Jakarta Raya

LFNU Jakarta Ungkap Pandangan Al-Biruni dan Al-Fadani soal Istiwa Ka'bah

Senin, 26 Mei 2025 | 07:50 WIB

LFNU Jakarta Ungkap Pandangan Al-Biruni dan Al-Fadani soal Istiwa Ka'bah

ilustrasi Peristiwa Istiwa Ka'bah sebagai momentum akurat menentukan arah kiblat. (Foto: LFNU DKI Jakarta)

Jakarta, NU Online Jakarta

Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jakarta menjelaskan fenomena Istiwa Ka'bah yang terjadi ketika Matahari melintas tepat di atas Ka'bah. Peristiwa Falakiyah ini berlangsung dua kali dalam setahun menurut kalender Masehi, yakni sekitar sekitar tanggal 27 Mei 2025 pukul 16:17 WIB dan pada tanggal 15 Juli pukul 16:26 WIB.

 

Dewan Penasehat LFNU Jakarta KH Irfan Zidny menyampaikan bahwa ulama besar falak Al-Biruni (w. 440 H) telah mengilustrasikan peristiwa ini dalam karya monumentalnya al-Qānūn al-Mas'ūdī.

 

"Karena azimut Makkah bersifat tetap, maka memungkinkan azimut puncak ketinggian Matahari pada sebagian lintasannya merupakan azimut kiblat. Sehingga ketika Matahari berada pada ketinggian tersebut di sisi Makkah, maka siapa pun yang menghadap ke arah Matahari pada saat itu, berarti ia menghadap ke arah kiblat,"jelasnya kepada NU Online Jakarta, Senin (26/5/2025). 

 

Ia juga menguraikan ilustrasi yang dikemukakan Syekh Yasin Al-Fadani (w. 1410 H) dalam kitabnya Ṡamarāt al-Wasīlah.

 

"Apabila Matahari tepat di titik zenit penduduk Makkah, dan nilai deklinasinya saat itu sama serta searah dengan lintang Makkah, maka jika seseorang menghadap ke arah Matahari dari lokasinya, ia berarti sedang menghadap ke arah Ka'bah al-Musyarrafah," imbuhnya.

 

Dirinya menegaskan bahwa peristiwa ini memberikan momentum yang sangat tepat untuk menentukan arah kiblat secara akurat.

 

"Istiwa Ka'bah merupakan peristiwa Falakiyah yang menjadi momentum sangat tepat untuk mengoreksi atau menentukan arah kiblat, dan ini bagian dari kekuasaan Tuhan yang sangat nyata," pungkasnya.

 

Teks Arab Rujukan

 

وَمِنْ جُزْئِيَّاتِ هَذَا الْعَمَلِ: سِمْتُ الْقِبْلَةِ، إِذَا كَانَ الْبَلَدُ الْمَفْرُوضُ بِطُولِهِ وَعَرْضِهِ مُسْتَقْبِلًا فِي الْعِبَادَةِ، كَالْكَعْبَةِ لِلْمُسْلِمِينَ، وَكَبَيْتِ الْمَقْدِسِ لِلْيَهُودِ. وَلِأَنَّ سِمْتَ مَكَّةَ ثَابِتٌ عَلَى مِقْدَارِهِ، فَمُمْكِنٌ أَنْ يَكُونَ لِلشَّمْسِ فِي بَعْضِ مَدَارَاتِهَا ارْتِفَاعُ سِمْتِهِ سِمْتَ الْقِبْلَةِ، حَتَّى إِذَا صَارَتِ الشَّمْسُ بِذَلِكَ الِارْتِفَاعِ فِي جَانِبِ مَكَّةَ، كَانَ مُوَاجَهُهُمَا مُسْتَقْبِلًا الْقِبْلَةَ.

(القانون المسعودي. بيروت: دار الكتب العلمية ٢٠٠٢، ج ٢، ص ١٦)

 

فَهُوَ ارْتِفَاعُ سَمْتِ مَكَّةَ، أَيْ مِقْدَارُ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ لِبَلَدِكَ إِذَا كَانَتْ وَاقِعَةً عَلَى السَّمْتِ الْأَعْلَى لِرُءُوسِ أَهْلِ مَكَّةَ. فَمَتَى رَصَدْتَهُ وَأَنْتَ فِي بَلَدِكَ، فِي الْيَوْمِ الَّذِي يَكُونُ الْمَيْلُ الْجُزْئِيُّ مُسَاوِيًا لِعَرْضِ مَكَّةَ قَدَرًا وَمُوَافِقًا لَهُ جِهَةً، ثُمَّ اسْتَقْبَلْتَ الشَّمْسَ حِينَئِذٍ، تَكُونُ مُسْتَقْبِلًا لِلْكَعْبَةِ الْمُشَرَّفَةِ.

(ثمرات الوسيلة. دار الطباعة المصرية، ص ٥٨)