Akhlak Tasawuf

Resolusi Konflik dalam Perspektif Al-Qur'an

Ahad, 3 November 2024 | 12:00 WIB

Resolusi Konflik dalam Perspektif Al-Qur'an

Ilustrasi Al-Qur'an. (Foto: Freepik)

Allah telah memberikan perangkat dan pedoman kehidupan yang digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan dalam mengatur kehidupan manusia yaitu Al-Qur’an. Oleh karenanya, setiap manusia harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupannya serta dalam menyelesaikan segala urusannya. 

 

Apabila manusia tidak menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam urusannya, maka hal ini akan sangat berpotensi dalam menimbulkan konflik. Konflik ini akan selesai apabila manusia kembali berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

 

Hal ini dikarenakan pada hakikatnya penciptaan manusia adalah untuk menjadi orang-orang yang memperbaki dirinya dan orang lain sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al- Baqarah ayat 11 sebagai berikut:

ADVERTISEMENT BY OPTAD


وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

 

Artinya:

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

"Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". 
 

Pengertian Konflik 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Konflik juga diartikan sebagai suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain di mana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. 

 

Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada oleh persamaan.(Bunyamin Maftuh, 2005).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Sedangkan menurut Scannell, konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. 
 


Resolusi Konflik dalam Al-Qur’an 


Ibarat sebuah pedang, agama sebagai doktrin memiliki dua mata. Di satu sisi, ia dapat menjadi pemicu konflik. Namun di sisi lain, ia juga dapat menjadi pemicu integritas dan resolusi konflik. Hal ini tergantung pada pemahaman orang mengenai agama. Kendatipun demikian, sudah semestinya konflik teologis itu ‘dieliminasi’, jika enggan untuk berkata ‘diakhiri’. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Mengutip pernyataan sosok Mahatma Gandhi, “Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain, namun agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu malapetaka bahwa kini agama telah sedemikian didistorsi, sehingga menjadi penyebab terjadinya perselisihan dan pembantaian”. 

 

Untuk itu Al-Quran menawarkan spirit dalam menginspirasi dan memotivasi untuk mewujudkan resolusi konflik menuju perdamaian, di antaranya (Imam Malik, 2015):

 
 
Pertama, melakukan al-tabayun (klarifikasi). Dalam hal ini al-tabayun dijadikan sebagai upaya mencari kejelasan dan klarifikasi atas sebuah informasi, terlebih informasi yang masih simpang-siur kejelasannya, yang dapat menimbulkan fitnah dan konflik. Spirit al-tabayun dikatakan dalam al-Quran untuk menguji kebenaran informasi dari seorang fasiq. Firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6 yaitu:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

 

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu”. 
 


Kedua, melakukan tahkim (upaya mediasi). Dalam hal ini upaya tahkim dilakukan sebagai salah satu cara mendamaikan dua belah pihak yang tengah berkonflik dengan mendatangkan mediator sebagai juru damai, sebagaimana dikatakan dalam Q.S. An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:

 

وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا

 

Artinya:
“Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.


 
Ketiga, melakukan al-syura (musyawarah). Upaya ini ditempuh guna memecahkan persoalan (baca: mencari solusi) dengan mengambil keputusan bersama. Hal ini dianggap penting dalam kasus terjadinya konflik. Pentingnya musyawarah ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran ayat 158 yang berbunyi:

 

وَلَىِٕنْ مُّتُّمْ اَوْ قُتِلْتُمْ لَاِلَى اللّٰهِ تُحْشَرُوْنَ 
 


Artinya:
“Sungguh, jika kamu mati atau gugur, pastilah kepada Allah kamu dikumpulkan”.
 


Keempat, sikap al-afwu (saling memafkan). Ketika terjadi konflik, maka masing-masing pihak cenderung mempertahankan ego sektoral mereka. Sehingga al-‘afwu merupakan indikator awal lahirnya kebaikan dan ketakwaan seseorang, yang mampu menciptakan kondisi perdamaian dalam kehidupan manusia. Firman Allah pada Q.S. al-Baqarah ayat 237 yaitu:

 

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 

Artinya:
“Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya. Pembebasanmu itu lebih dekat pada ketakwaan. Janganlah melupakan kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. 
 


Kelima, tekad al-ishlah (berdamai). Setelah upaya saling memaafkan, maka tekad untuk berdamai pun menjadi sebuah keharusan. Sebab al-Quran sendiri menegaskan untuk berdamai dalam berteologi/berkeyakinan. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqaraۤh ayat 208 yaitu:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”. 

 

Keenam, sikap al-‘adl (berlaku adil). Keadilan (al-adalah) merupakan suatu keniscayaan dalam menciptakan kondisi damai dan harmoni. Sebab kezaliman (lawan dari keadilan) pada dasarnya akan menyulut konflik bagi pihak yang dizalimi. Term yang digunakan dalam al-Quran untuk menyebut keadilan sangatlah beragam, seperti al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Keadilan merupakan indikator keta kwaan seseorang. Firman Allahًۖ dalam Q.S. al-Maidah ayat 8 yaitu:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
 


Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi- saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. 
 


Ketujuh, adanya al-hurriyah (jaminan kebebasan). Al-Quran sangat menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan dalam menentukan keyakinan atau agama. Firman Allah dalam urat al-Baqarah ayat 256 yaitu:
  

 
   لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
 

  
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

 

Nia Darmawati, Hamidullah Hamid, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ADVERTISEMENT BY ANYMIND