Syariah

Hukum Membeli Emas Digital dalam Perspektif Syariah

Selasa, 6 Mei 2025 | 16:00 WIB

Hukum Membeli Emas Digital dalam Perspektif Syariah

Ilustrasi emas. (Foto: Freepik)

Dalam beberapa tahun terakhir, investasi emas kembali menjadi primadona. Ketidakpastian ekonomi, baik di tingkat global maupun nasional, mendorong banyak orang untuk mencari instrumen investasi yang dianggap lebih aman dan stabil. Fluktuasi nilai tukar, ancaman resesi, ketegangan geopolitik, hingga inflasi yang terus menggerus daya beli, membuat masyarakat semakin waspada dalam mengelola aset.


Di tengah kondisi ini, emas hadir sebagai pilihan yang menjanjikan, bukan hanya karena nilainya yang relatif stabil, tetapi juga karena sejarah panjangnya sebagai penyimpan nilai yang diakui lintas zaman dan budaya.


Namun, perkembangan teknologi juga membawa perubahan besar dalam cara berinvestasi emas. Kini, masyarakat tidak perlu lagi menyimpan emas dalam bentuk fisik. Cukup lewat aplikasi di ponsel, seseorang bisa membeli, menjual, bahkan menyimpan emas secara digital. Praktis, cepat, dan tentunya minim risiko kehilangan secara fisik. Tapi, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana hukum membeli emas digital dalam pandangan Islam?

 

Emas Termasuk Barang Riba


Menurut Islam, emas bukan sekadar komoditas biasa. Ia termasuk dalam barang ribawi, yaitu barang yang apabila dipertukarkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar tidak jatuh dalam praktik riba. Rasulullah ﷺ bersabda:


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

 

Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)


Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa jual beli emas memiliki syarat, yaitu:


1. Setara dalam takaran dan jumlah (mitslan bi mitslin).


2. Jual beli dilakukan secara tunai (yadan bi yadin). Maksudnya adalah ketika jual beli emas dilakukan, antara uang dan emas harus diserahterimakan dalam waktu dan tempat yang sama pada saat jual beli berlangsung (dalam istilah fikih juga disebut sebagai qabadh).


Jika salah satu syarat dari (mitslan bi mitslin dan yadan bi yadin) tidak terpenuhi misalnya seperti fisik emas tidak ada pada saat jual beli berlangsung, maka transaksi itu bisa masuk dalam kategori riba. Inilah titik kritis dalam transaksi emas digital, dimana emas yang diperjualbelikan secara daring tidak memiliki wujud fisik.


Pendapat Ulama Mengenai Emas Digital


Tentu dalam jual beli emas ada pro kontra di berbagai kalangan ulama. Berikut adalah beberapa pandangan dari para ulama dan lembaga fatwa kontemporer terkait jual beli emas:

 

Pertama, Pendapat Syaikh Ali Jum’ah. Dia menyebutkan di dalam al-Kalim al-Thayyib Fatawa ‘Ashriyah, yaitu:


يجوز بيغ الذهب والفضة المصنعين أو المعدين للتصنيع بالتقسيط في عصرنا الحاضر حيث خرجا عن التعامل بهما كوسيط للتبادل بين الناس وصارا سلعة كسائر السلع التي تباع وتشترى بالعاجل والآجل


"Diperbolehkan menjual emas dan perak yang sudah diolah atau diproses untuk keperluan industri secara cicilan, karena keduanya tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar (mata uang) di masyarakat, melainkan telah menjadi komoditas seperti barang dagangan lainnya yang boleh diperjualbelikan baik secara tunai maupun angsuran."


Menurut Syekh Ali Jum’ah, diperbolehkan jual beli emas baik secara tunai dan tidak tunai karena pada saat ini emas bukan lagi sebagai mata uang resmi, melainkan menjadi komoditas seperti barang lainnya.

 

Kedua, Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, DSN-MUI membuka ruang bagi transaksi emas secara tidak tunai (yadan bi yadin) selama memenuhi syarat berikut:

 

Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).”


