Jakarta Pusat, NU Online Jakarta
Ancaman tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus scammer digital merupakan tantangan baru yang membutuhkan pendekatan kebijakan yang holistik, berbasis teknologi, dan responsif terhadap dinamika sosial media.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
"Generasi Z sebagai tulang punggung masa depan bangsa harus diproteksi dari bentuk eksploitasi modern ini," kata Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Bidang Ketenagakerjaan Razik Ilham dalam keterangan diterima NU Online Jakarta, Selasa (1/7/2025).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Menurutnya, melalui kombinasi antara revisi regulasi, penguatan edukasi kritis, pembangunan sistem deteksi dini, diplomasi aktif, dan pelibatan komunitas muda, Indonesia dapat mewujudkan perlindungan yang lebih kuat bagi generasi mudanya sekaligus berkontribusi dalam pemberantasan perdagangan orang di era digital.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
"TPPO berbasis digital bukan hanya persoalan kriminalitas, tetapi juga merupakan cermin kegagalan sistemik dalam menjamin migrasi yang aman, informasi yang adil, dan keadilan sosial bagi generasi muda," ujarnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Razik menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap Generasi Z dari ancaman perdagangan orang tidak dapat dilakukan secara sektoral, melainkan harus menjadi bagian dari transformasi kebijakan nasional yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada martabat manusia.
Diperlukan langkah-langkah strategis dan lintas sektoral untuk mengatasi hal tersebut. Pertama, regulasi yang ada harus direformasi secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"UU TPPO perlu direvisi agar mampu menjangkau bentuk-bentuk kejahatan digital dan jaringan korporasi yang terlibat dalam TPPO," kata Razik.
Selain itu, imbuh Razik, KUHP baru harus diimplementasikan dengan pendekatan yang lebih tajam dan berbasis keadilan. Kapasitas aparat penegak hukum juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang spesifik mengenai TPPO digital dan kasus lintas negara.
"Kedua, literasi digital harus dijadikan prioritas nasional," kata dia.
Menurutnya, modul edukasi tentang migrasi aman dan bahaya TPPO perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, vokasi, dan pelatihan kerja.
"Kampanye digital yang menyasar Generasi Z harus dilakukan secara masif dengan melibatkan tokoh muda, alumni korban, influencer, dan komunitas kampus," usulnya.
Tujuannya, kata Razik, untuk membentuk kesadaran kritis terhadap potensi penipuan digital yang berujung pada perdagangan orang.
Ketiga, perlindungan korban harus diperkuat melalui pengembangan SOP nasional terpadu. Pendekatan 4P; Prevention, Protection, Prosecution, dan Partnership, yang telah dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri dan IOM, harus menjadi fondasi bagi seluruh kebijakan pencegahan dan penanganan TPPO.
"Layanan shelter, rehabilitasi psikologis, bantuan hukum, serta mekanisme repatriasi korban harus dijalankan secara terkoordinasi dan terstruktur," ucapnya.
Keempat, kolaborasi lintas sektor perlu didorong secara intensif. Razik menyebut pembentukan Gugus Tugas Nasional TPPO Digital yang melibatkan kementerian/lembaga, LSM, komunitas akademik, dan pelaku migrasi legal seperti APJATI sangat penting untuk menciptakan tata kelola migrasi yang aman dan adil.
Di level internasional, diplomasi bilateral dan multilateral harus diperkuat guna mendorong tanggung jawab bersama dalam menindak sindikat perdagangan orang.
Diakui Razik, upaya pemerintah selama ini memang telah dilakukan, seperti edukasi literasi digital dan kampanye pencegahan TPPO oleh KemenPPPA, serta kerja sama diplomatik oleh Kementerian Luar Negeri dalam memulangkan korban namun hal itu belum cukup.
"Langkah-langkah tersebut masih bersifat reaktif, sporadis, dan belum menyasar secara strategis kelompok paling rentan, yaitu Generasi Z," ucapnya.
Sementara itu, para pelaku TPPO semakin adaptif, menggunakan platform yang digemari anak muda dan mengganti skema mereka secara cepat agar tidak terdeteksi oleh sistem pelacakan.
"Indonesia perlu segera melakukan langkah konkret dan terukur untuk menanggulangi ancaman ini," jelasnya.
Razik menyebutkan langkah pertama yang penting dilakukan adalah merevisi regulasi yang ada, terutama UU TPPO agar dapat mencakup eksploitasi berbasis digital dan rekrutmen kerja fiktif.
"Revisi ini penting agar aparat penegak hukum memiliki dasar hukum yang kuat dalam menindak pelaku dan melindungi korban yang direkrut secara online untuk dijadikan scammer," kata dia.
Kedua, perlu dilakukan penguatan sistem edukasi digital kritis, yang tidak hanya fokus pada penggunaan teknologi, tetapi juga pada kecakapan berpikir kritis, mengenali penipuan online, dan membedakan antara tawaran kerja legal dan ilegal.
"Pendekatan ini harus menggunakan media dan bahasa yang akrab dengan Generasi Z, misalnya melalui YouTube, podcast, TikTok, dan game interaktif, serta menggandeng influencer untuk menyampaikan pesan edukatif secara efektif," ujarnya.
Di samping itu, pemerintah perlu membangun sistem deteksi dan pelaporan dini berbasis teknologi. Pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi pola perekrutan mencurigakan di internet dapat menjadi alat penting dalam pencegahan.
"Saluran pengaduan seperti hotline, aplikasi mobile, dan layanan chat harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik pengguna muda agar mudah diakses dan digunakan secara anonim," jelasnya.
Kerja sama internasional juga menjadi hal yang sangat mendesak. Pemerintah Indonesia perlu memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral, khususnya dengan negara-negara ASEAN dan Tiongkok, untuk memberantas kamp scammer digital yang selama ini menjadi tempat eksploitasi tenaga kerja Indonesia secara ilegal.
"Diplomasi perlindungan WNI harus menjadi prioritas, tidak hanya dalam memulangkan korban, tetapi juga dalam membongkar jaringan sindikat dan menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat," kata dia.
Di tingkat pendidikan, imbuh Razik, integrasi isu TPPO dalam kurikulum sekolah dan universitas juga penting dilakukan. Edukasi tentang migrasi aman, bahaya penipuan digital, dan mekanisme perlindungan hukum harus menjadi bagian dari pendidikan karakter dan bimbingan karier.
"Selain itu, pelibatan komunitas mahasiswa, pelajar, dan organisasi kepemudaan dalam gerakan digital anti TPPO dapat memperluas jangkauan pencegahan dan menciptakan kesadaran kolektif di kalangan Generasi Z," tandasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND