Setiap orang Islam atau Muslim mendapatkan tanggung jawab untuk melaksanakan rukun Islam yang ketiga, yaitu puasa Ramadhan. Seseorang Muslim tidak diperkenankan meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa alasan tertentu.
Meski demikian, terdapat beberapa kelompok yang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa, seraya menggantikannya dengan Qadha atau membayar fidyah. Di antaranya orang yang sakit, orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa dan termasuk ibu yang menyusui.
Namun selain itu, terdapat kasus lain yang terjadi di bulan Ramadhan. Seperti orang yang tidak berpuasa karena alasan bekerja. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Jakarta merupakan pusat kota yang masyarakatnya disibukkan dengan segala bentuk pekerjaan.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Lantas bagaimana fikih melihat fenomena tersebut. Apakah seseorang dibolehkan tidak berpuasa dan mengqadhanya di lain waktu karena alasan bekerja?
Baca Juga
8 Hal yang Membatalkan Puasa
Salah satu syarat untuk melakukan puasa ialah seseorang memiliki kemampuan dalam menahan diri untuk tidak makan dan minum sesuai waktu yg disyariatkan. Dengan demikian, orang sakit, lanjut usia, tidak diwajibkan berpuasa. Namun harus menggantinya di waktu lain atau membayar fidyah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sebab jika seseorang sedang sakit parah atau lanjut usia sementara kondisi tubuhnya tidak memungkinkan menahan lapar dan haus, maka berpuasa akan berdampak buruk pada kondisi tubuhnya.
Sementara bagi pekerja berat seperti petani, kuli bangunan atau semacamnya, tetap diwajibkan berpuasa dengan keringanan tertentu. Jika pada siang hari pekerja tersebut tidak kuat menjalankan pekerjaannya karena kehabisan tenaga, sementara ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya yang menjadi satu-satunya ladang nafkahnya, maka ia diperbolehkan membatalkan puasanya ketika itu.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Imam Bajuri menjelaskan dalam kitabnya Hasiyah Bajuri, bahwa pekerja tetap harus berniat berpuasa, sekalipun pada siang hari ia berbuka seandainya tidak kuat.
وللمريض إن كان مرضه مُطبِقًا تركُ النيةِ من الليل، وإن لم يكن مُطبِقًا كما لو كان يُحَمُّ وقتًا دون وقت وكان وقتَ الشروع في الصوم محمومًا فله تركُ النيةِ من الليل، وإلا فعليه النيةُ ليلًا أي لانتفاء العذر وقت الشروع الذي هو وقت النية، ومثله الحَصَّادون والزَّرَّاعون والدَّرَّاسون ونحوهم، فتجب عليهم النية ليلًا، ثم إن احتاجوا للفطر أفطروا، وإلا فلا، ولا يجوز لهم ترك النية مِن أصلها كما يفعله بعضُ الجهلة، فإن عادتِ الحمى واحتاج للفطر أفطر
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Artinya: Bagi yang sakit parah, diperbolehkan meninggalkan niat di malam hari. Namun jika sakitnya belum parah, seperti demam pada waktu tertentu saja, dan kebetulan demamnya tiba tatkala memasuki waktu awal puasa, maka baginya diperbolehkan tidak berniat puasa di malam hari. Jika sakitnya hilang tatkala awal waktu puasa (fajar) maka ia harus berniat puasa di malam hari. Sebab telah hilang udzur pada waktu awal puasa tersebut.
Demikian pula bagi para pemanen, petani, perontok gandum, dan lainnya, maka wajib bagi mereka untuk berniat pada malam hari, namun jika mereka tidak kuat karena kelaparan atau kehausan, maka diperbolehkan baginya untuk membatalkan puasa. Jika masih kuat dirinya untuk berpuasa, maka tidak boleh membatalkannya. Dan tidak boleh bagi para pekerja tersebut meninggalkan niat berpuasa di malam hari, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. (Imam Bajuri, Hasiyah Al-Bajuri, {Daarul Minhaj, Jeddah: 2016}, juz II, halaman 455).
Penjelasan di atas memberikan keringanan bagi yang melakukan pekerjaan berat. Jika ia tidak dapat meninggalkan pekerjaan tersebut atau mengerjakannya di malam hari, maka ia boleh membatalkan puasanya jika tidak mampu.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Meski demikian, perlu ditegaskan, bahwa hukum asal puasa tetaplah wajib bagi para pekerja. Sehingga ia tetap harus berniat puasa pada malam harinya.
Hal itu juga disampaikan oleh Abu Bakar Al-Ajiry yang dikutip oleh Syah Wahbah Zuhaili.
صاحب العمل الشاق: قال أبو بكر الآجري: من صنعته شاقة، فإن خاف بالصوم تلفاً، أفطر وقضى إن ضره ترك الصنعة، فإن لم يضره تركها، أثم بالفطر، وإن لم ينتف التضرر بتركها، فلا إثم عليه بالفطر للعذر. وقرر جمهور الفقهاء أنه يجب على صاحب العمل الشاق كالحصاد والخباز والحداد وعمال المناجم أن يتسحر وينوي الصوم، فإن حصل له عطش شديد أو جوع شديد يخاف منه الضرر، جاز له الفطر، وعليه القضاء، فإن تحقق الضرر وجب الفطر
Artinya: Abu Bakar al-Ajiry berpendapat: Bagi pekerja berat, sekiranya berpuasa dapat berdampak buruk pada dirinya, maka ia boleh membatalkannya dan mengqadhanya di waktu lain. Hal ini diperbolehkan jika pekerjaan tersebut tidak dapat ditinggalkan. Namun jika pekerjaan tersebut dapat ditinggalkan, maka ia berdosa jika membatalkan puasanya. Dan apabila dampak buruknya masih terasa setelah meninggalkan pekerjaannya, maka ia boleh membatalkan puasanya karena alasan udzur.
Mayoritas Ulama Fiqih menetapkan bahwa para pekerja berat seperti petani, tukang roti, tukang besi, pekerja tambang dan pekerja berat lainnya, hendaknya sahur dan berniat puasa. Seandainya nanti ia sangat haus dan lapar karena bekerja yang dapat berdampak buruk baginya, maka ia diperbolehkan berbuka (membatalkan) hendaknya ia mengganti puasa tersebut di waktu lain. Bahkan jika dampak buruk ini benar-benar terasa, maka wajib membatalkannya. (Syaikh Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, {Dar El Fikr, Damaskus}, juz III, halaman 1702).
Kiranya dapat kita simpulkan, bahwa tidak semua pekerjaan mendapatkan keringanan membatalkan puasa. Hanya pekerjaan berat lah yang membutuhkan tenaga dalam mengerjakannya.
Bahkan pekerja berat tetap diwajibkan berpuasa dan melakukan sahur serta niat di malam hari. Dengan catatan, puasa tersebut tidak memberikan dampak buruk bagi dirinya. Adapun jika mereka mengalami kelelahan, kelaparan, kehausan dan kesulitan yang parah, yang dapat memberikan dampak buruk bagi kondisi jiwanya, maka ia diperbolehkan untuk berbuka -membatalkan puasanya- dan menggantikan puasanya di lain waktu.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND