia perlu Melepaskan keduniaannya yang selama ini kerap menjadi topeng palsu ketika memainkan peranannya di dunia. Menggantikannya dengan pakaian putih yang bermakna kesucian, ketundukan dan keikhlasannya sebagai hamba di hadapan Pencipta. Pakaian putih ini adalah ilustrasi tatkala manusia datang untuk memenuhi panggilan-Nya, baik dalam berhaji ataupun kematian.
Miqat diibaratkan sebagai pembatas antara dunia dan akhirat. Bahwa setiap yang dilihat dari ritual haji, merupakan bentuk penghayatan manusia untuk mengingat akhirat.
ووقوف الحجيج في عرفات كوقوفهم في عرصات القيامة آملين راغبين راجين وهم بين شقي وسعيد ومقبول ومخذول، وتعرضهم للهاجرة وحَمارّة القيظ في عرفات كتعرضهم للفح الشمس وغمرة العرق في المحشر، وإفاضتهم من عرفات كانفضاضهم من الموقف في القيامة بعد الفصل والقضاء، ولبثهم في مزدلفة ومنى كلبث المذنبين وانتظارهم لشفاعة الشافعين.
Artinya: 'Ritual wukuf jemaah haji di Arafat adalah gambaran wukuf pada hari kebangkitan. Pada saat itu semua manusia berharap dan memohon. Mereka berada di antara kesengsaraan dan kebahagiaan, mulia dan terhina. Pancaran panasnya terik di Arafah, seperti pancaran panasnya matahari yang menyebabkan dirinya dibanjiri keringat di Padang Mahsyar. Keberangkatan mereka dari Arafah seperti keberangkatan mereka dari tempat berdirinya pada hari pengadilan dan keputusan. Berdiamnya mereka di Muzdalifah dan mina, seperti berdiamnya para pendosa untuk menunggu syafaat. (Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, al Idhoh fi Manasik Haji wal Umroh, {Dar Basya'ir Islamiyah, Beirut: 1994}, halaman 36).
Penghayatan tentang akhirat menyadarkan manusia akan kehidupan dunia yang fana dan kelemahan makhluk di hadapan Pencipta. Bahwa setiap yang bernyawa akan menemukan waktu pemberhentiannya. Dan pada saat itu, manusia hanya bisa memohon dan berharap atas ampunan dari Rabb-Nya.
Mempererat Persatuan
Setelah menggunakan pakaian ihram, manusia tidak lagi melihat perbedaan latar belakang. Semua memiliki tujuan yang sama yaitu memenuhi panggilan-Nya, mengharapkan ridho dan pengampunan dari Allah SWT. Tujuan ini menampilkan persatuan di antara umat muslim yang berangkat dari sisi keimanan. Tak ada lagi diskriminasi rasial, semuanya bersatu dalam bentuk penghambaan. Momentum ini mengingatkan manusia bahwa setiap mu'min adalah saudara. Tidak lah di antara mereka berselisih dan kemudian terpecah belah.
Ibadah ini menuntut manusia untuk tidak melakukan pertengkaran yang dapat menyebabkan perpecahan. Islam mengingatkan manusia untuk senantiasa berada dalam keadaan suci tatkala berhaji, tidak melakukan rafast, tidak berbuat fasik dan membuat kerusuhan, sebab perilaku tersebut akan menghilangkan kemuliaan dari pada ibadah Haji, sebagaimana firman Allah SWT.
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: (Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Al-Baqarah ayat 197).
Selain itu, Nabi Muhammad pernah mendeklarasikan tentang persatuan umat pada momentum haji Wada', tepatnya di Arafah. Nabi Mengangkat martabat kemanusiaan, menghapus praktik pembunuhan, dan pembalasan dendam, sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliyah. Seraya mengingatkan bahwa setiap muslim berada dalam payung persaudaraan.
Selah satu rangkaian haji adalah wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, sehari sebelum idul Adha tiba. Dalam hal ini Imam Nawawi menjelaskan sisi filosofis dari pelaksanaan wukuf, beliau menyebutkan.
فمنافع الحج على ما يغلب عليها من المظاهر الروحية فإنها منافع اجتماعية ونفسية وتجارية وأخوية، ففيها يحصل التعارف والتعاون بين أفراد المسلمين المتباعدين في شتى الأقطار، فإن اجتماعهم واختلاط بعضهم ببعض فرصة كبيرة لإيجاد التعارف والتعاون وتبادل المنافع بين أكبر عدد ممكن من المسلمين. فليست هناك فرصة تتاح للمسلم يجتمع بإخوان له من المسلمين جاءوا من أقاصي الأرض كفرصة الحج. ففي هذه الفرصة يعرف المسلم العربي أخاه المسلم التركي والجاوي والصيني والهندي والبربري وهلمّ جراً.
Artinya: Meskipun manfaat haji menyimpan aspek spiritual yang lebih banyak, namun ia juga memiliki manfaat secara sosial, psikologis, transaksional, dan persaudaraan. Di antaranya saling mengenal dan menolong antara umat muslim di penjuru dunia. Bahwa perkumpulan mereka adalah momentum istimewa untuk saling mengenal, menolong dan saling mengambil manfaat di antara umat muslim. Momentum haji adalah kesempatan untuk berkumpulnya umat muslim yang berasal dari pelosok bumi. Pada kesempatan itulah orang muslim arab dapat mengenal saudara muslimnya yang berasal dari turki, Jawa, china, pesisir dan lainnya. (al Idhoh fi Manasik Haji wal Umroh, halaman 38).
Menjunjung kesetaraan
Selain memberikan semangat persatuan, Ibadah haji juga mengisyaratkan nilai-nilai kesetaraan di antara manusia. Deklarasi manusia sebagai hamba memberikan dua implikasi rasional, yaitu kesetaraan dan kemerdekaan. Keduanya menempatkan manusia sebagai hamba yang hanya bergantung pada Pencipta. Konsep ini mengandaikan manusia untuk memandang manusia lainnya melalui kacamata yang setara, sebagai makhluk dan hamba Allah SWT.
Nabi pernah menyampaikan konsep kesetaraan kepada para sahabat, bahwa tidak ada yang lebih mulia di antara manusia lainnya kecuali yang bertakwa.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
Artinya: “Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu (Adam). Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (puith) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (H.R Ahmad).
Ungkapan ini menegasikan kehormatan yang hanya bertumpu pada identitas kelompok. Menegaskan tentang larangan memonopoli kehormatan berbasis rasial.
Sementara nilai kesetaraan dalam berhaji dapat terlihat saat orang-orang wukuf di Arafah. Di sana merupakan momentum tumbuhnya nilai-nilai kesetaraan.
وفي وقوف عرفة يرى الفقير الضعيف ذل الغني القوي أمام ربه يتضرع إليه ويسأله قضاء حاجته، كما يسأله الفقير. فيحس في هذه الحالة معنى المساواة يتحقق، فهو والغني والقوي عبيد الله المحتاجون إليه، الفقراء إلى رحمة الفقراء إلى رحمة فترتفع معنويته وتعلو في نفسه منزلته، ويسترد فيها قيمتهفلا يذل ولا يضعف إلا لله خالقه وخالق كل شيء.
Artinya: Saat wukuf di Arafah, orang miskin dan lemah melihat tak berdayanya orang kaya dan kuat di hadapan Tuhannya. Ia memohon kepada-Nya, seraya meminta untuk ditunaikan hajatnya, sebagaimana orang miskin memohon kepada-Nya. Momentum ini merupakan isyarat tentang arti kesetaraan yang hakiki. Yaitu saat orang kaya dan orang kuat menjadi hamba yang bergantung kepada-Nya. Dan Orang miskin yang senantiasa membutuhkan ramhat-Nya, maka dirinnya menjadi mulia, derajatnya terangkat dan harga dirinya berharga, Tidak ada yang bisa merendahkan dan melemahkannya kecuali Allah Swt selaku Pencipta-Nya dan Pencipta segala sesuatu. (al Idhoh fi Manasik Haji wal Umroh, halaman 37).
Memandang manusia dengan kacamata kesetaraan merupakan refleksi seseorang atas jati dirinya sebagai seorang hamba. Bahwa segala bentuk yang menjerumuskan manusia kepada kehinaan dan perbudakan menandakan dirinya telah keluar dari kodratnya sebagai hamba.
Sakralitas ibadah haji membimbing manusia menjadi pribadi muslim yang paripurna. Pribadi yang senantiasa teguh dengan nilai-nilai keislaman. Seorang muslim yang kembali mengupgrade dirinya dalam kebaikan, menjujung persatuan dan memandang manusia dengan kesetaraan adalah nilai yang seharusnya tertanam bagi setiap orang yang melaksanakan haji. Dengan demikian Ibadah Haji tidak berhenti pada aspek ritual, melainkan menjadi bagian yang terintegrasi pada aspek sosial kemasyarakatan.
Haji menjadi momentum untuk memperbarui hubungan hamba dengan Allah, dan memperbaiki hubungan sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian seseorang dapat menggapai predikat haji mabrur. Tidak ada ganjaran yang lebih tinggi selain surga bagi mereka yang tergolong haji mabrur.
Imam Nawawi memberikan gambaran tentang pahala haji mabrur, yaitu terhapusnya dosa dan sucinya hati, seolah-olah ia baru dilahirkan kembali dari perut ibunya. Dengan demikian, hendaknya seseorang yang pulang dari haji dapat mempertahankan hubungan baiknya dengan Allah dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan di tengah masyarakat.
Terpopuler
1
MWCNU Kramat Jati Teken Prasasti dan Resmikan Makam Syekh Jafar Jati
2
Warga Temukan Makam Kramat Syekh Jafar: Asal Muasal Nama Kramat Jati?
3
Hukum Pelecehan Seksual terhadap Anak Kandung atau Inses
4
Pengesahan Makam Syeikh Jafar Jati, Kiai Munif Ingatkan Perbanyak Doa Dalam Keadaan Sulit
5
Pemprov Jakarta Siapkan 267 Koperasi Merah Putih untuk Bantu Ekonomi Warga
6
PMII Jakarta Gelar Diskusi Evaluasi 100 Hari Kerja Pramono-Rano
Terkini
Lihat Semua