Fenomena Lipstick Effect: Ketika Masyarakat Tetap Konsumtif di Tengah Ekonomi Sulit
Kamis, 31 Oktober 2024 | 18:05 WIB
Jakarta, NU Online Jakarta
Fenomena "Lipstick Effect" kembali menjadi sorotan di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Fenomena ini menggambarkan kecenderungan masyarakat untuk tetap membeli barang mewah dengan harga terjangkau, meskipun dalam situasi keuangan yang terbatas.
Fenomena ini muncul dari sebuah tren masyarakat di media sosial. Mereka rela menghabiskan penghasilannya untuk hal-hal yang bukan menjadi kebutuhan primernya. Anehnya, seperti pertunjukan konser dari artis top internasional, penjualan handphone sampai barang-barang dengan brand terkenal bisa habis terjual di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu ini.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ketika kondisi ekonomi sulit dan keuangan terbatas, masyarakat justru cenderung membeli barang mewah yang relatif murah, bukan barang mewah yang mahal. Misalnya, ketika tidak mampu membeli mobil mewah, mereka beralih membeli handphone terbaik atau sepatu mahal. Hal ini didorong oleh keinginan untuk tetap merasakan kepuasan mengonsumsi barang mewah yang diyakini dapat membawa kebahagiaan.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Asiroch Yulia Agustina mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena ini, terutama di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"Saat ini banyak anak muda yang rela berhutang untuk menunjang gaya hidup. Hal ini disebabkan kurangnya literasi keuangan di kalangan mereka," ujarnya.
Lebih lanjut, Asiroch menjelaskan bahwa generasi muda belum mampu memahami dan melakukan perencanaan keuangan (financial planning) dengan benar.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
"Mereka terjebak dengan gaya hidup Fear Of Missing Out (FOMO) dan You Only Live Once (YOLO), yang menyebabkan seseorang merasa tertinggal apabila tidak mengikuti tren," ujarnya.
"Akibatnya, mereka tidak lagi mempertimbangkan antara keinginan dan kebutuhan," tambahnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Fenomena Lipstick Effect ini juga diperparah dengan perilaku konsumtif yang didorong oleh kebutuhan validasi di media sosial.
"Banyak orang membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan hanya untuk konten media sosial dan mencari validasi," tambah Asiroch.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan, menurut Asiroch, adalah dampaknya terhadap korban PHK.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"Orang yang baru di-PHK tentunya dalam kondisi tertekan, sehingga mereka mencari kepuasan secara instan dengan membeli produk-produk yang terjangkau. Keputusan pembelian lebih didasarkan pada emosi dan persepsi, bukan pertimbangan rasional," tutupnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND