Islam dan Kesetaraan: Menghidupkan Gagasan Tohir Haddad tentang Perempuan
Senin, 4 Agustus 2025 | 15:30 WIB
Pernahkah kita membayangkan malam tanpa cahaya bulan hanya gelap yang menyelimuti? Begitulah dunia tanpa perempuan. Dalam Islam, perempuan bukan figuran, melainkan aktor utama dalam peradaban. Namun, selama berabad-abad, perempuan kerap terkungkung oleh penafsiran keagamaan yang bias dan budaya patriarki yang mengekang.
Pemikir progresif asal Tunisia Tohir Haddad dalam karyanya "Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama" (Perempuan Kita dalam Syariat dan Masyarakat), berupaya menyingkap tirai bias tersebut. Haddad menegaskan bahwa Islam sejatinya agama pembebas, bukan pemenjara perempuan.
Ia menunjukkan bagaimana Al-Qur’an memberi hak-hak revolusioner bagi perempuan pada abad ke-7, mulai dari hak waris, kepemilikan harta, hingga pendidikan. Ketika peradaban lain masih menganggap perempuan sebagai properti, Islam telah lebih dahulu mengangkat harkatnya.
Namun, bagi Haddad problem terbesar bukanlah ajaran Islam itu sendiri, melainkan penafsiran atasnya. Banyak ulama terdahulu menafsirkan ayat-ayat suci melalui kacamata budaya patriarki yang membatasi gerak perempuan. Karena itu, Haddad menyerukan pembacaan ulang teks-teks keagamaan dengan pendekatan keadilan gender.
Jejak sejarah Islam menunjukkan peran perempuan yang strategis. Khadijah adalah pengusaha yang mempekerjakan Rasulullah sebelum menjadi istrinya. Aisyah, istri Nabi, adalah perawi hadis dan pengajar ulama laki-laki. Al-Syifa binti Abdullah ditunjuk Umar bin Khattab menjadi pengawas pasar di Madinah. Zubaidah, istri Khalifah Harun ar-Rasyid, bahkan mewakafkan sumber air untuk jamaah haji dari Irak hingga Mekkah.
Di Indonesia, semangat ini hidup dalam sosok R.A. Kartini, tokoh emansipasi perempuan Muslim. Rahmah El Yunusiah mendirikan Perguruan Diniyyah Putri pada 1923. Mari’yah Khatib, ulama perempuan asal Sumatera Barat, mengajar agama sambil memimpin perlawanan terhadap penjajah. Nyai Ahmad Dahlan memelopori Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah sejak 1917. Prof. Zakiah Daradjat menjadi pionir dalam pendidikan Islam dan kesehatan mental.
Mereka semua adalah bukti nyata bahwa Islam tidak bertentangan dengan pemberdayaan perempuan. Justru dari Islam-lah mereka menemukan kekuatan dan inspirasi.
Tohir Haddad mengingatkan kita untuk memisahkan nilai-nilai Islam yang universal dari budaya lokal yang membatasi. Prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam Islam berlaku untuk semua, laki-laki maupun perempuan.
Ketika perempuan berdaya, keluarga menguat. Ketika keluarga menguat, masyarakat berkembang. Dan dari masyarakat yang adil dan beradab, lahirlah peradaban yang mencerminkan rahmat Islam bagi seluruh alam.
Sudah waktunya kita mewarisi semangat Haddad. Islam bukan agama yang mengekang perempuan Islam adalah jalan pembebasan, ruang aktualisasi, dan cahaya bagi seluruh umat manusia. Layaknya bulan yang memantulkan cahaya matahari, perempuan dalam Islam adalah penerang malam-malam sejarah yang gelap, menyinari jalan peradaban ke arah yang lebih bermartabat.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah, Mulham Dawami
Terpopuler
1
Celios Kritik PPATK: Rekening Judi Online Dibiarkan, Rekening Pasif Diblokir
2
Polemik Sound Horeg Tak Cukup Fatwa, Perlu Solusi Sosial dan Ekonomi Berkelanjutan
3
Wakil Ketua PWNU Jakarta: Merawat Budaya Bukan Fanatisme Tapi Penguatan Identitas Bangsa
4
PBNU Resmikan 13 Dapur MBG, Komitmen NU Dukung Agenda Kemaslahatan Pemerintah
5
Rakorwil FKDT DKI Bahas Penguatan Program Madrasah Diniyah
6
Pemerintah Tetapkan 18 Agustus 2025 sebagai Hari Libur Tambahan
Terkini
Lihat Semua