Jakarta Raya

Wakil Ketua PWNU Jakarta: Merawat Budaya Bukan Fanatisme Tapi Penguatan Identitas Bangsa

Ahad, 3 Agustus 2025 | 20:30 WIB

Wakil Ketua PWNU Jakarta: Merawat Budaya Bukan Fanatisme Tapi Penguatan Identitas Bangsa

Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Lutfi Hakim. (Foto: dokumen NU Online Jakarta)

Jakarta, NU Online Jakarta

Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Lutfi Hakim menegaskan bahwa merawat budaya bukan bentuk fanatisme, melainkan upaya penguatan identitas bangsa. Ia menjelaskan bahwa pelestarian budaya merupakan bagian dari memperkuat jati diri bangsa dalam kehidupan yang plural.

 

Kiai Lutfi menekankan pentingnya membedakan antara merawat budaya dengan fanatisme sempit. Ia menilai bahwa merawat budaya justru menjadi penguatan identitas bangsa yang sesungguhnya.

 

"Merawat budaya bukan fanatisme, tetapi penguatan identitas bangsa. Budaya adalah identitas kolektif yang membentuk jati diri kita sebagai bangsa Indonesia," ungkapnya kepada NU Online Jakarta, Ahad (3/8/2025).

 

Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta tersebut menyoroti fenomena tuduhan fanatisme terhadap para pelestari budaya. Ia mengamati bahwa semangat pelestarian budaya kini kerap dituding sebagai gejala fanatisme di tengah masyarakat.

 

Dia menjelaskan bahwa sikap mencintai budaya sendiri tidak boleh dipelintir sebagai bentuk fanatisme. Ia menegaskan bahwa pelestarian budaya justru memperkuat persatuan bangsa.

 

"Sikap mencintai budaya sendiri, mengenakan pakaian adat, menggunakan bahasa daerah dalam ruang publik, atau menyuarakan nilai-nilai kearifan lokal, tak jarang dipelintir menjadi bentuk pengkotak-kotakan identitas. Padahal ini adalah penguatan identitas bangsa," jelasnya.

 

Dalam konteks ajaran Islam, dia membedakan antara mencintai budaya dengan ashobiyah atau fanatisme sempit. Ia menjelaskan bahwa ashobiyah dalam khazanah Islam berarti fanatisme sempit terhadap kelompok sendiri yang disertai sikap merendahkan atau menolak kelompok lain.

 

"Sikap seperti ini memang berbahaya dan bertentangan dengan prinsip persaudaraan manusia dan kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW menolak ashobiyah karena ia merusak keadilan dan persatuan," jelasnya.

 

Namun demikian, ia menekankan bahwa mencintai budaya sendiri tidak serta merta termasuk dalam kategori ashobiyah. Dia menyatakan bahwa sikap tersebut baru menjadi fanatisme jika digunakan untuk menolak, menyerang, atau mendiskreditkan kelompok lain.

 

"Selama semangat kebudayaan dijalankan dengan keterbukaan, penghormatan, dan kesediaan berdialog, maka pelestarian budaya adalah bagian dari memperkuat fondasi persatuan dan kesatuan Bangsa," tegasnya.

 

Dia menekankan bahwa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebhinekaannya. Ia berpendapat bahwa kebhinekaan memerlukan ruang yang layak bagi budaya-budaya lokal untuk tumbuh, hidup, dan tampil dalam ruang publik.

 

Menurutnya, uniformitas bukanlah ukuran nasionalisme yang tepat. Ia meyakini bahwa keberagaman yang dirawat dengan cinta justru menjadi kekuatan yang membedakan Indonesia dari banyak bangsa lain.

 

"Pancasila, sebagai dasar negara, tidak pernah menuntut rakyatnya melepas identitas budaya. Sila ke-3, Persatuan Indonesia, bukan ajakan untuk menyeragamkan, tetapi untuk merangkul yang berbeda dalam satu kesadaran kebangsaan," paparnya.

 

Ia menganalogikan budaya sebagai jendela, bukan tembok. Dia menjelaskan bahwa budaya memungkinkan masyarakat melihat ke luar tanpa kehilangan jati diri di dalam.

 

"Dalam budaya, terdapat nilai empati, gotong royong, kearifan hidup, dan kesantunan yang menjadi modal sosial bangsa. Merawat budaya adalah upaya memperpanjang napas sejarah agar tidak mati ditelan zaman," uraiannya.

 

Ia mengkritik anggapan yang menuduh pelestari budaya sebagai fanatik hanya karena menggunakan bahasa daerah atau memperjuangkan nilai-nilai lokal. Dia menilai hal tersebut sebagai bentuk miskonsepsi terhadap semangat kebangsaan.

 

Menurutnya, nasionalisme yang sehat bukan tentang keseragaman, tetapi tentang kesediaan yang penuh kesadaran untuk hidup berdampingan dalam perbedaan. Dia mengingatkan bahwa Indonesia tumbuh dari akar-akar yang dalam.

 

"Dalam ruang publik modern yang makin dipenuhi oleh narasi-narasi artifisial, mereka yang menjaga nilai-nilai budaya tradisional justru sedang mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak tumbuh dari ruang kosong," jelasnya.

 

Ia menekankan pentingnya menjaga akar budaya agar tidak lapuk dan tercerabut. Dia mengajak masyarakat untuk menyikapi perbedaan dengan akal sehat, bukan prasangka.

 

"Budaya harus kita rawat sebagai ruang dialog, bukan alat dominasi. Identitas lokal bukan ancaman, melainkan kekuatan. Sejauh dijalankan dengan hati terbuka, adalah bentuk paling murni dari cinta tanah air," pungkasnya.