Jakarta Raya

Kopri PMII Unusia: Kesetaraan Bukan Hak Istimewa, Tetapi Hak Asasi Setiap Orang

Senin, 29 Juli 2024 | 08:00 WIB

Kopri PMII Unusia: Kesetaraan Bukan Hak Istimewa, Tetapi Hak Asasi Setiap Orang

Sesi Foto bersama Kopri setelah acara Dialog Publik bersama para panitia dan peserta SIG di kampus Unusia Jakpus lantai 4, Jumat (26/7/2024). (Foto: dok. Kopri PMII Unusia)

Jakarta, NU Online Jakarta


Pengurus Kopri Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Cut Dhea Agusti menegaskan kesetaraan bukanlah hak istimewa, tetapi hak asasi setiap orang. Menurutnya, selama ini kaum perempuan masih dipandang serba dibatasi di ruang publik di banding laki-laki. Ia menekankan perlunya masyarakat untuk mengubah pola pikir yang lebih objektif dan positif ketika berbicara tentang kesetaraan gender. 

 

Hal itu disampaikan Ayya, sapaan akrabnya, setelah penutupan Sekolah Islam Gender (SIG) yang dilaksanakan oleh Pengurus Kopri PMII Unusia di Pesantren Pasulukan Al Masykuriyah Condet, Jakarta Timur, Jumat-Ahad (26-28/7/2024). 

 

“Ketika perempuan beraktivitas di ruang publik sama dengan lak-laki masih banyak mendapat sentimen negatif. Mari jadikan dunia ini lebih aman dan  adil bagi semua,” ungkap Ayya pada kegiatan bertajuk “Empowerment Perempuan dalam Transformasi Budaya" itu. 


Ketua Panitia SIG itu menjelaskan perlu diketahui bersama bahwa kaderisasi sudah mengalami perekembangan, tapi perkembangan itu masih dilihat dari segi kuantitas. Dengan digelarnya berbagai kegiatan terutama di tubuh PMII khususnya kaderisasi formal SIG ini saatnya membawa perubahan kuantitas menuju perubahan kualitas.

 

 “Kualitas terhadap pemikiran persoalan keadilan gender, yang mana kita sudah harus sadar bahwa kualitas tersebut merupakan pencapaian terbaik yang perlu kita pertahankan dan terus ditingkatkan,” tegas Ayya yang juga pengurus kaderisasi Kopri PMII Unusia Jakarta Pusat itu. 

 

Ayya kembali menegaskan bukan hanya dari jumlah anggota saja melainkan dari segi keilmuan, wawasan, serta analisis yang baik dalam profesionalitas pengetahuan. Menurutnya, persoalan ketidakadilan gender bukan hanya menjadi beban bagi perempuan saja melainkan laki-laki juga ikut terlibat.


“Jadi harapan saya setelah ini kita bisa terus mengadakan kegiatan-kegiatan yang membahas tentang gender untuk keluar dari ketidakadilan. Karena berbicara mengenai kesetaraan gender, bukan hanya menjadi beban bagi perempuan saja melainkan kaum laki-laki. Dimana keduanya haruslah saling memahami dan saling mengerti bahwa gender haruslah berprinsip pada kesetaraan,” kata Ayya. 

 

Setelah selesainya kegiatan SIG itu, Ayya berencana untuk melaksanakan kegiatan Sekolah Feminisme sebagai kegiatan lanjutan. Dimana menurutnya, feminisme merupakan hal yang bertolak belakang dari gender dan jarang sekali orang tertarik mempelajari hal itu. 

 

“Untuk kegiatan setelah SIG ini, saya berencana untuk membuat kegiatan Sekolah Feminisme. Menariknya adalah pembahasan feminisme sangat bertolak belakang dengan gender. Dimana masih jarang sekali orang yang memahami dan mengerti tentang feminisme itu sendiri,” tutup Ayya.

 

Kontributor : Ginar Iqro Iil Alamin
Editor: Khoirul Rizqy At-Tamami