Khutbah

Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan

Kamis, 5 Juni 2025 | 13:00 WIB

Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan

Ilustrasi hewan kurban. Sumber: Canva/NU Online.

Cerita Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Ismail, menyimpan banyak hikmah yang luar biasa. Di antara hikmah tersebut adalah mengontrol rasa cinta terhadap anak selaku bagian dari macam-macam duniawi. 


Maka dari itu, pada momen hari raya Idul Adha 1446 H topik khutbah berjudul: “Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan.” Untuk mencetak, silakan klik fitur download berwarna merah di desktop pada bagian atas naskah khutbah ini. Semoga bermanfaat!


Khutbah I

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ 


إنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلُ الصِّدْقِ وَالْوَفَاءِ، أَمَّا بَعْدُ  فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِي نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، فَمَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى وَاتَّقَى فَقَدْ أَفْلَحَ وَفَازَ، إِنَّ اللهَ لَايُخْلِفُ الْمِيْعَادَ. وَقَالَ تَعَالَى:  إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا، حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا


Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala anugerah-Nya yang tiada terhingga, baik berupa nikmat materi maupun non-materi, terutama anugerah iman dan Islam yang menjadi cahaya petunjuk hidup kita. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya, yang telah Allah pilih sebagai teladan utama dalam menjalani kehidupan beragama.


Hadirin yang dirahmati Allah, pada kesempatan ini, khatib mengajak kita semua untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana kita ketahui, takwa adalah bekal utama yang akan menemani kita di akhirat kelak. Hanya dengan ketakwaanlah kita dapat meraih keselamatan di hari kiamat. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa memperbaiki dan memperkuat kualitas takwa seiring perjalanan waktu, agar kita menjadi hamba yang lebih baik di sisi-Nya.


Ma’asyiral muslimin wal muslimat hafidzakumullah

Hari ini kita sedang berada pada hari raya kurban, yaitu sebuah hari guna memperingati peristiwa Nabi Ibrahim dengan anaknya, Nabi Ismail. Sebagaimana sudah populer kalau peristiwa tersebut melewati berbagai tahapan hingga puncaknya adalah kesediaan Nabi Ismail untuk disembelih sesuai perintah Allah. 


Tentu kerelaan Nabi Ibrahim dan Ismail hanya bermodal keimanan dan ketakwaan kepada Allah, tidak lebih dari itu. Namun modal yang tampak sederhana itu dapat mengalahkan seluruh aspek-aspek lain yang melekat pada kedua Nabi tersebut selaku sosok manusia biasa pada umumnya, terutama aspek asasi yang pasti ada pada setiap manusia: hawa nafsu.


Sebagaimana sudah maklum bahwa manusia menjadi makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lain bukan hanya dilihat dari fisiknya saja, melainkan juga dari anugerah yang ditanamkan pada diri manusia: akal dan nafsu sekaligus.


Maka ketika manusia itu didominasi akalnya, yang istiqomah di jalan yang benar bisa menjadi lebih mulia dari malaikat selaku makhluk yang tidak pernah membangkang. Begitu juga ketika manusia itu dikuasai nafsunya sehingga selalu melakukan dosa maka saat itu menjadi lebih terkutuk dibandingkan setan itu sendiri.

 

Para hadirin yang dimuliakan Allah

Dengan demikian, pilihan terakhir berada di tangan kita: apakah mau mengikuti akal yang dibimbing oleh cahaya iman dan Islam atau menuruti hawa nafsu yang akan menjerumuskan kita ke lubang kesengsaraan dan kesedihan. Kita juga sudah mengetahui bagaimana norma-norma keduanya sehingga jalan yang menyelamatkan dan yang mencelakakan sudah terlihat jelas di hadapan kita.


Hanya saja kita masih sering memilih jalan yang mengantarkan kita pada kecelakaan. Artinya, hawa nafsu yang ada dalam diri kita lebih banyak mengontrol tubuh kita dibandingkan keimanan yang kita percayai. Nafsu berhasil mengelabui penglihatan kita seolah-olah sebuah perbuatan terlihat menyenangkan, bahkan tampak ada manfaatnya sehingga menjadikan kita terlena dan terus-menerus menurutinya.


Imam al-Bushiri di dalam qasidahnya yang terkenal, al-Burdah, mengatakan:


وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۞ حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ


Artinya, “Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan akan tetap suka menyusu. Namun bila kau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri.”


Oleh karena itu butuh pembiasaan dan latihan untuk bayi agar bisa disapih sehingga tidak menyusu sampai lebih dari dua tahun.

 
Memperlakukan nafsu juga demikian: tidak boleh selalu mengindahkannya. Sebab kalau tidak, maka nafsu tidak akan pernah merasa puas dalam hal apa pun. Nafsu selalu mempunyai berbagai cara agar manusia tunduk terhadapnya. Hal ini berlaku ke seluruh aspek kehidupan kita, terutama perkara-perkara duniawi.

 

Jamaah kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah..

