• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 25 April 2024

Literatur

Pendidikan Santri Multi Talenta ala KH Noer Muhammad Iskandar

Pendidikan Santri Multi Talenta ala KH Noer Muhammad Iskandar
Pendiri Pesantren Asshiddiqiyyah KH Noer Muhammad Iskandar. (Foto: santri Asshiddiqiyyah)
Pendiri Pesantren Asshiddiqiyyah KH Noer Muhammad Iskandar. (Foto: santri Asshiddiqiyyah)

Kerap kali kita mendengar bahwa masyarakat menganggap santri (lulusan pesantren) hanya bisa menjadi kiai atau tokoh agama. Padahal lebih dari itu, santri mampu berkarier di mana saja. Hal ini terbukti dengan banyaknya santri yang ikut andil dalam segala bidang baik politik, bisnis, pendidik, dan kesenian.


Mulanya ada kesan bahwa santri dan pesantren tidak mampu mengikuti zaman. Pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang tidak mampu mengikuti pola kehidupan modern. 


Pemikiran tersebut menggambarkan kepada kita bagaimana keterbelakangan yang terjadi pada umat Islam, salah satunya melalui pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sering diperlakukan tidak adil, bahkan dikucilkan. Kondisi ini menjadi masalah yang harus segera dituntaskan. 


KH Noer Muhammad Iskandar berpendapat, ada dua penyebab terjadinya keterbelakangan umat Islam, yaitu pendidikan dan ekonomi. Kiai Noer menganggap pendidikan dan ekonomi menjadi dua fokus yang tidak bisa dipisahkan. 


Pendidikan yang baik tentu akan diperoleh dengan biaya yang besar. Biaya yang besar ini tentu tidak mampu dipenuhi oleh masyarakat berekonomi rendah. Sebaliknya, masyarakat yang bisa memperbaiki perekonomian tentunya hanya mereka yang memiliki pendidikan yang baik. Alhasil, keduanya harus bisa diselaraskan.


Biografi dan Pendidikan Santri ala KH Noer Muhammad Iskandar

 
KH Noer Muhammad Iskandar lahir pada 5 Juli 1955 di Desa Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur. Ia merupakan putra kesembilan dari sebelas bersaudara dari pasangan KH Askandar dan Nyai Hj Robiatun. 


Sejak kecil ia dididik oleh sang ayah, KH Askandar. Sementara secara keilmuannya dibimbing oleh KH Mahrus Aly, Lirboyo. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.

 
Membangun Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah adalah salah satu cara yang ditempuh Abah Noer, sapaan akrab KH Noer Muhammad Iskandar, dalam mengatasi berbagai persoalan. Pesantren yang dibangun pada masa itu memang berbeda dengan pesantren lain. Abah memasukkan sekolah dalam pesantren dengan pendidikan beragam di dalamnya. Hal ini guna mewujudkan kader-kader yang tafaqquh fiddin (generasi intelektual religius).


Pembinaan dasar kesantrian yang dilakukan menekankan pada tiga hal, yaitu kemampuan membaca dan memahami Al-Qur’an, kemampuan berbahasa Arab dan Inggris, serta aktif melaksanakan ibadah-ibadah mahdhah. Selain itu, ada beberapa pelajaran yang menyangkut masalah akidah dan akhlak. Kitab-kitab yang biasa dikaji di antaranya; Tafsir Jalalain, Minhajul ‘Abidin, Ta’limul Muta’allim, dan Nadzham Imriti.


Di bidang formal, lembaga pendidikan ini mengikuti ketentuan kurikulum yang ada, sesuai dengan tingkat sekolah yang mereka ikuti. Di samping itu, para santri mengikuti kelas tambahan (ekstrakurikuler) seperti Marawis, Pencak Silat, Hadrah, Nari, Badminton, Futsal, Akustik, Palang Merah Remaja (PMR), dan Basket. Pendidikan yang beragam ini bertujuan untuk membentuk bakat dan minat para santri. Karena Abah Noer percaya bahwa tidak semua santri harus menjadi kiai.


Menurut Abah, santri mumpuni masuk ke dalam semua bidang kehidupan modern. Baik menjadi pendidik, teknokrat, penyanyi, pedagang, peternak, dan pendakwah. Pesantren dipercaya mampu melahirkan pemimpin yang cakap di masa mendatang. 


Hal itu karena di pesantren para santri ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik bidang agama maupun umum. Kedisiplinan, kesabaran dan keikhlasan serta selalu mengharapkan keberkahan, khususnya dari para kiai menjadi perilaku yang selalu menghiasi santri.  


Misalnya, santri di pesantren dituntut wajib melaksanakan shalat jamaah, bangun malam untuk tahajud, mengaji, dan mengkaji berbagai ilmu agama lintas disiplin. Ini tentu akan mampu membentuk karakter para santri baik secara lahir maupun batin. Ketika intelektual dan spiritual selaras maka akan terbentuklah generasi emas di masa mendatang.

 
Banyak orang pintar tapi belum tentu benar. Karena itu, kita harus mencetak kader-kader pemimpin yang pintar dan benar untuk menjawab tantangan dan perputaran zaman. Para koruptor adalah contoh orang-orang yang pintar, mumpuni dalam bidang yang mereka emban, tetapi mereka tidak benar, sehingga kekuasaan yang dipegang malah disalahgunakan. Inilah yang ingin Abah Noer singkirkan. Ia menginginkan kelak semua santrinya menjadi orang yang pintar dan benar.


Kedisiplinan, kesederhanaan, keikhlasan, ketaatan, dan kesabaran selalu mewarnai perjuangan kiai asal Banyuwangi, Jawa Timur itu. Tidaklah mudah bagi Abah Noer untuk membangun pesantren di tengah Ibu Kota yang dikelilingi kemajuan, baik dari segi teknologi dan informasinya. Pada 5 Juli 1985 atas amanat yang diberikan KH Mahrus Aly, Abah mendirikan pesantren yang berbasis Ahlussunnah wal Jamaah dan berlokasi di Kedoya, Jakarta Barat.


Lika-liku pembangunan pesantren selalu mewarnai perjuangan Kiai Noer. Dicaci, ditipu, bahkan Abah sempat dituding sebagai pembawa aliran Syiah. Apakah membuat Abah marah? Tentu saja tidak, Abah lebih memilih diam daripada ikut berkecimpung dalam hoaks yang semakin memanas itu. 


Setelah situasi mulai dingin, barulah Abah melakukan tabayun (penjelasan). Beberapa kiai datang dan bertanya langsung pada Abah mengenai sebuah peristiwa yang sedang terjadi. Seiring berjalannya waktu, maka semakin jelaslah bahwa tuduhan itu adalah sebuah fitnah belaka. Tujuannya tidak lain hanya ingin menjatuhkan, dan menggulingkan Abah. Karena saat itu Pesantren Ash-Shiddiqiyyah mulai mendapatkan kepercayaan dan sumbangsih dari masyarakat.

 
Kini, ada 12 pesantren yang diwariskan Abah Noer, tersebar di seluruh Indonesia yaitu Asshiddiqiyyah pusat di Kebon Jeruk, Jakarta Barat; Asshiddiqiyyah 2 di Batuceper, Tangerang; Asshiddiqiyyah 3 di Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat; Asshiddiqiyyah 4 di Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat; dan Asshiddiqiyyah 5 di Jonggol, Bogor, Jawa Barat.

 
Selanjutnya, Asshiddiqiyyah 6 di Setu Kota, Tangerang Selatan, Banten; Asshiddiqiyyah 7 di Cijeruk, Bogor, Jawa Barat; Asshiddiqiyyah 8 di Tungkal Jaya, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; Asshiddiqiyyah 9 di Gunungsugih, Lampung Tengah; Asshiddiqiyyah 10 di Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat; Asshiddiqiyyah 11 di Gunug Labuhan, Waykanan, Lampung; dan Asshiddiqiyah 12 di Jonggol, Bogor, Jawa Barat.


Pada Ahad, 13 Desember 2020/28 Rabiul Akhir 1442, keluarga besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta berduka atas kepergian Abah. Duka cita menyelimuti seluruh pesantren dan semua orang, khususnya mereka yang mengenal Abah. 


Saat ini, sudah hampir dua tahun Abah pergi tetapi segala diajarkannya tetap tertanam di dalam hati para santri. Tahajud dan puasa Daud menjadi kegiatan spiritual yang istiqamah dilakukan para santri. Rasa rindu selalu menyelimuti hati ini, Abah Noer. Al-Fatihah…


Robiah Lubis, Mahasantri Mahad Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta

*Tulisan ini disarikan dari buku Pergulatan Membangun Pesantren karya Amin Idris (2009)


Editor:

Literatur Terbaru