• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Sabtu, 20 April 2024

Nasional

LBH Ansor Desak Polisi Tak Ragu Naikkan Status Hukum Pelaku Penganiayaan David

LBH Ansor Desak Polisi Tak Ragu Naikkan Status Hukum Pelaku Penganiayaan David
Momen Ketum PP GP Ansor H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) saat menjenguk David Ozora Latumahina (Foto: Istimewa)
Momen Ketum PP GP Ansor H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) saat menjenguk David Ozora Latumahina (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor sebagai kuasa hukum David Ozora Latumahina (17), korban tindak pidana penganiayaan mendesak kepolisian untuk mengkaji penerapan pasal alternatif dan tidak perlu ragu lagi untuk menaikkan status hukum terhadap para pelaku. 


Ketua LBH PP GP Ansor Habib Abdul Qodir mengatakan pihaknya memahami bahwa proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, harus ditempuh sesuai dengan prosedur atau hukum acara tersendiri. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 


"LBH Ansor masih menaruh harapan kepada kepolisian dalam hal ini Polres Metro Jakarta Selatan untuk menangani perkara ini secara presisi," tegas Habib Qodir lewat siaran persnya yang diterima NU Online Jakarta, Selasa (28/2/2023). 


Habib Qodir mendorong agar Kapolres Jakarta Selatan menginstruksikan jajaran penyidiknya untuk kembali mendalami secara utuh jalinan fakta-fakta dengan dukungan barang bukti dan keterangan saksi-saksi, serta mengkaji ulang penentuan status hukum pihak-pihak yang terlibat dan penerapan pasal-pasal yang disangkakan. 


"Dalam hal ini, penyidik patut mengkaji penerapan pasal-pasal yang mengandung unsur-unsur perencanaan kekerasan dan unsur percobaan menghilangkan nyawa orang lain," terangnya. 


Selain itu, Habib Qodir menyatakan meskipun mendapatkan jaminan perlindungan khusus berdasarkan hukum dan perundang-undangan, pihaknya berpandangan bahwa hal demikian tidak serta merta menjadikan anak kebal hukum. 


"Pengabaian atau pembiaran terhadap pelanggaran hukum, utamanya perbuatan pidana, justru berpotensi membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menjadikan anak sebagai alat' atau sarana kejahatan," jelasnya. 


Habib Qodir menilai kebijakan hukum pidana di Indonesia memungkinkan adanya koreksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, atau anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 


"Oleh karena itu, dengan dukungan bukti yang semestinya sudah lebih dari cukup, penyidik tidak perlu ragu lagi untuk meningkatkan status hukum dari anak saksi menjadi anak yang berkonflik dengan hukum," pungkasnya.


Editor: Khoirul Rizqy At-Tamami


Nasional Terbaru