Termasuk di antara perkara duniawi adalah kehadiran seorang anak. Bahkan tidak sedikit dari kita yang berlomba-lomba memperbanyak anak sebagai bentuk prestasi yang layak dibanggakan. Padahal sikap semacam itu sudah diultimatum oleh Al-Quran. Hal ini sebagaimana ayat yang berbunyi:


اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ


Artinya, “Ketahuilah oleh kalian bahwasannya kehidupan dunia itu hanya sekadar permainan, senda gurau, dan perhiasan (semata), dan di antara kalian saling membanggakan diri satu sama lain, serta berlomba-lomba memperbanyak harta dan keturunan.” (QS. al-Hadid: 20)


Meskipun lawan bicara ayat ini masyarakat Arab 15 abad yang lalu, namun relevansinya masih sejalan dengan apa yang terjadi hari ini. Tidak sedikit dari kita yang terlena dengan urusan duniawi, bahkan sampai saling menjatuhkan dengan yang lain. Dan ini juga tidak terkecuali dalam masalah keturunan. 


Maka dari itu, Nabi Ibrahim ketika diminta untuk menyembelih putranya pada sejatinya itu bukan hanya ujian ketaatan atas perintah tersebut semata. Lebih dari itu Nabi Ibrahim sedang ditempa untuk mengontrol hawa nafsunya terhadap dunia, imannya ditantang oleh Allah apakah akan luluh dengan kecintaannya terhadap anaknya atau justru tetap teguh sehingga dapat menjinakkan rasa cintanya.


Dan ternyata Nabi Ibrahim berhasil melalui rintangan tersebut. Maka sekarang kita yang harus melakukan refleksi: apakah sudah mampu mengontrol hawa nafsu atau jangan-jangan malah sebaliknya? Termasuk mengenai hawa nafsu terhadap keturunan sehingga rasa cinta terhadapnya melebihi keimanannya. Terkait hal ini Allah juga pernah memberikan peringatan dengan berfirman:


إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ


Artinya, “Hanya sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian merupakan fitnah (ujian), dan pada sisi Allah terdapat pahala yang agung.” (QS. At-Taghabun: 15)

 

Ma’asyiral muslimin wal muslimat

Syekh Wahbah az-Zuhaili di dalam kitab Tafsir Al-Munir (juz 28 hal. 257) mengatakan bahwa harta dan anak, termasuk juga pasangan menjadi ujian ketika lebih memprioritaskan mereka ketimbang menaati aturan Allah dan rasul-Nya. Maka pada saat itulah mereka secara tidak langsung menjadi musuh bagi agama Islam karena menjadi aral untuk mengerjakan norma agama.


Pada satu sisi, memang patut dimaklumi ketika seseorang begitu mencintai keluarga dan hartanya. Dan inilah yang disebut hawa nafsu. Namun di sisi lain, ketika aspek-aspek tersebut berkonfrontasi dengan norma agama maka hawa nafsu tersebut perlu dikendalikan agar tidak sampai kebablasan. Dan iman menjadi media untuk mengendalikannya.


Dengan keimanan yang kuat maka kita tidak akan mudah dipancing oleh hawa nafsu. Alih-alih sampai bertentangan dengan syariat, bahkan perkara yang masih diperbolehkan pun tetap bisa terkontrol dengan keberadaan iman itu. Sebab dengan keimanan kita menyadari bahwa mempunyai keinginan duniawi tidak perlu muluk-muluk.


Namun hal ini bukan berarti tidak boleh berhasrat dan mencintai dunia. Hanya saja hasrat dan kecintaan tersebut perlu dikontrol, bahkan dunia tersebut dijadikan media untuk memperbanyak bekal akhirat nanti. Maka ketika ada iktikad untuk berkontribusi terhadap dunia, misalnya, tentu itu baik dan dianjurkan sehingga kita selaku umat Islam tidak bergantung terus terhadap non muslim.

 

Para hadirin yang dimuliakan Allah

Namun masalahnya kebanyakan kita tidak lulus dari ujian dunia. Dengan kata lain, hawa nafsu kita masih lebih mendominasi ketimbang keimanan kita, sehingga membuat kita terlalu fokus pada urusan dunia dan lupa terhadap akhirat. Maka dari itulah Nabi pernah bersabda:


أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ


Artinya, “Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat dan apa yang ada di dalamnya, kecuali berzikir (mengingat) kepada Allah dan apa saja yang dapat mengarahkan pada zikir itu, serta orang yang berilmu dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmidzi)


Kalau kita mencermati hadis ini maka ada kata kunci tersirat di sana, yaitu ilmu, yang dapat mengalahkan dunia dan instrumen yang mengantarkannya, yakni hawa nafsu. Dengan ilmu yang berkaitan dengan keimanan maka kita akan senantiasa mengingat Allah, begitu juga dengan ilmu orang yang berilmu dan belajar tidak akan silau dengan barang-barang duniawi.


Hal ini disebabkan ilmu itu dapat mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan dengan ilmu pula hawa nafsu itu dinilai sebagai sesuatu yang buruk. Maka dari itu kita perlu senantiasa meningkatkan ilmu agar ketika hawa nafsu mencoba mengelabui kita dapat menangkis dan bahkan menyembelihnya. 


Tentu ilmu di sini spesifik pengetahuan yang dapat menambah ketakwaan kita, begitu juga hawa nafsu itu sendiri mencakup berbagai aspek kehidupan, khususnya perkara duniawi yang membuat kita menyalahi aturan agama dan melupakan akhirat.


Semoga dengan merefleksikan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di momen hari raya kurban ini kita dapat mengendalikan hawa nafsu kita lebih baik lagi dari sebelumnya.


بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

 

Baca selengkapnya di sini