Polemik Putusan MK, Pemisahan Pemilu Dinilai Perlu tapi Masih Diperdebatkan
Jumat, 8 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Peserta dan narasumber berfoto bersama usai Diskusi Publik bertema “Dinamika Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah: Partisipasi dan Kepastian Hukum” di Aula Kampus A Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta, Kamis (7/8/2025). (Foto: NU Online Jakarta)
Jakarta Pusat, NU Online Jakarta
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi sorotan dalam diskusi publik bertema “Dinamika Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah: Partisipasi dan Kepastian Hukum” yang digelar di Aula Kampus A Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Kamis (7/8/2025). Dalam forum ini, wacana pemisahan pemilu menuai perdebatan dari para pembicara dengan latar belakang aktivis dan akademisi.
Program Officer Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menjelaskan bahwa pemilu serentak 2019 merupakan pemilu paling kompleks dalam sejarah Indonesia. Ia menyebut beban administrasi yang tinggi berdampak pada rendahnya kualitas proses dan hasil pemilu.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
“Beban partai dan pemilih terlalu besar, dan ini memicu praktik transaksional serta menurunnya efektivitas internal partai,” ujar Haykal.
Ia menilai bahwa pemerintah dan DPR perlu segera menyesuaikan UU Pemilu dan UU Pilkada dengan arah baru yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, transisi masa jabatan hasil Pemilu 2029 juga harus disiapkan secara matang agar implementasi tidak menimbulkan kekosongan hukum.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Pandangan berbeda disampaikan oleh perwakilan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Brahma Aryana. Ia mengkritik Putusan MK tersebut karena dinilai belum menjawab persoalan periodisasi pemilu sebagaimana diatur dalam konstitusi.
“Masalah utamanya bukan teknis, tetapi pada ketidaksesuaian dengan siklus lima tahunan yang diamanatkan konstitusi,” kata Brahma.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ia juga menggarisbawahi bahwa penurunan partisipasi pemilih tidak sepenuhnya disebabkan oleh keserentakan, melainkan juga akibat lemahnya sosialisasi oleh penyelenggara dan minimnya pendidikan politik dari partai.
Dosen Ilmu Hukum Unusia Ahsanul Minan menilai bahwa permasalahan utama bukan terletak pada desain pemilu serentak atau terpisah, melainkan pada lemahnya sistem partai dan minimnya akuntabilitas politik. Ia menyarankan agar setiap usulan perubahan desain pemilu dilengkapi dengan bukti ilmiah yang kuat.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
“Pemohon sebaiknya menyertakan riset yang menunjukkan dampak langsung dari desain keserentakan,” ucap Ahsanul.
Ia juga menyoroti tidak adanya batas waktu pengajuan gugatan terhadap UU Pemilu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, di sejumlah negara, kewenangan DPR dalam menyusun UU Pemilu dibatasi untuk mencegah konflik kepentingan.
Ahsanul menegaskan bahwa pemilu adalah sarana rakyat mengevaluasi pemerintahan dalam kerangka demokrasi konstitusional. Ia mengingatkan agar praktik politik uang dan politisasi pemilu tidak lagi dibiarkan berlangsung.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
“Praktik politik uang dan politisasi pemilu mencerminkan rendahnya pertanggungjawaban elite politik,” tegasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND