
Aksi warga Pulau Pari menolak pengambilan pasir laut karena dinilai dapat merusak ekosistem laut. (Foto: instagram @pulihkanjakarta)
Agus Zehid
Penulis
Fenomena krisis lingkungan telah menjadi permasalahan serius di dunia modern saat ini. Berbagai bentuk anomali yang terjadi, telah memberikan dampak yang buruk terhadap keseimbangan alam.
Suatu paham tentang manusia sebagai poros kehidupan, telah melahirkan berbagai macam kerusakan (antroposentrisme), mulai dari eksploitasi, deforestasi, polusi, efek rumah kaca, hingga kerusakan yang terjadi di wilayah kelautan.
Di tengah viralnya kasus bambu di laut Tanggerang, isu Pulau Pari juga ikut menjadi sorotan. Kabarnya, pada 17 Januari 2025 telah terjadi pengerukan pasir laut untuk kebutuhan fasilitas pariwisata oleh pihak swasta pada dataran dangkal. Kegiatan itu mendapatkan penolakan dari warga setempat.
Faktanya, imbas dari proyek itu berdampak pada rusaknya hutan mangrove yang telah ditanam oleh warga, para pengunjung, dan aktivis lingkungan selama bertahun-tahun.
Lantas bagaimana Islam memandang fenomena pemanfaatan pasir laut dan sejauh mana ketentuannya?
Dalam fiqih klasik, pembahasan wilayah pesisir dikenal dengan ihya as-sahil (menghidupkan pantai). Biasanya pembahasan ini terdapat pada bab Ihya Al-Mawat (menghidupkan lahan yang mati). Kedudukan wilayah pesisir ini adalah huququl ammah (hak bersama) sehingga setiap masyarakat berhak mengambil manfaat dari tempat itu.
Kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir sejatinya telah terjadi sejak dahulu, hanya saja tidak spesifik sebagaimana fenomena yang terjadi pada zaman modern saat ini. Misalnya reklamasi atau pembangunan wisata dengan cara pemanfaatan pasir laut.
Pemanfaatan pasir laut ini telah dibahas dalam bahtsul masail LBMNU Jabar pada 31 Juli 2023. Hasilnya, membolehkan pemanfaatan sedimen pasir laut untuk kepentingan dalam negeri, dan larangan melakukan ekspor sedimen pasir laut. Selain itu, pemanfaatan sedimen pasir laut tidak boleh berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Diskusi ini sebagai respons dari pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal dijelaskan bahwa sekalipun air sungai surut dari tanah atau pasir, wilayah tersebut tetap menjadi haknya umat Muslim dan pemimpin tidak berhak memberikan hak kepemilikan kepada seseorang, baik air maupun pesisirnya.
وَلَوْ انْحَسَرَ مَاءُ النَّهْرِ عَنْ جَانِبٍ مِنْهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْ كَوْنِهِ مِنْ حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ وَلَيْسَ لِلسُّلْطَانِ إقْطَاعُهُ لِأَحَدٍ كَالنَّهْرِ وَحَرِيمِهِ وَلَوْ زَرَعَهُ أَحَدٌ لَزِمَهُ أُجْرَتُهُ لِمَصَالِح الْمُسْلِمِينَ وَيَسْقُطُ عَنْهُ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ إنْ كَانَ لَهُ حِصَّتُهُ فِي مَالِ الْمَصَالِحِ نَعَمْ لِلْإِمَامِ دَفْعُهُ لِمَنْ يَرْتَفِقُ بِهِ بِمَا لَا يَضُرُّ الْمُسْلِمِينَ وَمِثْلُهُ مَا يَنْحَسِرُ عَنْهُ الْمَاءُ مِنْ الْجَزَائِرِ فِي الْبَحْرِ وَيَجُوزُ زَرْعُهُ وَنَحْوُهُ لِمَنْ لَمْ يَقْصِدْ إحْيَاءً وَلَا يَجُوزُ فِيهِ الْبِنَاءُ وَلَا الْغِرَاسُ وَلَا مَا يَضُرُّ الْمُسْلِمِينَ
"Sekalipun air sungai surut dari tanah atau pasir, wilayah tersebut tetap menjadi haknya umat muslimin dan pemimpin tidak berhak memberikan -hak kepemilikan- kepada seseorang, baik air ataupun pesisirnya. Seandainya seseorang menanam di wilayah tersebut, maka wajib baginya membayar untuk kepentingan umat Muslim, dan gugur bagiannya yang ada di harta mashalih. Adapun pemimpin boleh memberikan izin kepada orang yang ingin mengambil manfaat dari wilayah tersebut, dengan catatan tidak memberikan dampak buruk bagi umat Muslim. Begitupun jika terjadi di perairan laut, boleh menanam, tanpa berniat memiliki wilayah tersebut. Juga tidak boleh membangun bangunan di wilayah pesisir, melempar benih pohon, dan tidak memberikan mudharat bagi umat Muslim." (Kitab Hasyiyah al-Jamal, juz 3, halaman 562).
