Perang Iran–Israel Memanas, Pakar: Negara Barat Terlalu Fokus Militer Abaikan Riset Perdamaian
Rabu, 25 Juni 2025 | 07:00 WIB

Tim penyelamat dan personel keamanan bekerja di lokasi yang terkena dampak setelah serangan rudal dari Iran, di tengah konflik Iran-Israel di Tel Aviv, Israel 22 Juni 2025.(Foto: REUTERS/Tomer Appelbaum).
Jakarta Timur, NU Online Jakarta
Iran dan Israel kembali memuncak setelah Iran menembakkan ratusan rudal dan pesawat nirawak ke wilayah Israel.
Serangan ini dilakukan sebagai balasan atas serangan mendadak Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran pada minggu sebelumnya.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Pakar Timur Tengah Yon Machmudi mengatakan kecenderungan negara-negara besar seperti Amerika terus mengalokasikan investasi besar pada militer ketimbang riset perdamaian.
“Rudal diarahkan ke tetangga, tapi investasi ke arah riset dan kerjasama antarnegara sangat minim. Harusnya energi dipakai untuk menyelesaikan akar masalah, bukan memelihara konflik,” tegasnya dalam webinar bertajuk Israel, Iran, dan Eskalasi Perang di Timur Tengah yang diselenggarakan oleh InMind Talk pada Selasa (24/6/2025).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Diketahui sebelumnya bahwa pada Senin siang, 23 Juni 2024, sehari setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran, situasi semakin memanas.
Yon menegaskan bahwa konflik kali ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan politik Israel terhadap Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ia menyoroti keputusan Presiden AS Donald Trump yang menyerang Iran atas permintaan langsung dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Keduanya menyatakan bahwa Iran tidak boleh mengembangkan senjata nuklir, padahal AS dan Iran sudah lima kali duduk bersama dalam perundingan soal tata kelola pengayaan nuklir.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"Ini menunjukkan bahwa diplomasi belum selesai, tapi serangan sudah lebih diluncurkan,” tegas Direktur Eksekutif Inmind Talk.
Menurutnya, arah geopolitik saat ini sedang mengalami pergeseran. Ia menyebut bahwa hegemoni Amerika mulai bergerak ke Asia, sementara Israel belum sepenuhnya siap menghadapi situasi tanpa dukungan penuh oleh sekutunya.
“Pangeran MBS dari Arab Saudi pun kini mengecam serangan Israel ke Iran. Ini menandakan kesadaran kawasan mulai tumbuh” tambahnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Bagaimana Indonesia merespon ini? Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Farhan Abdul Majid menilai pemerintahh Indonesia seharusnya menunjukkan sikap yang lebih tegas dalam mendukung keadilan, namun Presiden Prabowo Subianto sejauh ini cenderung berhati-hati.
“Secara prinsip, Indonesia tidak mendukung Israel. Tapi tekanan lobi politik, terutama dari negara-negara G7 yang condong ke Israel, membuat banyak negara memilih posisi netral,” ujarnya.
Farhan juga menyampaikan bahwa konflik ini harus dilihat dari sudut pandang historis. Banyak negara-negara pascakolonial seperti Iran dan Palestina masih mengalami warisan kekerasan dari masa penjajahan.
Negara-negara mantan jajahan selalu, kata dia, diperlakukan sebagai objek kekerasan. Mereka dianggap hanya bisa diatur melalui kekuatan militer, dan ketika bereaksi, stigma sebagai radikal atau teroris langsung melekat.
"Ini akar masalah yang belum selesai hingga hari ini,” ungkapnya.
Ia mengingatkan pentingnya memperkuat soal ketahanan pangan dan ekonomi. Sebab, perang ini memengaruhi jalur perdagangan, pasar keuangan, mata uang, saham, dan komoditas global.
"Jika kita tidak punya strategi yang cermat, kita akan ikut terdampak karena masih banyak makanan pokok yang impor dari negara lain” tegasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND