Syariah

Hak Anak atas Kedua Orang Tua 

Ahad, 18 Mei 2025 | 17:00 WIB

Hak Anak atas Kedua Orang Tua 

Ilustrasi keluarga. (Foto: NU Online/Freepik)


‎‎Hubungan antara orang tua kepada anak merupakan sesuatu yang penting dalam lingkungan keluarga. Hubungan ini akan berdampak pada perkembangan anak sejak kecil hingga dewasa. Tentunya Islam sangat mengharapkan terjalinnya hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang antara kedua pihak. 


‎Dalam Islam dikenal konsep 'Durhaka', Situasi di mana sang anak melakukan perbuatan yang menyakiti atau tidak menghormati orang tuanya, baik yang dilakukan secara fisik atau pun verbal. Seperti membantah orang tua dalam hal kebaikan, tidak menghormatinya, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar. Konsep ini menginginkan peranan anak yang senantiasa berbuat baik kepada orang tua dan tidak menyakitinya. 

‎Sementara di sisi lain, tidak ada istilah orang tua 'durhaka' terhadap anaknya. Sebagian orang mengira bahwa setiap perilaku yang dilakukan orang tua terhadap anaknya -sekalipun kesalahan- adalah sesuatu yang tak boleh dikritik.  Bahkan jika orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, atau menyakiti hati mereka, tetap tidak ada istilah durhaka yang disematkan secara sosial kepada orang tua. 


‎Artikel ini akan menyoroti relasi orang tua yang terfokus terhadap hak anak. Beberapa hak dan kewajiban yang perlu ditunaikan orang tua, serta akibat lalainya orang tua dalam menunaikan hak sang anak. 

Memberi pendidikan
‎ 

‎Dalam Islam terdapat ajaran memperbanyak anak dengan harapan dapat melahirkan anak-anak Sholeh dan mengundang rezeki. Dengan catatan anak ini berada di lingkungan orang tua yang juga alim. Namun, implementasi pemahaman ini sering disalahgunakan di tengah  masyarakat. Pemahaman tentang 'banyak anak banyak rezeki' ini seolah relevan tanpa zaman dan ketentuan tertentu. 

‎Sebenarnya tak ada yang salah dengan memiliki banyak anak, sepanjang orang tua dapat memberikan hak tumbuh kembang anak dengan layak. Namun, akan jadi bermasalah tatkala anak-anak ini lahir di kondisi keluarga yang kurang mumpuni secara mental dan finansial. Akibatnya, hak anak dalam mendapati pendidikan, nafkah dan kasih sayang sering kali diabaikan. 

‎Orang tua berkewajiban memberikan pendidikan kepada anaknya. Khususnya pendidikan mengenai ajaran agamanya, seperti Tauhid, rukun Islam, dan ajaran dasar agama lainnya. Selain itu, memberikan pemahaman terhadap anak tentang hal-hal yang dilarang dalam beragama. Ini menjadi bagian penting dalam pendidikan anak tentang agamanya. Menurut Imam Ghazali bahwa Pendidikan mengenai ajaran agama merupakan fardhu Ain (kewajiban individu) bagi setiap manusia.


‎Imam Nawawi juga memberikan penjelasan bahwa pendidikan agama merupakan sesuatu yang wajib diajarkan kepada anak. Pendidikan di atas sesuai dengan pesan Imam Nawawi kepada para orang tua. Ia menyebutkan: 

‎وعلي الاباء والامهات أو يُؤَدِّبُوا أَوْلَادَهُمْ وَيُعَلِّمُوهُمْ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ وَيَضْرِبُوهُمْ عَلَى ذَلِكَ إذَا عَقَلُوا " قَالَ أَصْحَابُنَا وَيَأْمُرُهُ الْوَلِيُّ بِحُضُورِ الصَّلَوَاتِ فِي الْجَمَاعَةِ وَبِالسِّوَاكِ وَسَائِرِ الْوَظَائِفِ الدِّينِيَّةِ وَيُعَرِّفُهُ تَحْرِيمَ الزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَالْخَمْرِ وَالْكَذِبِ وَالْغِيبَةِ وَشَبَهِهَا 

‎Artinya: Wajib bagi orang tua (bapak dan ibu) untuk mengajarkan anak mereka, mengajarkan mereka cara bersuci, shalat, dan diberikan ketegasan (pukulan kasih sayang) jika meninggalkan hal tersebut, apabila mereka telah berakal. Berpendapat santri imam Nawawi, Seorang wali berhak menyuruh anaknya untuk shalat jamaah lima waktu, menggunakan siwak, dan berbagai urusan agama lainnya. Selain itu, mereka juga harus memberikan pengetahuan tentang sesuatu yang haram, seperti zina, sodom, khamar, berbohong, ghibah dan perilaku buruk lainnya kepada anak-anak. (Imam An-Nawawi, Majmu Syarh Muhadzhab, {Cairo, Al-Muniroh, 1344-1347 H},  Juz III, halaman 11). 


‎Pendidikan Agama menjadi bekal penting bagi pertumbuhan anak. Keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak, memiliki peran sentral dalam memberikan pendidikan keagamaan kepada sang anak. 

‎Di sisi lain, pendidikan non-agama (formal) juga tak boleh dianggap sebelah mata dalam menunjang perkembangan anak, khususnya di era modern saat ini. Di mana kemajuan zaman telah menampilkan kondisi dan situasi yang amat jauh berbeda dari masa lalu. Pendidikan ini berkaitan dengan diri sang anak dalam menjalani kehidupan dunianya ke depan. Pendidikan umum ini biasanya mengajarkan hal-hal yang bersifat teknis keduniaan, seperti matematika, biologi, teknologi, kedokteran dan lainnya. Ulama berpendapat bahwa menuntut ilmu ini juga merupakan bagian dari fardhu kifayah (kewajiban komunal). 


‎وَأَمَّا فَرْضُ الْكِفَايَةِ مِنْ الْعِلْمِ، فَهُوَ كُلُّ عِلْمٍ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فِي قِوَامِ أُمُورِ الدُّنْيَا كَالطِّبِّ وَالْحِسَابِ وَالنَّحْوِ. 

Artinya: Adapun Fardhu Kifayah dalam konteks keilmuan adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk perkara dunia, seperti kedokteran, mateimatika dan semacamnya (Ibn Abidin, Raddul Mukhtar, {Beirut, Dar El-Fikr, 1966 M), Juz I, halaman 42).

‎Penjelasan di atas menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan penting yang seyogyanya diberikan oleh orang tua terhadap anaknya. Baik pendidikan agama ataupun umum, dengan harapan dapat mewujudkan kepribadian dan perkembangan anak yang baik dalam menjalani kehidupannya. 


Hak mendapatkan nafkah 


‎Selain pendidikan yang layak, anak memiliki hak untuk dinafkahi oleh orang tuanya. Abainya peran orang tua dalam memberikan nafkah kepada anak biasanya disebabkan aspek ekonomi. Bahkan tak jarang orang tua malah menyuruh anaknya untuk bekerja demi mencari memenuhi kebutuhannya sendiri.


‎Dalam Islam, memperkerjakan anak memang sesuatu yang diperbolehkan, dengan catatan tidak meninggalkan hak mereka dalam pendidikan dan aman dari kecelakaan. Tiga pemimpin madzhab sepakat membolehkan seorang anak yang berumur 7-8 tahun untuk bekerja (mumayyiz) sepanjang mendapatkan izin dari walinya. Namun tidak demikian dengan Imam Syafi'i, Ia melarang anak bekerja sebelum sampai pada umur 15 tahun.  

‎Meski diperbolehkan, para ulama senantiasa memberikan catatan tentang kebolehan tersebut, salah satunya terjaminnya pendidikan dan keselamatan dalam ruang kerja bagi anak. Meski demikian, memperkerjakan anak tentu akan menghambat pertumbuhan masa kanak-kanaknya. Sebab segala kebutuhan anak seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua, bukan diri sang anak pribadi. 


‎وأجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم، على أن على المرء نفقة أولاده الأطفال الذين لا مال لهم؛ ولأن ولد الإنسان بعضه، وهو بعض والده، فكما يجب عليه أن ينفق على نفسه وأهله كذلك على بعضه وأصله.


‎Artinya: Para Ulama sepakat bahwa orang tua (bapak) wajib menafkahi anaknya yang tidak memiliki harta, karena anak berasal dari orang tuanya. Sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, demikian pula ia wajib menafkahi anaknya. (Ibn Qudamah, Al-Mughni, {Maktabah Cairo, Mesir: 1968 M}, Juz VIII, halaman 212).

‎Memberi nafkah kepada anak merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh orang tua. Adapun dalam konteks Indonesia, seseorang anak diperbolehkan bekerja tatkala mencapai 18 Tahun. Pembatasan ini diperuntukkan agar anak-anak dapat fokus dengan perkembangan diri dan pendidikannya.


Hak kasih sayang dan larangan kekerasan


‎Kehadiran keluarga diandaikan dapat menjadi tempat ternyaman bagi tumbuh kembang anak. Dapat menjadi ruang yang senantiasa memberikan rasa aman terhadap buah hati. Lingkungan keluarga yang aman dan nyaman akan memberikan dampak terhadap psikologis terhadap anak dalam memahami perkembangannya. 

‎Di sisi lain, Keluarga yang tumbuh dengan lingkungan negatif, tentunya akan berdampak negatif pula pada pola perkembangan anak. Seperti keluarga yang cenderung menjadikan kekerasan sebagai solusi, menolak mengikuti perkembangan zaman, kata-kata kasar yang menghiasi rumah, dan berbagai macam tindak negatif lainnya, akan membentuk anak dalam lingkaran yang tak sehat. 


‎Islam mengajarkan untuk senantiasa menumbuhkan cinta dan kasih sayang terhadap anak. Nabi mendeklarasikan keberpihakannya terhadap anak kecil, bahwa orang yang tidak dapat memberikan kasih sayang terhadap anak, maka ia bukanlah bagian dari ajaran nabi. Selain itu, menurut Madzhab syafi’i orang tua tidak boleh memukul anak yang sudah baligh. 


‎نَعَمْ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ تَأْدِيبُ وَلَدِهِ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ وَالسَّفِيهِ لِلتَّعَلُّمِ وَسُوءِ الْأَدَبِ، وَقَوْلُ جَمْعٍ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُمَا ضَرْبُ الْبَالِغِ وَلَوْ سَفِيهًا يُحْمَلُ عَلَى السَّفِيهِ الْمُهْمَلِ الَّذِي يَنْفُذُ تَصَرُّفُهُ 

‎Artinya: “Ayah dan Kakek boleh memberikan pelajaran kepada anaknya yang masih kecil, gila atau yang bodoh dalam pelajaran dan berperilaku tidak sopan. Pendapat mayoritas (madzhab syafii) Ayah dan kakek tidak boleh memukul anak yang sudah baligh, sekalipun ia bodoh, hal itu disamakan seperti orang yang lalai dalam melakukan perbuatan. Ibn Hajar al-Asqalani, Tuhfatul Muhtaj, {Mesir, Al-Maktabah l-Tijariyah: 1983 M}, Juz IX, halaman 179).

‎Adapun mengenai hadis nabi yang memerintahkan memukul anak umur 10 tahun tatkala meninggalkan shalat bukanlah legitimasi orang tua untuk melakukan kekerasan. Itu diistilahkan dengan pukulan kasih sayang, pukulan itu tidak boleh memberikan bekas atau luka terhadap anak, dan hendaknya tidak lebih dari 3 pukulan. Dan pukulan itu diniatkan untuk mendidik anak supaya tidak meninggalkan kewajibannya, bukan untuk melampiaskan kemarahan orang tua terhadap anak. 
 

‎Demikian beberapa hak orang tua yang wajib ditunaikan kepada sang anak. Lalainya orang tua dalam memenuhi hak anak, menjadikan mereka sebagai orang tua yang durhaka, sebagaimana anak durhaka yang juga tak dapat memenuhi kewajibannya kepada orang tua. Hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak akan menjadikan tumbuh kembang anak berjalan dengan baik dan maksimal. 

‎Kondisi zaman yang telah jauh berbeda, mengandaikan para orang tua untuk ikut serta memperbarui gaya model pendidikan terhadap anak. Kekerasan bukan lagi menjadi bagian dari solusi pendidikan, banyak cara yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter sang anak. Berikanlah kasih sayang dan cinta terhadap mereka. Mari menjadi pemutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan anak.