• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Sabtu, 20 April 2024

Literatur

Haul Ke-13 Gus Dur

13 Tahun Lalu, Warga Dunia Kehilangan Gus Dur

13 Tahun Lalu, Warga Dunia Kehilangan Gus Dur
Peti berisi jenazah Gus Dur saat tiba di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada 2009 lalu. Foto yang berjudul 'Jenazah Guru Bangsa' ini pernah dipamerkan di Galeri Nasional pada 14 Februari-7 Maret 2010 dan membuat Trisnadi Marjan menyabet gelar Pemenang Anugerah Pewarta Foto dari Pewarta Foto Indonesia (PFI).
Peti berisi jenazah Gus Dur saat tiba di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada 2009 lalu. Foto yang berjudul 'Jenazah Guru Bangsa' ini pernah dipamerkan di Galeri Nasional pada 14 Februari-7 Maret 2010 dan membuat Trisnadi Marjan menyabet gelar Pemenang Anugerah Pewarta Foto dari Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat pada 30 Desember 2009 (13 tahun lalu), bukan hanya warga Nahdlatul Ulama (NU) yang merasa sangat kehilangan, tetapi bangsa Indonesia dan bahkan warga dunia internasional juga merasakan hal yang sama. 


Gus Dur adalah tokoh yang dibesarkan dalam tradisi NU, tetapi kehadirannya di dunia sangat mewarnai dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengaruh Gus Dur benar-benar mewakili ‘bola dunia’ yang menjadi lambang NU. Rasa kehilangan terhadap Gus Dur yang wafat itu sangat wajar karena beberapa hal. 


Pertama, pemikiran dan perjuangan Gus Dur selama hidup selalu menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara manusia religius dan manusia sekuler, antara Arab dan Israel, antara negara berkembang/terbelakang dan negara industri maju, antara selatan dan utara.


Dalam keterbatasan fisiknya, Gus Dur tetap memainkan peran strategis dalam berbagai upaya perdamaian nasional, regional, dan internasional. Karena itu, Gus Dur sebenarnya layak menerima Nobel Perdamaian. 


Kedua, Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan mengayomi semua orang dan golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama, kepercayaan, dan profesi. Gus Dur selalu melindungi hak-hak minoritas di Indonesia. Demikian juga terhadap orang-orang kecil dan mereka yang teraniaya seperti dalam kasus Monitor, penganut Konghucu, Ahmadiyah, Dorce Gamalama, dan Inul Daratista.  


Ketiga, Gus Dur merupakan tipikal pemimpin NU tulen. Pemimpin yang moderat dan toleran, bahkan terhadap mereka yang dianggap sesat atau menyimpang oleh keyakinan mainstream (arus utama). NU tidak mengenal pemikiran ekstrem, karena teologi dan ideologi keagamaannya memang didesain untuk menghindari ekstremitas pemikiran dan perilaku keagamaan. 


Gus Dur adalah pemimpin NU yang mampu mengembangkan sikap moderat dan toleran itu sampai pada titik di mana pemikiran keagamaan NU mengalami dinamisasi yang luar biasa. Karena itulah, NU selalu menjadi jangkar kemajemukan dan sekaligus perubahan. 


Entah kapan lagi, NU dan Indonesia bisa melahirkan kembali orang seperti Gus Dur. Orang dengan pemikiran yang sangat kompleks dan komprehensif, sehingga kehadirannya bisa menjadi juru bicara semua kelompok dan merangkum kepentingan atau aspirasi semua golongan. Pemimpin yang dilahirkan dari rahim asli tradisi NU yang tumbuh bersama di tengah masyarakat plural dan ditopang oleh keberanian dan kecerdasan personal yang mengagumkan. 


Semoga kita semua dapat terus meneladani dan merefleksikan kecintaan yang mendalam terhadap NU dan bangsa Indonesia. Semoga kita juga mampu meneruskan pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang agung dan mulia yakni perjuangan menyeluruh untuk kemanusiaan, keadilan, perdamaian, serta kemakmuran bangsa dan dunia pada umumnya. 


*) Tulisan di atas disadur dari Kata Pengantar KH Said Aqil Siroj dalam buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, karya Hanif Dhakiri (2011)


Editor:

Literatur Terbaru