Nasional FAJAR ABDUL BASHIR

Tragedi SMPN 4 Jakarta

Senin, 4 November 2013 | 14:41 WIB

Dunia pendidikan kembali digegerkan dengan beredarnya video tidak senonoh yang diperankan oleh sejumlah siswa-siswi SMPN 4 Jakarta. Video yang beredar tersebut kabarnya menampilkan beberapa adegan-adegan yang sama sekali tidak pantas dilakukan, apa lagi seusia SMP. <>

Yang lebih ironis lagi, kejadian tersebut dilakukan di dalam kelas, di mana seharusnya masih dalam pengawasan pihak sekolah. Lantas, cukupkah ironisme sampai di situ? Ternyata, ada lagi yang lebih ironis!

Beberapa media televisi seakan berebut memberitakan perihal tersebut dan menayangkan video tersebut secara terbuka hingga bisa dilihat oleh seluruh rakyat Indonesia. Meskipun gambar dari video tersebut sudah diburamkan atau di-blur, namun tetap saja tayangan tersebut tidak sepatutnya diputar di layar televisi.

Kembali pada anak-anak yang terlibat dalam video mesum tadi. Terlepas dari apa yang menjadi motif mereka—baik dipaksa maupun dengan suka rela—peristiwa ini jelas sekali menyayat hati kita semua, wa bilkhusus para orang tua. Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi gagalnya pendidikan di negeri kita tercinta.

Mengapa penulis menyebut hal ini sebagai kegagalan pendidikan kita? Karena pendidikan di Indonesia hanya tertuju pada prestasi kognitif anak didik semata. Memang ada gembar-gembor yang bising agar para pendidik juga memperhatikan sisi afektif siswa-siswa mereka. Namun, pada kenyataannya, pandangan pemerintah yang kemudian diikuti oleh masyarakat awam, hingga kemudian menjadi image buruk bagi dunia pendidikan kita, yang lebih memperhatikan sekolah-sekolah yang menghasilkan orang-orang cerdas dari sisi kognitif ketimbang lembaga pendidikan yang menonjolkan sisi afektif siswa-siswanya.

Ujian Nasional (UN), yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi, adalah kegiatan penilaian siswa murni dari segi kognitifnya saja. Pengabaian terhadap sisi emotional quotient siswa pada akhirnya melahirkan peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak didik kita. Selain maraknya pengguna narkoba, anak-anak remaja kita juga cenderung mencoba-coba pergaulan bebas dan sex bebas. Mengapa ini terjadi? Karena mereka tidak diajari bagaimana menghargai diri sendiri dan orang lain, bagaimana menjaga harga diri dan kehormatan, dan bagaimana sikap terpuji yang seharusnya dapat mereka aplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Namun demikian, bukan hanya pendidikan kita yang menjadi kambing hitam dalam kasus ini. Dunia penyiaran pun penulis nilai telah gagal dalam perannya mencerdaskan anak bangsa. Sebagaimana yang kita ketahui, berbagai kasus negatif dalam kehidupan kita semua diekspos dalam pemberitaan media secara massive. Mereka seakan membenarkan prinsip kapitalisme bahwa bad news is a good news. Pemberitaan negatif tersebut pun dibuat sedemikian rupa dengan menampilkan berbagai adegan, cara, motif, dan gaya tindak kejahatan. Sehingga, berita-berita tersebut bukan lagi menjadi informasi bernilai pengetahuan, namun justru menjadi “ilmu” pendorong bagi orang lain untuk ikut melakukan pelanggaran.

Tak jarang berita-berita negatif yang massif ini kemudian mengendap dalam alam bawah sadar kita, dan kemudian menempatkan kita dalam posisi paranoid yang penuh curiga terhadap hidup. Berita-berita korupsi, pencurian, perampokan, pemerkosaan, perbuatan asusila dan beragam berita lainnya, dikupas tuntas dalam acara televisi. Eksploitasi berita negatif seperti inilah yang menurut hemat penulis tidak mendidik masyarakat Indonesia. Coba bandingkan dengan berita-berita positif yang menunjukkan prestasi anak bangsa di kancah internasional.

Padahal, idealnya, acara dan berita televisi bisa diatur sedemikian rupa dengan menyesuaikan kondisi mental, adab, dan budaya masyarakat Indonesia. Ibarat orang tua, media penyiaran kita harusnya mampu menutup pembicaraan, sikap, atau tingkah laku yang tidak baik di hadapan anak-anak. Namun kenyataan berbanding terbalik di mana semua segmen berita, yang sebagian besarnya masuk dalam kategori negatif, dapat diakses secara fulgar dan bebas.

Ada sebagian pihak yang beralasan bahwa orang tua harus ikut mengawasi anak-anak mereka saat menonton televisi dengan dalih bahwa itu adalah wilayah parental mereka. Ini jelas alasan yang tidak fair. Sebab tugas mendidik anak-anak atau generasi muda bukanlah semata tanggung jawab orang tua, namun menjadi tanggung jawab kita bersama.

Kembali kepada masalah pendidikan. Dalam pendidikan Islam (tarbiyah islamiyyah), pendidikan memuat pemahaman tarbiyyah khalqiyyah, yaitu pendidikan yang mencakup pada pendidikan jiwa, akal, mental, dan prestasi anak-anak. Sedangkan yang kedua mencakup tarbiyah diniyyah li tazkiyyah an-nafsiyyah, yaitu upaya mendidik mental dan hati agar bersih dari hawa nafsu, sehingga dapat selalu berfikir positif (positive thinking).

Jika lembaga pendidikan telah melaksanakan tarbiyah khalqiyyah dan diniyyah, maka itulah pendidikan yang sebenarnya. Namun pendidikan dengan pengertian seperti ini sangat sulit ditemukan di ranah pendidikan umum kita. Hanya pesantrenlah yang masih konsisten mempertahankan model pendidikan sedemikian. Di pesantren tidak hanya akal dan jiwa yang diolah, namun juga kebersihan jiwa dan hati juga selalu diupayakan oleh sang kyai dengan berbagai kegiatan “tirakat”, seperti puasa, wiridan, takziran atas pelanggaran (punishment), termasuk berbagai larangan, seperti  pacaran, keluar malam, dan lain sebagainya.

Untuk itulah, penulis berharap semua pihak, lebih-lebih pemerintah dan orang tua, agar bersama-sama membenahi system dan metode pendidikan di negeri kita tercinta ini. Lembaga-lembaga pendidikan kita upayakan agar bisa menerapkan pengertian tarbiyah yang sebenar-benarnya yang mencakup kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lembaga pesantren yang sederhana dan menyasar, patut kita jadikan acuan perumusan pendidikan di Indonesia, karena pesantrenlah lembaga pendidikan yang paling berpengalaman yang sesuai dengan budaya Indonesia. Pemerintah dan para pakar pendidikan jangan malu mengadopsi dan mengakui keberhasilan pendidikan pesantren dalam bidang kognitif dan afektif. Apabila ada kekurangan di pesantren, itu sangat wajar mengingat pesantren fasilitasnya masih ala kadarnya dan kurang sistematis. Namun, sisi positif pendidikan ala pesantren—utamanya terkait dengan long-life education—tidak bisa dipandang sebelah mata.

Semoga Allah SWT melindungi anak-anak kita dan lembaga pendidikan di Indonesia. Amin.

 

Fajar Abdul Bashir, S.H.I

Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri dan kini menjadi Pengurus LBM PWNU DIY, staf pengajar dan Ka. Tata Usaha di MA Unggulan Al-Imdad Bantul Yogyakarta.