Syariah

Serah-Terima (Qabadh) pada Transaksi Jual Beli Emas Digital

Ahad, 11 Mei 2025 | 18:50 WIB

Serah-Terima (Qabadh) pada Transaksi Jual Beli Emas Digital

Ilustrasi jual beli emas. (Foto: Freepik)

Perkembangan teknologi finansial (fintech) telah membawa inovasi dalam transaksi komoditas berharga, termasuk emas. Emas tidak hanya menjadi simbol kemewahan, tapi juga alat lindung nilai dan investasi yang banyak digemari. Namun, dalam Islam, jual beli emas tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada aturan khusus yang harus dipenuhi agar transaksi emas bebas dari praktik riba, salah satunya adalah taqabuḍ, atau serah terima secara tunai yang sah antara penjual dan pembeli.

 

Apakah transaksi jual beli emas secara digital dan cicilan emas ini sesuai dengan prinsip taqabuḍ dalam syariat Islam? Mengingat dalam jual beli emas dikenal istilah serah terima harus dilakukan secara tunai/kontan supaya tidak riba. Mari kita bahas secara bertahap.


Apa Itu Taqabuḍ? Mengapa Penting dalam Jual Beli Emas?


Secara bahasa, taqabuḍ berasal dari kata qabaḍ yang berarti “mengambil” atau “memegang”. Dalam istilah fikih, taqabuḍ berarti serah terima barang dalam sebuah transaksi jual beli, yang menunjukkan bahwa pembeli telah menerima barang yang dibelinya secara sah, baik secara fisik maupun secara hukum.


Dalam konteks jual beli emas, taqabuḍ menjadi penting karena emas tergolong barang ribawi. Islam memiliki aturan ketat dalam jual beli barang ribawi, termasuk kewajiban serah terima langsung/tunai (yadan bi yadin) dalam transaksi. Mari kita Simak penjelasan 2 hadis berikut:


Hadits pertama, Rasulullah ﷺ bersabda:

 

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.


Janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama dengan sama, dan janganlah kalian melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual salah satunya yang tidak ada (ghā’iban) dengan yang ada (nājizan).” (HR. Muslim).

 

Hadits kedua, Rasulullah ﷺ bersabda:

 

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ


Emas dengan emas adalah riba kecuali hā’a wa hā’a (tunai)”

 

Penjelasan Hadits:

 

Di hadits pertama, kalimat وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ (Dan janganlah kalian menjual salah satunya yang tidak ada (ghā’iban) dengan yang ada (nājizan)) dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalany di dalam kitab Fathul Bari, 


وَالْمُرَادُ بِالْغَائِبِ أَعَمُّ مِنَ الْمُؤَجَّلِ كَالْغَائِبِ عَنِ الْمَجْلِسِ مُطْلَقًا مُؤَجَّلًا كَانَ أَوْ حَالًّا وَالنَّاجِزُ الْحَاضِرُ


Artinya: Makna ghā’iban dan nājizan: Frasa ghā’iban merujuk pada sesuatu yang tidak hadir, baik karena ditunda (mu’ajjāl, misalnya utang) maupun karena tidak ada di tempat transaksi (majlis), baik itu tunai (hal) atau tertunda. Sedangkan nājizan berarti yang hadir atau tersedia di tempat transaksi. Kata nājizan ditulis dengan huruf nun, jim, dan zay, merujuk pada sesuatu yang langsung diserahkan (tunai).


Pada hadits kedua, kalimat هَاءَ وَهَاءَ (tunai), dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalany di dalam kitab Fathul Bari, yaitu:
 

وَقَالَ ابْنُ الْأَثِيرِهَاءَ وَهَاءَ هُوَ أَنْ يَقُولَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَيِّعَيْنِ هَاءَ فَيُعْطِيهِ مَا فِي يَدِهِ كَالْحَدِيثِ الْآخَرِ إِلَّا يَدًا بِيَدٍ يَعْنِي: مُقَابَضَةً فِي الْمَجْلِسِ


Artinya: Dan Ibnu Al-Atsir berkata:“ hā’a wa hā’a adalah ketika masing-masing dari kedua pihak dalam transaksi jual beli (al-bayyi’ayn, penjual dan pembeli) mengucapkan ‘haa’’, lalu masing-masing memberikan apa yang ada di tangannya, sebagaimana dalam hadis lain yang berbunyi ‘kecuali tangan dengan tangan’ (illā yadan bi yadin), yang berarti serah terima langsung (muqābaḍah) di tempat transaksi (fi al-majlis).


Dari penjelasan hadis yang disebutkan, para ulama menyimpulkan bahwa syarat utama dalam jual beli emas supaya terhindar dari unsur riba adalah jual beli emas dilakukan secara tunai, artinya ada serah terima secara langsung oleh pembeli dan penjual di tempat dan waktu yang sama (taqabuḍ). Inilah mengapa taqabuḍ menjadi penting dalam jual beli emas karena implikasi hukumnya jika syarat tidak terpenuhi adalah riba.

 

Taqabuḍ dalam Emas Digital dan Cicilan Emas


Karena itu, taqabuḍ menjadi syarat esensial dalam menjaga keabsahan jual beli emas. Namun, bagaimana jika transaksinya dilakukan secara digital? Apakah taqabuḍ tetap bisa dilakukan? Bukankah taqabuḍ harus serah terima antara uang dan emas di dalam tempat yang sama dan di waktu yang bersamaan? Mari kita simak penjelasan para ulama kontemporer berikut.


1.    Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) No. 57 tentang Emas, yaitu:


يشترط لبيع سبائك الذهب بالنقود قبض البدلين في مجلس العقد ويتحقق قبض المشتري للسبيكة بقبض عينها بنفسه، أوعن طريق وكيله قبضا حقيقيا أو حكميا، ويتحقق القبض الحكمي بتعيين السبيكة وتمكين المشتري من التصرف بها، أو بقبض شهادة تمثل ملك سبيكة معينة ومميزة عن غيرها 

 

Syarat jual beli emas batangan dengan uang (mata uang) bahwa kedua belah pihak harus melakukan serah terima (qabaḍ) atas dua objek transaksi (emas dan uang) di tempat akad (majlis al-‘aqd). qabaḍ dibagi menjadi Ada 2 kategori:


1. Qabaḍ ḥaqīqī: Serah terima (qabaḍ) oleh pembeli atas emas batangan bisa terwujud dengan cara menerima fisik emas batangan itu sendiri secara langsung oleh pembeli, atau melalui wakilnya, baik secara nyata (haqiqi, diberikan langsung fisik emas dan uangnya) maupun secara hukum (ḥukmī, yang dianggap sah secara syariat meski fisiknya belum diterima langsung).


2. Qabaḍ ḥukmī: 
Penentuan (ta’yin) emas batangan secara spesifik dan memberikan kemampuan kepada pembeli untuk mengelola (taṣarruf) emas tersebut, atau


Dengan menerima sertifikat yang mewakili kepemilikan atas emas batangan tersebut dan dibedakan dari emas lainnya (allocated)


Penjelasan singkat: Qabaḍ haqiqi adalah serah terima secara langsung emas secara fisik, qabaḍ ḥukmī adalah serah terima tidak langsung.


2. Fatwa Syekh Ali Jumah di dalam al-Kalim al-Thayyib Fatawa ‘Ashriyah:


يجوز بيع الذهب والفضة المصنعين أو المعدين للتصنيع بالتقسيط في عصرنا الحاضر حيث خرجا عن التعامل بهما كوسيط للتبادل بين الناس وصارا سلعة كسائر السلع التي تباع وتشترى بالعاجل والآجل، وليست لهما صورة الدينار والدرهم اللذين كانا يشترط فيها الحلول والتقابض فيما رواه أبو سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز" (رواه البخاري). وهو معلل بأن الذهب والفضة كانا وسيلتي التبادل والتعامل بين الناس، وحيث انتفت هذه الحالة ألآن فينتفي الحكم حيث يدور الحكم وجودا وعدما مع علته. وعليه: فلا مانع شرعا من بيع الذهب المصنع أو المعد للتصنيع بالقسط


“Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil’ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang dalam (taqabuḍ) disyaratkan tunai dan diserahterimakan sebagaimana dikemukakan dalam hadits…. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan ‘illatnya, baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara’ untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.”


3. Fatwa MUI 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, yaitu:

 

“Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murābahah, hukumnya boleh (mubāḥ, jā’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).”

 

Ini memberikan landasan bahwa jual beli emas dalam bentuk digital ataupun cicilan (pada saat jual beli berlangsung emas fisik tidak tersedia, melainkan dalam bentuk digital/cicilan) dimungkinkan secara syar’i walaupun jual beli dilakukan tidak secara tunai selama emas bukan alat tukar (uang) yang resmi di sebuah negara. di zaman modern ini, mata uang resmi sudah tidak lagi menggunakan emas, melainkan uang fiat (mudahnya, uang fiat: uang kertas dan digital saat ini). Di Indonesia sendiri mata uang resminya adalah Rupiah, bukan emas.

 

Kesimpulan:

Taqabuḍ (serah terima) pada jual beli emas digital dan cicilan emas tetap dikatakan sah secara syariat walaupun serah terima tidak secara langsung di tempat yang sama dan di waktu yang bersamaan, karena pertama, mengambil hukum diperbolehkannya qabaḍ ḥukmī. (qabaḍ yang dianggap sah secara syariat meski fisiknya belum diterima langsung) Qabaḍ ḥukmī: dapat dikatakan sah dengan syarat:

 

• Pada saat transaksi, emas yang dibeli benar-benar ada
• Emas yang dibeli diketahui secara jelas ukuran dan kualitasnya
• Emas yang dibeli dapat diserahterimakan fisiknya
• Pembeli mendapatkan bukti kepemilikan berupa dokumen/sertifikat kepemilikan emas

 

Kedua, emas bukan berstatus sebagai mata uang (alat tukar) resmi negara, melainkan sebagai komoditas layaknya barang biasa sehingga ‘illat hukum riba jual beli emas tidak berlaku. Dengan status emas sebagai komoditas, maka jual beli emas sama saja seperti jual beli barang biasa yang boleh dilakukan secara cicilan dan dilakukan secara digital.


Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis berdasarkan kajian fikih muamalah kontemporer dan sejumlah Lembaga fatwa nasional dan internasional seperti DSN-MUI dan AAOIFI. Sampai saat ini, Nahdlatul Ulama melalui forum resmi seperti Muktamar, Munas, maupun Bahtsul Masail belum mengeluarkan keputusan khusus terkait hukum jual beli emas digital dan cicilan emas. Karena itu, artikel ini tidak mewakili sikap resmi NU, melainkan sebagai kontribusi pemikiran untuk mendorong diskusi di kalangan umat


Wallāhu a‘lam


Muhammad Alfi Maulana, S.H., Lc, Lulusan Hukum Ekonomi Syariah UIN Jakarta, Pesantren Darus-Sunnah Institute for Hadith dan Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah