Djunaidi Sahal
Kolomnis
Di sebuah negeri yang katanya gemar gotong royong, tetapi hobi debat di dalam kolam komentar, muncullah sekelompok orang yang sangat gigih. Mereka bukan detektif, bukan dosen hukum, apalagi pegawai Dikti, tetapi hobinya menyelidiki ijazah Presiden.
Mereka menyebut diri sebagai pencari kebenaran. Tetapi kebenaran yang dicari bukan soal inflasi, harga cabai, atau tingkat pengangguran, yang dicari adalah: "Di mana sebenarnya ijazah Jokowi?"
Mereka ini serius, sampai membuat laporan hukum, menggelar gugatan ke pengadilan, dan kalau bisa sampai meminta kampus UGM dibongkar untuk mencari ruang rahasia tempat ijazah Jokowi disembunyikan.
Sebagian dari mereka bahkan percaya kalau Jokowi itu tidak pernah kuliah di UGM. Lucunya, UGM sendiri sudah lelah menjelaskan.
Jokowi itu memang alumni kami kata UGM, ada dokumennya, ini foto wisudanya, ada tanda tangan dosen juga. Tetapi bagi para penuduh, itu semua settingan elite global.
Bagi kelompok ini, dokumen bisa dipalsukan, tetapi keyakinan tidak bisa digoyahkan. Sekali mereka yakin Jokowi bukan lulusan UGM, maka meskipun Gunung Merapi bersaksi, mereka akan bilang: "itu cuma kabut pengalihan isu."
Ada yang bilang, motivasi mereka ini bukan cuma soal ijazah. Ada yang kecewa karena calon jagoannya dulu kalah, ada yang memang hobi mencari panggung. Bahkan ada yang—mohon maaf—mungkin ijazahnya sendiri belum jelas, tetapi jadi ahli validasi dokumen orang lain.
Namun dalam setiap drama, selalu ada hikmah. Dari isu ijazah ini, kita belajar bahwa:
Pertama, rakyat Indonesia itu kreatif, bahkan gosip bisa dikembangkan seperti serial Netflix.
Kedua, kritik boleh, tetapi logika jangan sampai libur.
Ketiga, menuduh tanpa bukti itu mudah, tetapi mempertahankan akal sehat di tengah keramaian itu luar biasa.
Gerakan para pencari ijazah ini membuat kita prihatin terhadap praktik politik yang terjebak pada hal-hal simbolik, bukan substansi. Situasi ini mengindikasikan bahwa sebagian ruang diskusi publik kita masih terperangkap dalam pola politik balas dendam dan delegitimasi.
Terlalu banyak pekerjaan rumah di depan kita: perubahan iklim, harga beras, bonus demografi, dan geopolitik global. Kita tidak bisa terus hidup dalam ruang gema hoaks yang sama setiap tahunnya. Apalagi jika ujung-ujungnya hanya memicu polarisasi tanpa memberikan solusi.
Di tengah kegaduhan itu, Jokowi masih bisa tersenyum dan menjadi mantan Presiden yang masih terus diperbincangkan walaupun sudah lengser.
Penulis adalah Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, Pegiat PMIIÂ
Terpopuler
1
Pemprov DKI dan Pemkot Bogor Resmikan Rute Transjakarta Bogor-Blok M, Tarif Mulai Rp2.000
2
Ulama Kharismatik Betawi KH Bunyamin Muhammad Wafat, Ketua PWNU Jakarta: Sosok Berpengetahuan Luas
3
Indo Defence 2024 Perkuat Posisi Indonesia dalam Peta Pertahanan Global
4
Ini Makna Makanan yang Halal dan Baik dalam Islam
5
Anak 7 Tahun Ditemukan Kelaparan dan Penuh Luka Bakar di Jakarta Selatan
6
Sarbumusi Harap Penyaluran BSU 2025 Tepat Sasaran
Terkini
Lihat Semua