Ini memberikan landasan bahwa jual beli emas digital (pada saat jual beli berlangsung emas fisik tidak tersedia, melainkan dalam bentuk digital) dimungkinkan secara syar’i walaupun jual beli dilakukan tidak secara tunai (tidak yadan bi yadin) selama emas bukan alat tukar (uang) yang resmi di sebuah negara.
 

Di zaman modern ini, mata uang resmi sudah tidak lagi menggunakan emas, melainkan uang kertas (fiat money). Di Indonesia sendiri mata uang resminya adalah Rupiah, bukan emas.


Ketiga, Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) No. 57 tentang Emas, yaitu:


ويتحقق القبض الحكمي بتعيين السبيكة وتمكين المشتري من التصرف بها، أو بقبض شهادة تمثل ملك سبيكة معينة ومميزة عن غيرها
      

Penyerahan kedua barang (qabdh) harus dilakukan dalam majelis akad. Bisa menerima secara langsung (qabdh haqiqi), atau melalui wakil (baik penyerahan nyata atau simbolis). Penyerahan simbolis (qabdh hukmi) dianggap sah jika: Emas batangan sudah ditentukan dan dibedakan dari lainnya, dan Pembeli diberi kebebasan penuh untuk mengelola/memindahkan kepemilikan, atau dengan menerima sertifikat kepemilikan yang mewakili emas batangan spesifik tersebut.”

 

Dari ketentuan ini, dapat kita simpulkan bahwa jual beli emas dengan uang tunai diperbolehkan dengan Qabdh hukmi, yaitu penyerahan tidak fisik, misal via dokumen/sertifikat tanda kepemilikan dengan syarat di antaranya:

 

1. Emas batangan sudah ditentukan (ukuran dan kualitas emas yang dibeli diketahui).
2. Pembeli diberi kebebasan penuh untuk mengelola/memindahkan kepemilikan (dapat diserahterimakan fisik emasnya).
3. Pembeli mendapatkan bukti kepemilikan berupa dokumen/sertifikat kepemilikan emas.


Kesimpulannya, membeli emas digital bisa dibolehkan secara syariah selama terpenuhi syarat-syarat penting seperti sebagai berikut: 


1. Emas bukan sebagai mata uang resmi di sebuah negara.
2. Emas yang dibeli benar-benar ada
3. Emas yang dibeli diketahui secara jelas ukuran dan kualitasnya.
4. Emas yang dibeli dapat diserahterimakan fisiknya.
5. Pembeli mendapatkan bukti kepemilikan berupa dokumen/sertifikat kepemilikan emas.


Perlu diperhatikan, selama emas tidak berstatus sebagai mata uang resmi suatu negara, transaksi jual beli emas secara digital diperbolehkan dengan syarat memenuhi ketentuan syariah. 


Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis berdasarkan kajian terhadap literatur fikih muamalah kontemporer dan beberapa pendapat lembaga fatwa internasional seperti AAOIFI dan DSN-MUI.
 

Hingga saat ini, Nahdlatul Ulama melalui forum resmi seperti Muktamar, Munas, maupun Lembaga Bahtsul Masail belum mengeluarkan keputusan khusus mengenai hukum jual beli emas digital atau cicilan emas. 
 

Oleh karena itu, artikel ini tidak mewakili sikap resmi NU, melainkan sebagai kontribusi pemikiran untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas di kalangan umat.


Wallahu a’lam


Referensi:


AAOIFI. (2018). Accounting, Auditing and Governance Standards for Islamic Financial Institutions, Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions. Bahrain
Fatwa MUI 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
Shaykh Ali Jum'ah, al-Kalim al-Tayyib: Fatawa 'Asriyya, (Cairo: Dar al-Salam, 2006)
Imam An-Nawawi, al-Minhaj fii Sharh Sahih Muslim, (Dar al-Minhaj, 2023)



Muhammad Alfi Maulana, S.H., Lc, Lulusan: Hukum Ekonomi Syariah UIN Jakarta, Pesantren Darus-Sunnah Institute for Hadith dan Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah