Keislaman

Fenomena Hamil di Luar Nikah, Ini Konsekuensi Hukumnya dalam Islam

Rabu, 13 Agustus 2025 | 12:49 WIB

Fenomena Hamil di Luar Nikah, Ini Konsekuensi Hukumnya dalam Islam

Ilustrasi wanita hamil. (Foto: NU Online/Freepik).

Perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi di era digital telah mengguncang banyak tabu sosial. Salah satunya, meningkatnya kasus kehamilan di luar pernikahan yang kerap dipandang sebagai hal lumrah. 

 

Fenomena ini tidak hanya menimbulkan keresahan sosial, tetapi juga menentang nilai-nilai moral dan agama yang telah menjadi landasan kehidupan masyarakat.

 

Pergeseran cara pandang terhadap nilai-nilai tersebut sejatinya merupakan bagian dari dinamika sosial. Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial terjadi ketika ada pergeseran pada nilai, norma, dan sistem pada masyarakat. 

 

Dalam konteks ini, kehadiran media sosial mempercepat proses tersebut. Hamil di luar nikah yang dulunya dianggap tabu kini bisa dianggap sebagai ekspresi individu. Pergeseran ini juga diperkuat oleh fenomena don’t judge culture yang membungkam kritik terhadap perbuatan menyimpang dengan dalih menghargai pilihan hidup orang lain. 

 

Islam telah mengatur norma-norma dan aturan bagi manusia agar menjalani kehidupan dengan semestinya. Begitu pula dalam masalah biologis, Islam memfasilitasinya dalam bingkai pernikahan. 

 

Menurut empat madzab besar dalam fikih, yang dimaksud dengan pernikahan adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan badan (seks) antara laki-laki dan perempuan.

 

Dalam pandangan Islam, seks di luar pernikahan dikategorikan sebagai perbuatan zina dan termasuk dosa besar. Apalagi seks tersebut menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Perbuatan ini membawa konsekuensi yang berat, baik secara sosial dan hukum di dunia, maupun ganjaran di akhirat sebagaimana diatur dalam ajaran agama.

 

Allah swt berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 32:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا

 

Artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

 

Para ulama tafsir menegaskan larangan keras terhadap zina, bahkan Allah memerintahkan agar tidak mendekatinya karena zina adalah perbuatan yang keji dan merusak jalan hidup. 

 

Dalam konteks kehamilan di luar nikah, ayat ini menjadi peringatan bahwa tindakan tersebut merupakan akibat dari dilanggarnya batas-batas syariat dan termasuk dalam dosa besar yang berdampak buruk bagi pelaku serta tatanan sosial secara luas.

 

Fenomena kehamilan di luar nikah tidak hanya menjadi pelanggaran terhadap norma agama, tetapi juga memunculkan berbagai persoalan sosial, hukum, dan moral yang kompleks. 

 

Islam sebagaimana agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan telah menetapkan aturan tegas demi menjaga keturunan atau hifz al-nasl. Ada beberapa konsekuensi penting dari kehamilan di luar nikah menurut perspektif Islam.

 

Pertama, hilangnya nasab anak.

 

Meskipun anak hasil di luar nikah atau anak hasil perzinaan tidak mewarisi dosa orang tuanya dan dia dilahirkan dalam keadaan suci, namun ada permasalahan yang harus ditanggung yaitu nasab. Nasab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keturunan. Nasab juga diartikan sebagai tali penghubung keluarga dan kerabat sedarah lainnya.

 

Menurut jumhur ulama, anak yang lahir dari hubungan zina hanya memiliki ikatan nasab dengan ibunya. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid:

 

واتفق الجمهور على أن أولاد الزنا لا يلحقون بآبائهم إلا في الجاهلية على ما روي عن عمر بن الخطاب على اختلاف في ذلك بين الصحابة   

 

Artinya, “Mayoritas ulama sepakat bahwa anak hasil zina tidak bersambung nasabnya kepada bapak mereka kecuali hal tersebut terjadi pada masa jahiliyah (pra Islam) sebagaimana penuturan Umar bin Khattab, meski terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini diantara pada Sahabat.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Mesir: Mathba’ah Mustafa, 1975, jilid II, halaman 358).

 

Dengan kata lain, anak hasil zina tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada ayah biologis. Meskipun sang ayah mengakui anak tersebut, pengakuan semacam itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk menetapkan hubungan nasab, sebab anak tersebut lahir dari hubungan yang tidak sah menurut syariat Islam.

 

Kedua, komplikasi hukum waris dan wali nikah.

 

Hilangnya nasab anak hasil zina kepada bapak biologis seperti yang telah dijelaskan di atas, juga berdampak terhadap hak waris dan wali nikah bagi anak perempuan.

 

Anak hasil zina tidak memiliki hak untuk mewarisi harta dari ayah biologisnya. Demikian merupakan konsekuensi logis dari status anak yang tidak diakui sebagai anak sah menurut Islam.

 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ketentuan anak hasil zina tidak dapat menerima warisan dari ayahnya adalah pendapat Ijma ulama.

 

وكل من ولد الزنا وولد اللعان: لا توارث بينه وبين أبيه وقرابة أبيه بالإجماع، وإنما يرث بجهة الأم فقط؛ لأن نسبه من جهة الأب منقطع، فلا يرث به، ومن جهة الأم ثابت، فنسبه لأمه قطعاً؛ لأن الشرع لم يعتبر الزنا طريقاً مشروعاً لإثبات النسب، ولأن ولد اللعان لم يثبت نسبه من أبيه. فيرث كل منهما عند الأئمة الأربعة من أمه وقرابتها، وهم الإخوة لأم بالفرض لا غير، وترث منه أمه وإخوته من أمه فرضاً لا غير؛ لأن صلته بأمه مؤكدة لا شك فيها

 

Artinya, “Setiap anak hasil zina dan anak li’an mereka tidak saling mewarisi dengan ayahnya maupun kerabat dari pihak ayah, berdasarkan ijma’. Mereka hanya mewarisi melalui jalur ibu saja. Hal ini karena nasab dari pihak ayah terputus, sehingga ia tidak dapat mewarisi dari jalur tersebut, sementara dari pihak ibu nasabnya tetap, maka nasabnya kepada ibu adalah pasti...” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz X, halaman 7905).

 

Dalam konteks pernikahan, anak perempuan yang lahir di luar nikah menghadapi sejumlah keterbatasan, salah satunya terkait kewalian. Dalam hukum Islam, ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak diakui adanya hubungan kewalian antara keduanya.

 

Kompilasi hukum Islam pasal 186 menyebutkan, “Anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” (HA Badruddin, Kompilasi Hukum Islam, PSP Nusantara, 2018, hal. 43)

 

Dengan demikian, wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar pernikahan adalah hakim, atau pejabat hukum yang ditunjuk oleh Kementerian Agama.

 

Refleksi atas Kesucian Institusi Keluarga

 

Kompleksitas hukum Islam dalam menangani isu hamil di luar pernikahan dapat dipahami bahwa aturan tersebut dirancang untuk melindungi kehormatan, mencegah kerancuan, serta menjaga stabilitas sosial dalam masyarakat Muslim. Konsepsi ini mencerminkan perhatian syariat Islam terhadap pentingnya memastikan keutuhan garis keturunan dalam keluarga, yang menjadi fondasi dari stabilitas sosial.

 

Menormalisasi kehamilan di luar nikah hanya akan membentuk lingkaran setan. Tidak hanya pelaku, anak yang lahir di luar nikah juga sering terjebak dalam ruang abu-abu yang membuatnya rentan mengulangi pola serupa dan kesulitan menghayati nilai-nilai agama maupun sosial.

 

Maka dari itu, marilah kita bersama-sama memperdalam pemahaman agama, menjauhkan diri dari segala perbuatan zina, serta mengarahkan kembali kehidupan masyarakat menuju tatanan yang sejalan dengan syariat Islam. 

 

Waallahu’alam.