Meskipun pemanfaatan pasir laut termasuk hal yang diperbolehkan, tetapi proyek itu harus memperhatikan aspek kemaslahatan ekologi dan ekonomi.
Jika pemanfaatan wilayah pesisir berdampak pada hilangnya ruang pendapatan para nelayan dan rusaknya ekosistem laut, maka hukumnya tidak boleh. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Izzuddin bin abd Salam dalam kitab Al-Ghayah fi Ikhtishari An-Nihayah.
قال الإمام: كلُّ ما أبحناه بشرطِ سلامةِ العاقبةِ كإشراع القوابيلِ فإذا تلف به شيءٌ تبيَّن أنه غيرُ مباحٍ
Imam berkata: segala sesuatu yang kami bolehkan demi kesejahteraan seperti menjulurkan atap rumah di area jalan umum, apabila hal tersebut berdampak buruk, maka statusnya berubah menjadi tidak boleh. (Karya Izzuddin bin abd Salam, Al-Ghayah fi Ikhtishari An-Nihayah, halaman 394).
Sekalipun terdapat kemaslahatan di dalamnya, tetapi bagaimana jika menimbulkan kerusakan? Izzudin bin Abd Salam menjelaskannya di dalam kitab Al-Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam.
فَإِنْ كَانَتْ الْمَفْسَدَةُ أَعْظَمَ مِنْ الْمَصْلَحَةِ دَرَأْنَا الْمَفْسَدَةَ وَلَا نُبَالِي بِفَوَاتِ الْمَصْلَحَةِ
Jika kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari pada kemaslahatannya, maka kami lebih memilih mencegah kerusakan tersebut dan meninggalkan kemaslahatannya. (Izzudin bin Abd Salam, Al-Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, juz 1, halaman 136, Dar El-Qolam).
Untuk meminimalisasi dampak negatif dari pembangunan dan pemanfaatan lahan pesisir, serta mengoptimalkan dampak positifnya, maka harus dilakukan dengan regulasi dan perencanaan yang matang. Perlunya menghadirkan kajian Analisis Mengenai Masalah Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebelum melakukan pemanfaatan pasir laut di wilayah pesisir.
Peristiwa yang terjadi di Pulau Pari harus segera diselesaikan. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan warga Pulau Pari. Sebab mereka telah hidup di sana secara turun-temurun. Kehadiran mereka sebagai penduduk setempat dan pemelihara kelestarian laut harus senantiasa dipertahankan.
Pembangunan tersebut ditengarai akan berdampak pada kerusakan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Selain itu, ruang penghidupan para nelayan juga ikut terdampak.
Di samping itu, terdapat kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah harus beriringan dengan kemaslahatan masyarakat. Artinya, jika suatu proyek pembangunan dikhawatirkan dapat memberikan mudharat yang besar terhadap keseimbangan ekosistem dan kehidupan warga setempat, maka keputusan untuk tidak melanjutkan pembangunan pada daerah tersebut adalah kebijakan yang sepatutnya diambil.
فكل عمل أو تصرف من الولاة على خلاف هذه المصلحة -تطهير المجتمع من الفساد- مما يقصد به استثمار أو استبداد، أو يؤدي إلى ضرر أو فساد، هو غير جائز.
"Setiap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, ataupun kebijakan otoriter yang berdampak pada kerusakan, maka itu dilarang." (Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah wa Tatbiquha fi Al-Madzahib Al-Arba'ah, Juz 1, H, 493)
Sebagai penutup, kelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab setiap individu. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat harus senantiasa terjalin, demi mewujudkan kehidupan yang ramah lingkungan.
______________________
Untuk Informasi Kerja Sama dengan NU Online Jakarta Klik disini
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Ramadhan Bulan Al-Qur'an
2
Kemasukan Air Ketika Mandi atau Wudhu saat Puasa, Batalkah?
3
Hadiri Pesantren Kilat di Jakarta Timur, Bang NU Ditodong Pantun
4
Pernikahan Dini Jadi Akar Penyebab KDRT
5
Suluk Ramadhan: Bahaya Riya' Dapat Rusak Amal Ibadah
6
Hukum Menggunakan Softlens Ketika Berpuasa
Terkini
Lihat Semua