Putusan MK Hapus Presidential Threshold Lahirkan Demokrasi Inklusif dan Kesetaraan Politik
Senin, 20 Januari 2025 | 18:12 WIB
Jakarta, NU Online Jakarta
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen perolehan suara sah nasional hasil Pemilu sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan putusan itu, semua partai berhak mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Putusan itu dianggap membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia itu menuai banyak respon dari berbagai kalangan.
Wakil Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Dhimas Wafa Al Muhammad menilai putusan MK membawa kabar baik untuk demokrasi Indonesia yang lebih ideal. Menurutnya, putusan tersebut membawa demokrasi yang inklusif dan membawa ke arah kesetaraan politik bagi rakyat Indonesia.
“Putusan MK itu kabar baik untuk rakyat Indonesia yang nantinya bakal punya banyak calon presiden dan wakil presiden pas pemilu. Selama ini ambang batas dukungan 20 persen itu jadi tembok penghalang untuk mewujudkan kesetaraan politik,” ujar Dhimas dalam keterangannya kepada NU Online Jakarta pada Senin (20/1/2025).
Dhimas menjelaskan untuk mewujudkan demokrasi yang ideal diperlukan kesetaraan hak dalam kompetisi politik. Selama ini, kata Dhimas, hanya partai-partai besar saja yang mempunyai kendali untuk mengusung pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan partai-partai kecil hanya terima hasil dari kesepakatan partai besar.
“Kajian yang kami lakukan, ambang batas 20 persen itu untuk melanggengkan kekuasaan bagi partai-partai besar saja, sehingga yang berkuasa para elit itu-itu aja. Dihapusnya 20 persen itu nanti bisa menjadi regenerasi para elit dan sistem politik bagi demokrasi Indonesia,” tutur Dhimas.
Lebih lanjut, Dhimas mendorong agar semua ketua umum (ketum) partai mau maju untuk mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Keputusan itu, menurut Dhimas, justru yang sangat diuntungkan adalah para ketum partai. Meskipun pada akhirnya kalah dalam pemilu setidaknya perolehan kursi di parlemen meningkat, elektabilitas ketum partai dan nama partai akan semakin dikenal.
“Justru putusan MK hapus ambang batas sangat menguntungkan bagi para ketum partai. Para ketum bisa mencalonkan diri. Ya walaupun pahitnya nanti kalah, tapi garansinya perolehan suara kursi parlemen meningkat dan semakin populer partainya. Itu sudah dibuktikan sama salah satu partai pada pemilu 2024 kemarin,” ungkapnya.
“Partai kan selama ini punya sistem kaderisasi masing-masing sehingga memunculkan tokoh-tokoh baru di partai. Bukti kalua kaderisasinya berjalan baik salah satunya harus mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden lah,” tegasnya.
Putusan MK Berpotensi Lahirkan Partai Baru dan tokoh Populis
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Unusia Ginar Kartawidjaya menambahkan keputusan MK menghapus ambang batas dukungan calon Presiden dan Wakil Presiden memunculkan kekhawatiran baru. Keputusan itu, menurutnya, membuka seluas-luasnya lahirnya partai baru dan tokoh populis untuk ikut berkompetisi.
“Keputusan MK membuka keran lahirnya partai baru dan tokoh populis untuk bertarung pada kompetisi Pemilu. Sangat bisa dengan modal keputusan itu lahir partai baru. Belum lagi nanti muncul tokoh baru menjadi sangat tekenal dengan bantuan media sosial. Padahal belum punya pengalaman di pemerintahan, itu bisa,” jelasnya.
Ginar menjelaskan salah satu kekhawatiran baru setelah keputusan itu menjadikan biaya pemilu menjadi sangat besar. Munculnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan jumlah lebih dari dua pasangan maka berpotensi memunculkan kompetisi pada pemilu dua putaran.
“Putusan itu memunculkan banyaknya pasangan calon, bisa lebih dari dua pasangan. Itu sangat mungkin banget. Pada akhirnya kompetisi bisa dua putaran dan biaya pemilu akan bisa sampai dua kali lipat. Pemilu 2024 saja itu sudah sangat mahal padahal satu putaran. Gimana kalo dua putaran? Belum lagi budaya politik uang yang sering terjadi,” papar Ginar.
Sebagai informasi, kajian yang telah dilakukan bertajuk Menakar Putusan MK Hapus Presidential Threshold bagi Demokrasi Indonesia telah dilaksanakan pada Senin, (13/1/2024) lalu. Hasil kajian itu sebagai respon dampak yang ditimbulkan dari keputusan MK hapus ambang batas dukungan pencalonan Presien dan Wakil Presiden.
Kontributor : Ikmal Nur Awaludin
Terpopuler
1
Bahas Isu Kekinian, PCNU Jakbar Inisiasi Bahtsul Masail di Masjid Mardhotillah
2
Begini Alasan Arab Saudi Tunda Skema Tanazul Haji
3
Pagar Nusa Tampil Meriahkan Harlah Ke-77 IPSI
4
PWNU Jakarta Tegaskan Pengabdian NU Harus Bersifat Inklusif
5
Soal Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
PWNU Jakarta Apresiasi Larangan Ondel-ondel untuk Mengamen
Terkini
Lihat Semua