• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Senin, 29 April 2024

Fiqih

Putusan LBM NU DKI Hukum Ucapan Al-Qur'an Kalam Nabi Muhammad Berdasarkan Wahyu Allah

Putusan LBM NU DKI Hukum Ucapan Al-Qur'an Kalam Nabi Muhammad Berdasarkan Wahyu Allah
Ilustrasi Al-Qur'an (Foto: NU Online)
Ilustrasi Al-Qur'an (Foto: NU Online)

Apa yang disampaikan Panji Gumilang bahwa “Al-Qur`an adalah kalam Nabi Saw. berdasarkan wahyu Allah” tidak serta-merta dianggap sebagai penistaan agama. Sehingga ketetapannya adalah apabila Panji Gumilang masih mempercayai bahwa al-Qur`an merupakan kitab suci wahyu dari Allah maka tidak termasuk sebagai bentuk perkataan yang menistakan agama. Sebaliknya, apabila Panji Gumilang meyakini bahwa al-Qur`an bukan kitab suci wahyu dari Allah, maka itu termasuk penistaan agama. 


Di dalam kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan tiga pendapat dari para ulama tentang siapa yang meredaksikan teks al-Qur`an. Pendapat pertama, menyatakan bahwa Allah sudah meredaksikan al-Qur`an dan menampilkannya di Lauhul Mahfuzh yang dihafal oleh Malaikat Jibril untuk kemudian menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw. 


Pendapat kedua, menyatakan bahwa Allah menurunkan makna al-Qur`an kepada Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian Nabi Muhammad Saw. meredaksikan makna tersebut ke dalam bahasa Arab.


Pendapat ketiga, menyatakan bahwa Allah menurunkan makna dan dibahasakan ke Arab oleh Malaikat Jibril lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ketiga pendapat tersebut diungkapkan oleh Syekh Jalaluddin al-Suyuthi seorang ulama klasik Islam kenamaan Mesir yang bermadzhab Syafii dalam fikih dan bermadzhab Asy’ari dalam teologi di dalam kitabnya, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, sebuah kitab bacaan wajib bagi mereka yang mengkaji ilmu al-Quran.


Menurut pandangan Asy’ariyah, yang diikuti oleh mayoritas umat Muslim di Indonesia khususnya warga NU, kalam Allah Swt. dalam pengertian kalâm nafsîy (kalam diri yang melekat inhern dalam Zat Allah) adalah kalam yang tanpa huruf, tanpa kata, tanpa kalimat, tanpa suara, tanpa ada bentuk apapun dan tanpa datang dari arah manapun. Karena itu, Imam Fakhruddin al-Razi, ulama Asy’ariyah dalam kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb memberikan pandangan tentang kalam Allah yang terkait al-Qur`an dengan beberapa kemungkinan, yaitu: 
Pertama, kemungkinan Allah Swt. menciptakan pendengaran untuk kalam-Nya dan membuatnya mampu mengungkapkan ungkapan dari kalam qadim tersebut.
Kedua, kemungkinan Allah Swt. menciptakan di Lauhul Mahfuzh sebuah tulisan dengan nazham khusus yang kemudian dibaca dan dihafal oleh Malaikat Jibril as.. 
Ketiga, kemungkinan Allah Swt. menciptatakan suara-suara yang berbeda dengan nazham khusus dalam tubuh khusus yang kemudian ditangkap oleh Malaikat Jibril as. 
Keempat, kemungkinan Allah menciptakan untuknya pengetahuan yang diperlukan bahwa itu adalah ungkapan yang merealisasikan makna kalam qadim tersebut.


Selagi masih mengimani bahwa al-Qur`an adalah wahyu dari Allah, maka seseorang tidak bisa dianggap sebagai orang yang keluar dari Islam dan tidak bisa dianggap penista agama. Karena itu, jika melihat pernyataan Panji Gumilang terdapat kata “berdasarkan wahyu Allah”, maka hal ini menunjukkan bahwa Panji Gumilang adalah seorang muslim yang mengimani Al-Quran adalah kitab suci wahyu Allah.


Penjelasan Para Ulama 


جلال الدين السيوطي الإتقان في علوم القرآن، ٤۳.
وفي المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم ثلاثة أقوال: أحدها: أنه اللفظ والمعنى، وأن جبريل حفظ القرآن من اللوح المحفوظ ونزل به، والثاني: أن جبريل إنما نزل بالمعاني خاصة، وأنه صلى الله عليه وسلم علم تلك المعاني وعبر عنها بلغة العرب، وتمسَّك قائل هذا بظاهر قوله تعالى: ﴿ نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ ﴾، والثالث: أن جبريل ألقى إليه المعنى، وأنه عبر بهذه الألفاظ بلغة العرب.


“Dalam masalah al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ada tiga pendapat: pertama, bahwa al-Qur`an diturunkan dengan lafazh (kalimat) dan makna, dan bahwa Malaikat Jibril as. menghafal al-Qur`an dari Lauhul Mahfuzh dan membawanya kepada Nabi. Kedua, bahwa Malaikat Jibril as. hanya membawa makna-makna saja, dan Nabi Muhammad Saw. memahami makna tersebut dan kemudian mengungkapkannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini berpegang pada tekstualitas firman Allah Swt.: ‘Dan sesungguhnya al-Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa turun oleh al-Ruhu al-Amin (Malaikat Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad),’ [Q.S. al-Syu’ara: 192-195]. Ketiga, bahwa Malaikat Jibril as. mendapatkan makna, dan ia mengungkapkannya dengan lafazh/kalimat bahasa Arab.” 


تحفة المريد، ١٠٦
ومذهب أهل السنة أن القرآن بمعنى الكلام النفسي ليس بمخلوق وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق لكن يمتنع أن يقال القرآن مخلوق ويراد به اللفظ الذي نقرؤه إلا في مقام التعليم لأنه ربما أوهم ان القرآن بمعنى كلامه تعالى مخلوق ولذلك امتنعت الأئمة من القول بمخلوق القرآن.


“Mazhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa al-Qur`an dalam pengertian al-kalâm al-nafsîy (kalam diri yang inhern melekat dalam Zat Allah) adalah bukan makhluk. Adapun al-Qur`an dalam pengertian lafazh/kalimat yang kita baca adalah makhluk. Tetapi dilarang mengatakan bahwa al-Qur`an adalah makhluk, maksudnya lafazh yang kita baca kecuali dalam level pengajaran. Karena khawatir disalahpahami bahwa al-Qur`an dalam pengertian kalam Allah Swt. adalah makhluk. Oleh karena itu, para imam melarang mengatakan bahwa al-Qur`an adalah makhluk.”


التفسير الكبير مفاتيح الغيب، ۳۳/١
المراد من إنزال الوحي وكون القرآن منزلا، منزلا، ومنزولا به، أن جبريل عليه السلام سمع في السماء كلام الله تعالى فنزل على الرسول به، وهذا كما يقال: نزلت رسالة الأمير من القصر، والرسالة لا تنزل لكن المستمع يسمع الرسالة من علو فينزل ويؤدي في سفل، وقوله الأمير لايفارق ذاته، ولكن السامع يسمع فينزل ويؤدي بلفظ نفسه، ويقال فلان ينقل الكلام إذا سمع في موضع وأداه في موضع آخر. فإن قيل كيف سمع جبريل كلام الله تعالى، وكلامه ليس من الحروف والأصوات عندكم؟ قلنا يحتمل أن يخلق الله تعالى سمعا لكلامه ثم أقدره على عبارة يعبر بها عن ذلك الكلام القديم، ويجوز أن يكون الله خلق في اللوح المحفوظ كتابة بهذا النظم المخصوص فقرأه جبريل عليه السلام فحفظه، ويجوز أن يخلق الله أصواتا مقطعة بهذا النظم المخصوص في جسم مخصوص فيتلقفه جبريل عليه السلام ويخلق له علما ضروريا بأنه هو العبارة المؤدية المعنى ذلك الكلام القديم.


“Maksud dari penurunan wahyu dan kedudukan al-Qur`an sebagai munzal, munazzal, dan manzûl bihi, bahwa Malaikat Jibril as. mendengarkan kalam Allah Swt. di langit dan ia turun kepada sosok yang diutus oleh-Nya (al-rasûl bihi). Ini seperti dikatakan, ‘Risalah (pesan) Amir turun dari istana, dan risalah ini tidak turun tetapi mustami’ (orang yang mendengar) mendengar risalah tersebut dari ketinggian kemudian ia turun dan melaksanakan risalah tersebut di bawah. Dan perkataan Amir tidak terpisah/terlepas dari dirinya, tetapi sâmi’ (orang yang mendengar) mendengar [perkataan tersebut] dan melaksanakannya dengan lafazhnya sendiri. Dan dikatakan, ‘Si fulan menukil pembicaraan bila ia mendengarkan [pembicaraan itu] di suatu tempat dan melaksanakannya di tempat lain. Jika dikatakan, bagaimana Malaikat Jibril as. Mendengarkan kalam Allah Swt. sementara menurut kalian kalam-Nya tidak berbentuk huruf dan suara? Kami katakan, kemungkinan bahwa Allah Swt. menciptakan pendengaran untuk kalam-Nya dan membuatnya mampu mengungkapkan ungkapan dari kalam qadim tersebut. Dan kemungkinan juga, bahwa Allah Swt. menciptakan di Lauhul Mahfuzh sebuah tulisan dengan nazham khusus yang kemudian dibaca dan dihafal oleh Malaikat Jibril as.. Dan kemungkinan juga, bahwa Allah Swt. menciptatakan suara-suara yang berbeda dengan nazham khusus dalam tubuh khusus yang kemudian ditangkap oleh Malaikat Jibril as. dan Allah menciptakan untuknya pengetahuan yang diperlukan bahwa itu adalah ungkapan yang merealisasikan makna kalam qadim tersebut”.


الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي، ١٤٩
وسئل نفع الله به عن شخص قال: ليس القرآن الموجود في مصاحف المسلمين كلام الله، وليست الألفاظ الموجودة فيها هي التي جاء بها جبريل عليه السلام عن الله، وإنما هذه الألفاظ ألفاظ النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما كلام الله تعالى الأحاديث القدسية فقط، فما حكم الله في هذا القائل؟ أفتونا مأجورين وبينوا الحكم في هذه المسألة بيانا شافيا مع ما تيسر من أدلتها وأقوال العلماء فيها، أثابكم الله الجنة. فأجاب بقوله: قد اشتمل هذا الكلام على أمرين فاسدين:


أولهما: نفيه كلام الله عن ألفاظ القرآن وليس كما زعم، إذ التحقيق عند أئمة الأصول أن كلام الله تعالى اسم مشترك بين الكلام النفسي القديم ومعنى إضافة الكلام له تعالى على هذا كونه صفة له وبين اللفظ المؤلف الحادث من السور والآيات أي سواء قلنا إن ذلك اللفظ المؤلف هو لفظ جبريل او لفظ النبي صلى الله عليه وسلم كما صرح به في شرح المقاصد؛ ومعنى إضافة الكلام إلى الله على هذا أنه مخلوق له ليس من تأليف المخلوقين، وقد أجمع أهل السنة وغيرهم على انه لا يصح نفي كلام الله تعالى عن ذلك اللفظ المؤلف كيف والإعجاز والتحدي المشتمل هو عليهما إنما يكونان في كلام الله دون كلام غيره، فنفي ذلك القائل عنه كلام الله جهل قبيح وخطأ صريح، فليؤدب على ذلك إن لم يرجع. 


ثانيهما: فرقه بين ألفاظ القرآن وألفاظ الأحاديث القدسية وهو تحكم صرف يبنى على عدم تحصيله وفساد تصوره إذ لا فرق بينهما كما سيتضح من بسط ما للعلماء في ذلك -إلى أن قال- والذي يتعين ترجيحه بحسب الأدلة أن المنزل عليه صلى الله عليه وسلم اللفظ والمعنى، وأن ذلك اللفظ ليس من اختراع جبريل وإنما أخذه بالتلقي الروحاني او من اللوح المحفوظ، وممن جرى على ذلك الإمام البيهقي -إلى أن قال- وقد رأيت عن الزهري ما يعضد كلام الجويني. وفي هذا لمن تأمله أبلغ رد على ذلك المتحكم المذكور ما في السؤال من أن القرآن لفظ النبي صلى الله عليه وسلم بخلاف الأحاديث القدسية فتأمله -إلى أن قال- وهذه كلها ظاهرة او صريحة فيما مر أن اللفظ ليس لجبريل ولا لنبينا محمد صلى الله عليه وسلم ولهذا كان الأصح من الخلاف في كيفية إنزاله من اللوح المحفوظ أنه نزل منه الى سماء الدنيا في رمضان ليلة القدر جملة واحدة ثم بعد ذلك نزل مفرقا عشرين سنة أو ثلاثا وعشرين سنة أو خمسا وعشرين على حسب الخلاف في مدة إقامته صلى الله عليه وسلم بمكة بعد البعثة. وحكي القرطبي الإجماع على هذا القول.


Ia—semoga Allah memberi manfaat kepadanya—ditanya tentang seseorang, dan ia berkata: ‘Al-Qur`an yang ada di dalam mushaf-mushaf kaum Muslim bukanlah kalam Allah, dan lafazh-lafazh yang ditemukan di dalamnya bukanlah lafazh-lafazh yang dibawa Jibril as., melainkan lafazh-lafazh ini adalah perkataan Nabi Muhammad Saw.. Kalam Allah Swt. hanyalah berupa hadits Qudsi saja. Lalu apa hukum Allah atas pernyataan ini? Beri kami fatwa dan berikan penjelasan lengkap tentang hukum masalah ini, disertai dalil-dalil yang ada dan pandangan para ulama mengenainya, semoga Allah membalas Anda dengan surga. Ia menjawab dengan pernyatannya: Perkataan ini mengandung dua kerusakan:


Pertama, pengingkarannya terhadap firman Allah berkenaan dengan kalimat-kalimat al-Qur`an, dan bukan seperti yang diklaimnya, karena menurut penyelidikan para imam ushul adalah bahwa kalam Allah Swt. merupakan nama yang umum di antara al-kalâm al-nafsîy al-qadîm dan makna tambahan bagi kalam-Nya yang merupakan sifat bagi-Nya, dan antara lafazh tersusun yang terdiri dari surat dan ayat, baik kita mengatakan lafazh tersusun itu adalah lafazh Jibril atau sabda Nabi Muhammad Saw., sebagaimana tercantum dalam Syarh al-Maqashid. Yang dimaksud dengan penambahan kalam kepada Allah adalah bahwa itu adalah makhluk bagi-Nya tetapi bukan karangan para makhluk-Nya. Kaum Sunni dan sebagian lainnya sepakat bahwa tidak boleh mengingkari firman Allah Swt. dari lafazh yang tersusun itu. Mukjizat dan tantangan yang terkandung di dalamnya hanya ada pada kalam Allah dan bukan pada perkataan yang lain. Maka, mengingkari kalam Allah adalah sebuah kebodohan memalukan dan kesalahan nyata. Orang seperti itu perlu diingatkan dan didisiplinkan jika dia tidak menariknya kembali.


Kedua, pembedaan antara lafazh-lafazh al-Qur`an dan lafazh-lafazh hadits Qudsi, merupakan penilaian murni yang menunjukkan kurangnya pemahaman dan penyimpangan konsepsinya, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya, sebagaimana dijelaskan di dalam pandangan para ulama tentang hal itu—sampai ia berkata—dan sangat jelas pengumatamaannya berdasarkan dalil bahwa yang turun kepada Rasulullah Saw. adalah lafazh dan makna, dan bahwa lafazh itu bukan buatan Jibril tetapi ia mendapatkannya mengambilnya dengan cara ruhani atau dari Lauhul Mahfuzh. Dan yang sependapat dengan ini adalah Imam al-Baihaqi—sampai ia berkata—dan aku telah melihat dari al-Zuhri yang menguatkan pendapat al-Juwaini. Dan dalam hal ini, bagi mereka yang merenungkannya, tanggapan yang paling fasih terhadap perkataan tersebut di atas adalah apa yang ada dalam pertanyaan bahwa al-Qur`an adalah kalam Nabi Muhammad Saw., yang berbeda dengan hadits-hadits Qudsi. Renungkankanlah ini—sampai ia berkata—dan semua itu tampak atau jelas dari apa yang telah disebutkan, bahwa lafazh-lafazh itu bukan karangan Jibril dan bukan karangan Nabi Muhammad Saw.. Dan untuk alasan inilah, yang lebih benar dari perbedaan pendapat mengenai bagaimana al-Qur`an itu diturunkan dari Lauhul Mahfuzh adalah bahwa al-Qur`an itu turun darinya sekaligus ke langit dunia di bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar, kemudian setelah itu turun dengan terpisah-pisah selama 20, atau 23, atau 25 tahun, berdasarkan perbedaan pendapat mengenai lamanya Rasulullah Saw. tinggal di Makkah setelah bi’tsah (diangkat menjadi Nabi dan Rasul). Al-Qurtubi menyebutkan kesepakatan atas pernyataan ini.”


Artikel diatas telah disahkan oleh Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi dan Tim Perumus KH Asnawi Ridwan, KH Taufik Damas, KH Mulawarman Hannase, dan KH Ahmad Mahrus Iskandar, pada 17 September 2023.


Fiqih Terbaru