Khutbah

Khutbah Jumat: Teladan Nabi Muhammad dalam Mengentaskan Kesenjangan Sosial

Rabu, 18 September 2024 | 13:00 WIB

Khutbah Jumat: Teladan Nabi Muhammad dalam Mengentaskan Kesenjangan Sosial

Ilustrasi kesenjangan sosial. Sumber: Canva/NU Online

Memasuki bulan kelahiran baginda Nabi Muhammad saw. sudah sepatutnya kita selaku umat Islam merefleksikan kepribadian beliau melalui buku-buku dan kitab-kitab sejarah yang mengisahkannya. Hal ini bertujuan agar Kanjeng Nabi benar-benar menjadi role model dan contoh dalam keberagamaan kita, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. 


Naskah khutbah ini hendak membahas salah satu kepribadian Nabi, yaitu cara beliau dalam meminimalisasi sekat-sekat sosial akibat perbedaan status sosial. Khutbah ini berjudul: “Teladan Nabi Muhammad dalam Mengentaskan Kesenjangan Sosial.” Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat!


Khutbah I


اَلحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَسِرَاجًا وَمُنِيْرًا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ:


فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَايَحْتَسِبُ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

 

Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah..

 

Marilah kita mensyukuri atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada kita, khususnya nikmat iman dan Islam atas rezeki yang tidak semua orang mendapatkannya, hanya orang-orang pilihan yang bisa mendapatkan rezeki ini. Maka selaku orang terpilih sudah seyogyanya memperbanyak syukur atas kedua nikmat tersebut.


Selanjutnya, mari juga kita istiqomah membaca shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, serta keluarga dan para sahabatnya sebagai ekspresi kecintaan kita kepada mereka semua. Terlebih kepada Nabi Muhammad yang kita harapkan syafa’atnya kelak di hari kiamat, maka sudah sepatutnya kita memperbanyak membaca kalimat ini.


Selain itu, khatib juga tidak lupa mengingatkan agar selalu berusaha meningkatkan ketakwaan kita dalam setiap harinya. Sebab, hanya ketakwaan lah yang dapat menyelamatkan kita di akhirat nanti. Allah berfirman:


فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ


Artinya, “Maka sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah ketakwaan, dan hendaklah bertakwa kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. al-Baqarah: 197)


Hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah..

Nabi Muhammad saw. merupakan tauladan kita selaku umatnya. Ketauladanan Nabi di sini mencakup banyak aspek. Dalam beragama, bersosial, bertransaksi, serta bahkan juga berpolitik. Aspek-aspek ini dapat kita temukan di dalam berbagai buku atau kitab yang membahas tentang sosok Nabi Muhammad.


Misalnya dalam beragama sudah tidak diragukan lagi bagaimana keistiqamahan beliau dalam menjalankan ibadah, termasuk juga riwayat yang cukup populer mengenai kaki beliau yang sampai bengkak akibat lama berdiri ketika solat malam. Begitu juga dalam bersosial baginda Nabi dikenal sebagai sosok yang bertutur santun, tenang ketika berbicara, serta tidak pernah mencela atau menghardik orang lain.


Selain itu, dalam bertransaksi Nabi berprinsip pada kejujuran dan tidak boleh ada pihak yang dirugikan, sehingga tidak sedikit transaksi-transaksi yang menjadi kebiasaan Jahiliyah dihapus oleh Nabi karena bertabrakan dengan kedua prinsip tadi. Kemudian dalam berpolitik Nabi menjadi pemimpin yang merangkul seluruh pihak, baik sesama muslim maupun non-muslim. 


Nabi menyadari ketika diangkat sebagai utusan Allah maka akan memikul beban moral yang sangat berat. Namun karena Nabi sudah terbiasa berkepribadian baik jauh sejak diangkat sebagai Rasul, maka ketika mendapatkan amanah kerasulan tinggal melanjutkan dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut. 


Kesadaran Nabi ini dipertegas oleh al-Quran yang berbunyi:


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا


Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)

 

Jamaah solat Jumat hafizhakumullah..


Kesadaran Nabi sebagai publik figur juga diperkuat dengan posisi beliau sebagai pemimpin Madinah. Lumrahnya publik figur maka akan menjadi sorotan dalam setiap gerak-gerik yang dilakukannya. Pusat perhatian masyarakat akan  mengarah kepada prilaku Nabi, bahkan sekalipun bersifat privat. 


Status tersebut membuat Nabi merasa terpanggil untuk menjadi panutan dalam segala sendi kehidupan, termasuk masalah materi. Beliau memilih jalan dan gaya hidup sederhana di tengah kultur pemimpin umat atau bangsa saat itu yang mempunyai gaya hidup hedonisme dan berfoya-foya. Seandainya Nabi mengkehendaki kultur ini tentu saja sangat memungkinkan dan tidak akan ada yang memprotesnya.


Namun Nabi mengetahui kehidupan dunia hanya sementara, serta faktor yang juga tidak kalah penting karena melihat realita tidak sedikit dari umatnya yang mempunyai finansial pas-pasan untuk sehari-hari -bahkan di bawahnya. Oleh karenanya ada doa beliau yang direkam oleh Imam Ibnu Majah di dalam kitabnya, Sunan Ibnu Majah: 


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَحِبُّوا الْمَسَاكِينَ ،فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ القِيَامَةِ


Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: hendaklah kalian mencintai orang-orang miskin. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah berdoa: Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, serta kumpulkanlah aku pada hari kiamat bersama golongan orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah)


Doa Nabi ini rupanya tidak hanya sekedar doa atau ucapan lisan belaka. Sebagai bentuk komitmen sekaligus konsistensi beliau membuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tempat tidur beliau beralaskan tikar sehingga setiap kali bangun terlihat bekasnya di punggung beliau. Begitu juga dalam banyak kesempatan beliau menanyakan makanan kepada istrinya. Ketika istrinya menjawab: ‘tidak ada’, maka respon beliau: ‘kalau begitu saya berpuasa.’

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..


Menyikapi hadits tadi bukan berarti Nabi mengajak umatnya untuk menjadi orang miskin. Justru doa tersebut sebagai empati dan kasih sayang Nabi terhadap golongan tersebut. Sebab orang miskin seringkali dipandang rendah, hina, bahkan ditindas. Maka dari itu Nabi melalui doa tersebut pada sejatinya hendak mengajak umatnya untuk tidak memandang sebelah mata terhadap kaum miskin.


Imam as-Sindi di dalam kitab Hasyiyah-nya dengan mengutip perkataan Imam Tajuddin as-Subki yang menukil pendapat ayahnya, Imam Taqiyuddin as-Subki mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali fakir dalam urusan harta (materi), sebab Allah langsung yang memberikan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan duniawi beliau dan keluarganya.


Artinya, doa Nabi tadi bukan berarti Nabi menjadi miskin secara hakiki, yang barangkali dalam benak kita Nabi itu serba kekurangan. Lebih dari itu ada maksud yang hendak dituju, yaitu agar umat Islam yang kaya atau minimal dalam istilah sekarang kelas menengah tidak menjaga jarak dengan orang-orang miskin. Sebab Nabi selaku panutan umat Islam menginginkan kehidupan layaknya orang-orang miskin, bahkan ingin berkumpul dengan rombongan orang miskin kelak.


Kecintaan Nabi kepada orang miskin ini selain melalui lisan dan dibuktikan dengan prilaku, juga dipertegas melalui ajaran-ajaran agamanya. Maka kita mengenal ajaran Islam mulai dari yang bersifat anjuran seperti sedekah dan infak, hingga yang bersifat wajib seperti zakat harta dan zakat fitrah. Dengan ini semua Nabi menginginkan agar umatnya tidak terkotak-kotakan hanya disebabkan masalah materi duniawi.


Nabi pun telah memulai dari diri beliau sendiri yang statusnya sebagai Rasul dan pemimpin umat dengan tidak berfoya-foya dan berlebihan mencintai duniawi. Maka Nabi mengharapkan umatnya agar dapat bersikap seperti itu juga, sehingga kesenjangan sosial akibat perbedaan finansial tidak begitu kentara. 

 

Para hadirin yang dimuliakan Allah..


Kesenjangan sosial selain faktor ekonomi juga bisa dilatari faktor lain seperti kelas sosial. Pada masa Nabi pada umumnya kelas sosial terbelah menjadi dua: merdeka dan budak. Nabi mengajarkan kepada umatnya agar memanggil budak tidak dengan istilah ‘budak’. Di dalam Shahihul Bukhari disebutkan:


لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي وَغُلَامِي


Artinya, “Salah seorang kalian jangan memanggil (dengan sebutan) ‘budak laki-lakiku, budak perempuanku’, dan panggillah (dengan sebutan) ‘pemudaku, pemudiku, dan pelayanku.’ (HR. Imam Al-Bukhari)


Pernyataan Nabi ini juga sinkron dengan perbuatan beliau ketika memanggil Bilal bin Rabah, misalnya. Tidak pernah ditemukan di dalam riwayat hadits bahwa Nabi pernah memanggil atau menyapa Bilal dengan sebutan budak. Bahkan Nabi menyebut nama aslinya langsung dengan tanpa embel-embel yang memperjelas perbedaan kelas sosialnya.


Itulah cara Nabi dalam menghilangkan atau meminimalisir sekat-sekat sosial akibat perbedaan ekonomi dan kelas. Nabi tidak hanya menyuruh atau menjanjikan ganjaran, bahkan beliau mencontohkannya terlebih dahulu sebagai bentuk keseriusan untuk mengentaskan kesenjangan sosial, sehingga umat Islam menjadi solid dan guyub satu sama lain.

 

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ


Khutbah II


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا إِلهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰

اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ... اِتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ

 إِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيْمًا:  ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ، ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮْﺍ ﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮْﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤًﺎ ...ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰسَيِّدِنَا ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁلهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْن

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ أَصْلِحْنَا وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَأَصْلِحْ مَنْ فِي صَلَاحِهِمْ صَلَاحُنَا وَصَلَاحُ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأْهْلِكْ مَنْ فِي هَلَاكِهِمْ صَلاحُنَا وَصَلَاحُ الْمُسْلِمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَارْزُقْنَا وَإِيَّاهُمْ زِيَادَةَ التَّقْوَى وَالْإِيْمَانِ، اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللّٰهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ 

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 


Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah Ciputat