• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 26 April 2024

Nasional

Budaya Betawi di Festival Kesenian Jakarta

Budaya Betawi  di Festival Kesenian Jakarta

Jakarta, NU.Online
Awal bulan Juni biasanya warga Jakarta sudah mulai mempersiapkan berbagai macam acara untuk menyambut ulang tahun ke 476 kota yang dulunya bernama ‘Jayakarta’ ini. Begitu juga dengan Taman Ismail Marzukih (TIM) sebagai pusat berkumpulnya seniman serta budayawan, untuk pertama kalinya mengadakan acara Jakarta Anniversary Festival.

Selain pagelaran-pagelaran yang semuanya bertujuan untuk menghidupkan kembali kesenian dan kebudayaan Jakarta seperti musik gambus dan tari lenong yang nyaris ‘punah’, dalam cara tersebut juga digelar pameran foto ‘Wajah Jakarta’ yang dibuka setiap hari selama festival tersebut berlangsung pada jam kerja, dari tanggal 21-26 Juli 2003

<>

Edi, salah satu panitia yang ditemui NU Online mengatakan bahwa festival ini adalah untuk mengapresiasikan berbagai kesenian yang ada di Jakarta sehingga lebih dikenal masyarakat dan juga untuk menghidupkan sektor pariwisata. Acara tersebut untuk menampung berbagai karya budaya dari Jakarta dan juga daerah lainnya. Ditampilkan dalam acara tersebut berbagai jenis kesenian mulai dari yang tradisional sampai dengan yang modern.

Sebagai daerah Betawi, kesenian Betawi banyak dimunculkan mulai dari ondel-ondel, lenong yang merupakan kesenian khas Betawi, dikemas dalam paket tema, Pagelaran Teater Tradisi Betawi  “Tanah, Televisi Dan Juleha”.  Wayang Betawi yang saat ini masih eksis ditengah berbagai jenis serbuan musik modern juga ikut ditampilkan.

Bagi masyarakat pinggiran Betawi, kesenian wayang kulit-sebagai salah satu representasi budaya betawi-- memang dianggap tak begitu sakral, namun fungsi ritualnya termasuk paling tinggi dibanding dengan kesenian rakyat Betawi yang lain. Kesenian semacarn Topeng Betawi, Tanjidor dan Rebana Biang, secara maksimal hanya dapat memenuhi kebutuhan ritual berupa "kaulan". Wayang kulit Betawi satu-satunya kesenian Betawi, yang tidak hanya untuk upacara semacam "kaulan", tapi juga untuk keperluan "ruwatan".

Kini, wayang kulit Betawi sudah kurang diminati, bahkan oleh etnis pendukungnya sendiri. Untuk daerah daerah pedalaman Bogor dan Bekasi, wayang ini memang masih mendapat perhatian agak lebih baik. Tetapi di ibukota, Wayang Kulit Betawi sudah menjadi tontonan langka. Menurut LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) Jumlah dalangnya, di Jakarta saat ini hanya tinggal 16 orang saja. Memang masih bisa didengar pagelaran lewat siaran beberapa radio swasta, tetapi pertunjukkan hidupnya di kampung kampung atau di tempat-tempat tertentu, sudah sangat jarang.

Barangkah, sebentar lagi jenis kesenian ini akan punah, atau mungkin juga tidak, semua tergantung cara kita mengapresiasinya. Dalam upaya pelestarian kesenian tradisional, pertama kali kita harus sanggup memahami eksistensi kesenian itu secara lebih baik. Artinya, bukan sekedar melihat seni tradisi itu berikut konvensi yang menyertainya, tapi lebih melihatnya sebagai produk masa lampau, kemudian berusaha mendudukkan eksistensi seni tradisi itu dalarn situasi sekarang. Sasaran bagi setiap pelestarian budaya tentunya adalah generasi muda. Mereka inilah yang sebenarnya diharapkan menjadi pewaris tradisi.

Momentum festival ini adalah merupakan salah satu upaya utuk melestarikan kebudayaan Betawi dalam khasanah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Dalam rangka pelestarian tersebut kurang-lebih 16 tahun yang lalu, atas prakarsa Bang Ali Sadikin (Gubernur saat itu) dibentuk "Lembaga Kebudayaan Betawi". Adapun anggota yang ada didalamnya diutamakan adalah orang asli Betawi, entah ayah atau ibunya atau salah satunya yang penduduk asli Betawi, dan orang-orang yang mengaku putra daerah Betawi.

Selain dari Jakarta, tampak juga perwakilan dari berbagai daerah seperti Sulawesi yang menampilkan berbagai produk daerah termasuk pakaian pengantin daerah asal mereka serta pernak pernik budaya mereka juga ikut ditampilkan. dalam acara tersebut  tidak semata-mata menampilkan potret budaya visual tapi digelar juga acara diskusi sastra yang bersifat akademis. (Cih/mkf)


Editor:

Nasional Terbaru