Jakarta Raya

Penjelasan Ketua LF PWNU Jakarta Soal Pertanda Awal dan Akhir Bulan Kalender Hijriah

Rabu, 2 Oktober 2024 | 20:00 WIB

Penjelasan Ketua LF PWNU Jakarta Soal Pertanda Awal dan Akhir Bulan Kalender Hijriah

Bulan sabit saat waktu terbenam matahari. (Foto: NU Online Jakarta/Ikhwanoe).

Jakarta Timur, NU Online Jakarta

Ketua LFNU DKI Jakarta KH Abdul Holik menjelaskan soal pertanda awal dan akhir bulan dalam kalender hijriah, sehingga untuk mengetahui tanggal Hijriah dari fase bulan dapat dilakukan pada dua waktu


"Tanggal hijriah dapat ditandai dengan melihat posisi bulan pada dua waktu, pertama saat maghrib kedua setelah waktu subuh, jika kita membagi langit menjadi dua bagian barat dan timur, maka masing-masing berumur sepekan," katanya kepada NU Online Jakarta, Rabu (2/9/2024).


Ia mengatakan bahwa kalender hijriah adalah kalender yang berbasis peredaran bulan, dengan melihat fase yang mendekati konsisten berubah-ubah dapat menjadi pertanda tanggal dalam kalender tersebut.


Selanjutnya, Ia menyebutkan ciri-ciri secara spesifik keberadaan bulan untuk menentukan tanggal hijriah, seperti jika bulan dapat dilihat saat terbenam matahari menandakan tanggal hijriah masih di pekan pertama dan kedua.


"Pertama, jika saat maghrib Bulan di belahan barat menandakan tanggal hijriah berada dipekan pertama, dan jika berada di belahan timur menandakan sudah memasuki pekan kedua," paparnya. 


"Kedua, jika setelah waktu subuh bulan di belahan barat menandakan tanggal Hijriah berada dipekan ketiga, dan jika berada di belahan timur menandakan sudah memasuki pekan keempat yang akan memasuki bulan baru dengan ditandai terjadinya fenomena ijtima atau konjungsim," imbuhnya.


Konjungsi Dalam Kitab Sullam al-Nayyirain Guru Manshur

Lebih lanjut, Kiai Kholik mengatakan dalam Kitab Sullam al-Nayyirain karangan Guru Manshur soal Ijtimā’ al-nayyirain (konjungsi matahari-bulan) adalah istilah dari keberadaan keduanya disatu tempat yang sama di ekliptika atau bidang orbit bumi mengelilingi matahari. 


"Jika Matahari berada di buruj ḥamal saat ijtimā’ maka Bulan juga berada di buruj ḥamal, dan jika Matahari berada di buruj ṡaur maka Bulan juga berada di buruj ṡaur, seperti inilah bagi dua belas buruj lainnya," jelasnya dalam memaparkan arti dari kitab tersebut.


"Demikian itu tidak terjadi kecuali pada akhir bulan hijriah yang ahli falak menyebutnya sebagai muḥāq. Sebab terjadi ijtimā’ bahwa Bulan yang bergerak lebih cepat menempuh orbitnya dalam sebulan, sedangkan Matahari tidak menempuhnya kecuali dalam setahun," lanjutnya.


Masih dalam kitab tersebut, Kiai Kholik mengatakan bahwa cahaya bulan memanfaatkan sinar matahari, jika bulan mendekati matahari setelah tengah bulan, maka cahayanya berkurang sedikit demi sedikit sampai terjadi ijtimā’ atau kesepakatan di akhir bulan.


"Menyebabkan tidak ada cahaya terlihat darinya, separuh yang terang menghadap ke matahari dan separuh yang gelap mengarah ke bumi. Jika bulan menjauhi Matahari akan tampak darinya cahaya yang disebut ḥilāl, kemudian samakin bertambah jauh, cahayanya semakin bertambah sedikit demi sedikit hingga tengah bulan," katanya yang mengartikan isi dari kitab tersebut.


"Lalu ia beroposisi menyebabkan terlihat menjadi purnama, lalu kembali dalam keadaan semula, dan seterusnya seperti ini setiap bulan," terangnya.


Penulis: Ikhwanoe
Editor: Haekal Attar