Jakarta, NU Online Jakarta
Perceraian atau talak selama ini dipahami secara umum sebagai akhir dari sebuah ikatan rumah tangga. Namun, dalam perspektif tasawuf, talak justru memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Hal ini diungkapkan oleh Mahasiswa Pascasarjana Universitas Az-Zaitunah, Tunisia, Ahmad Hashif Ulwan, dalam refleksi keislamannya mengenai fenomena perceraian dalam kehidupan Muslim.
Dalam kajian fikih, katanya, talak merupakan hukum yang dibolehkan tetapi tidak disukai. Sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menegaskan bahwa perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.
Namun, menurut Hashif, pandangan para sufi jauh melampaui aspek hukum lahiriah tersebut. “Para sufi tidak melihat talak hanya sebagai peristiwa sosial atau hukum, tetapi juga sebagai peristiwa spiritual. Talak dipandang sebagai ujian jiwa yang membawa pelajaran mendalam bagi yang mengalaminya,” katanya.
Hashif menjelaskan, dalam tradisi tasawuf, setiap peristiwa hidup diyakini sebagai bagian dari ketetapan Allah yang mengandung hikmah. Termasuk talak, yang meski menyakitkan, bisa menjadi jalan untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti amarah, dendam, dan egoisme.
“Talak bukan hanya perpisahan fisik antara dua insan, tetapi juga panggilan untuk muhasabah, agar seseorang menyadari kelemahan dirinya dan kembali menyucikan jiwa,” jelasnya.
Ia mengutip pandangan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, yang menyatakan bahwa ujian duniawi serupa dengan obat: terasa pahit di awal, namun menyembuhkan pada akhirnya.
“Setiap musibah dalam urusan dunia seperti halnya obat: terasa menyakitkan pada awalnya, tetapi membawa manfaat dan kebaikan pada akhirnya,” tulis Imam Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, Jilid IV, hlm. 140).
Lebih jauh, Hashif memaparkan bahwa salah satu pilar utama dalam ajaran tasawuf adalah rida terhadap takdir. Perceraian, dalam hal ini, tidak boleh dipandang sebagai akhir segalanya, melainkan sebagai bagian dari ketentuan ilahi yang harus diterima dengan lapang dada.
Ia mengutip hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Muslim, di mana Nabi bersabda:
“Aku kagum pada ketetapan Allah bagi seorang mukmin. Jika Allah memberinya kebahagiaan, ia rida, dan itu menjadi kebaikan baginya. Jika Allah memberinya kesusahan, ia pun rida, dan itu pun menjadi kebaikan baginya.”
Menurut Hashif, hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin yang sejati tidak hanya bersyukur dalam kondisi senang, tetapi juga mampu bersabar dan menerima ketika ditimpa musibah, termasuk talak. “Sikap seperti inilah yang mengantar jiwa kepada kedekatan yang hakiki dengan Allah,” ujarnya.
Lebih dari itu, Hashif menyebut bahwa dalam pengalaman spiritual sufi, perpisahan bukan hanya luka, melainkan sarana untuk lebih mengenal Allah. “Sering kali, penderitaan justru membuka ruang bagi perenungan, dan dari sanalah seseorang bisa merasakan kehadiran Allah lebih dekat,” tuturnya.
Hashif mengingatkan bahwa dalam tasawuf, keterikatan terhadap dunia termasuk kepada pasangan, harus selalu diseimbangkan dengan cinta kepada Sang Pencipta. Maka, kehilangan dalam bentuk apapun, termasuk perceraian, akan menjadi pelajaran tentang keikhlasan dan pelepasan dari ketergantungan duniawi.
Selengkapnya: 3 Hikmah Talak dalam Perspektif Tasawuf
Terpopuler
1
PWNU Jakarta: Budaya Betawi Harus Jadi Akar Jakarta Menuju Kota Masa Depan
2
HUT Ke-498 Jakarta, Ribuan Perusahaan Ramaikan Jakarta Fair Kemayoran 2025
3
MUI Jakarta Gelar Mukerda Bahas Pelestarian Islam Lokal di Tengah Modernisasi Kota
4
MUI Jakarta Rekomendasikan Standar Air Suci untuk Warga Muslim
5
Ketua PWNU Jakarta: Masa Depan NU Ada di Tangan Generasi Muda
6
Khutbah Jumat: Palestina, Simbol Keteguhan Iman dan Persatuan Umat Islam
Terkini
Lihat Semua