• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Rabu, 24 April 2024

Literatur

Kisah Perjuangan KH Noer Muhammad Iskandar Merintis Pesantren di Ibu Kota

Kisah Perjuangan KH Noer Muhammad Iskandar Merintis Pesantren di Ibu Kota
KH Noer Muhammad Iskandar, Pendiri 12 Pesantren Asshiddiqiyyah di Indonesia. (Foto: dok Asshiddiqiyyah).
KH Noer Muhammad Iskandar, Pendiri 12 Pesantren Asshiddiqiyyah di Indonesia. (Foto: dok Asshiddiqiyyah).

Merintis sesuatu dari nol itu sangat sulit. Dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan dedikasi tinggi untuk bisa konsisten dalam usaha yang telah dimulai. Harus siap diterjang segala cobaan dan rintangan yang menjadi dinding penghalang menuju cita-cita, tanpa mengharap back up-an dari orang lain. 


Banyak orang yang memilih mengubah haluan, tidak mau melanjutkan gagasan awalnya karena tersandung berbagai macam problem. Ada pula yang mau enaknya saja, tidak mau berjuang. Hanya orang berjiwa besar dan berkeyakinan tinggi yang bisa bertahan dan konsisten pada cita-cita luhurnya. Pepatah mengatakan ‘Siapa saja yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil’.


Pepatah itu tergambar dalam kisah perjuangan penuh tantangan dalam merintis pesantren di tengah hiruk-pikuk Ibu Kota DKI Jakarta yang dialami KH Noer Muhammad Iskandar, seorang ulama kharismatik kelahiran Banyuwangi pada 5 Juli 1955. Ia merupakan putra kesembilan dari pasangan KH Askandar dan Nyai Hj Siti Robihatun. 


Kiai Nekat dan Tawakkal

Setelah menimba ilmu di pondok pesantren asuhan ayahnya dan menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtida’iyah Manba'ul Ulum, tahun 1967, Kiai Noer melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, di bawah asuhan KH Mahrus Aly. Selama enam tahun, Kiai Noer menuntut ilmu di sana. 


Pada 1974, Kiai Noer dinyatakan lulus dan direkomendasikan oleh pimpinan pesantren untuk melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Sebab, pada waktu itu seluruh mahasiswa di perguruan tinggi itu harus merupakan utusan daerah atau ada rekomendasi dari kiai pemimpin pesantren.


Walhasil, Kiai Noer memutuskan kuliah di sana bukan hanya karena manut kepada gurunya, tetapi juga ingin memperdalam Al-Qur’an secara akademis dan menambah wawasan tentang dunia perkuliahan.


Singkat cerita, pada 1982 setelah beberapa waktu diwisuda dari PTIQ, Kiai Noer muda mengakhiri masa lajangnya dengan meminang putri Kiai Mashudi asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Ning Siti Nur Dzazilah namanya, pernah memimpin Pesantren Putri Cukir, Tebuireng, Jombang. 


Dalam khutbah pernikahan mereka, KH Mahrus Aly memberikan nasihat kepada Kiai Noer agar tidak kembali ke Banyuwangi atau Tumpang, tetapi diminta untuk melanjutkan dakwah di Jakarta. Berselang seminggu pasca akad nikah, Kiai Noer didampingi istri kembali ke Jakarta dengan modal nekat alias tanpa persiapan yang matang.


Hari-hari pertama di Jakarta, keduanya menumpang dari rumah ke rumah, selama seminggu berkeliling mencari tempat untuk ditumpangi. Pada akhirnya Kiai Noer mendapatkan tempat tinggal tetap, sekalipun hanya untuk istrinya.


Setelah itu, Kiai Noer tidak berdiam diri, tetapi selalu mencari apa saja yang bisa dikerjakan. Lembaga pendidikan mulai dirintis. Yayasan Al-Mukhlisin di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara yang pernah didirikan bersama temannya ketika masih kuliah di PTIQ mulai dimantapkan lagi.


Kegiatan keagamaan digiatkan, kegiatan remaja masjid mulai dikembangkan bahkan segala aktivitas yang dijalankan Kiai Noer mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sehingga undangan ceramah meningkat.


Tiga bulan kemudian, Kiai Noer mulai memberanikan diri untuk mengontrak rumah di wilayah Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat karena merasa tidak enak kalau berlama-lama membiarkan istrinya menumpang. Tak lupa, Kiai Noer berterima kasih kepada orang yang memberi istrinya tumpangan, yang tidak lain merupakan keponakannya sendiri.


Setelah mendapatkan tempat tinggal, Kiai Noer tetap menjalankan aktivitasnya sebagai pendakwah. Kepercayaan masyarakat kepada Kiai Noer terus bertambah. Kegiatan semakin padat, permintaan masyarakat semakin meluas sampai ke luar Jakarta, termasuk Lampung. Kiai Noer juga dipercaya untuk mengisi ceramah rutin mingguan di salah satu stasiun radio.


Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Kiai Noer pernah diberikan hadiah berangkat haji oleh sahabatnya sebagai bentuk terima kasih karena pernah didoakan. Namun sayang, pada waktu itu pendaftaran ditutup. 


Tidak mau menunda keberangkatan, Kiai Noer menemui kawan lamanya, H Rosyadi Ambari. Ternyata, kawannya ini telah lama mencari keberadaan Kiai Noer untuk diminta mengelola sebidang tanah wakaf di Kedoya Utara, yang akan dibangun lembaga pendidikan di tempat itu.


Cikal Bakal Pesantren Asshiddiqiyah

Mulanya tanah tersebut sudah didirikan pesantren. Fondasinya sudah ada, bahkan plang pesantren pun telah berdiri kokoh. Pesantren Ukhuwah Islamiyah namanya kala itu. Kiai Noer tidak langsung menjawab tawaran itu, tetapi mempertimbangkannya terlebih dulu.


Setelah pulang dari tanah suci dan berdiskusi dengan istri serta beberapa kiai, hati Kiai Noer semakin condong menerima tawaran itu. Pada 1984, Kiai Noer menerima dan menemui langsung H Rosyadi Ambari, tetapi terlebih dulu diajak untuk menemui H Djaani. Lahan wakaf seluas dua hektar yang semula dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan ke Kiai Noer.


Langkah pertama yang diambil Kiai Noer adalah membangun mushala kecil dengan modal dari H Abdul Ghani, putra ketiga H Djaani. Bangunan yang terbilang jauh dari kata sempurna itu temboknya terbuat dari triplek, berdiri di tanah rawa-rawa, bahkan di tempat pembuangan sampah bagi penghuni perumahan mewah di sekitar tanah itu.


"Saya punya keyakinan yang kuat, bahwa kelak Asshiddiqiyah akan memiliki jangkauan yang cukup luas. Saya yakini itu dengan sepenuh hati, karena memang apa yang saya pikirkan selama ini adalah membangun kontribusi kepada umat melalui Pendidikan," ungkap Kiai Noer setelah melihat keprihatinan tempat itu, dikutip dari buku Pergulatan Membangun Pesantren karya Amin Idris.


Padahal saat sebelum keberangkatan haji, Kiai Noer sempat berpikir untuk menyerah dan kembali ke Banyuwangi atau ke Cukir karena masalah ekonomi. Namun, niat itu diurungkan setelah melihat bangunan yang akan menjadi Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.


Kiai Noer sadar bahwa di lahan itu perlu didirikan sebuah yayasan. Oleh karena itu, bersama H Abdul Ghani dan H Rosyadi Ambari, Kiai Noer langsung menghadap notaris. Pada 5 Oktober 1985, Kiai Noer bersama H Abdul Ghani dan H Rosyadi Ambari ditetapkan sebagai Badan Pendiri Yayasan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.


Trilogi Pondok Pesantren Asshiddiqiyah saat itu adalah; pertama, membangun masyarakat yang bertakwa dan cinta kepada agama, bangsa dan negaranya; kedua, meningkatkan pendidikan dan perkembangan Islam; ketiga, meningkatkan misi sosial, mengurus anak yatim dan fakir miskin. Inti dari tiga poin tersebut adalah perbaikan pendidikan dan ekonomi. Karena dirasa hal itu yang menjadi penyebab keterbelakangan umat Islam saat itu.


Mulai Menerima Santri


Awal dibuka pendaftaran peserta didik baru Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, sambutan masyarakat belum ada sama sekali. Bahkan pada tahun pertama, Kiai Noer hanya menerima satu santri. Itu pun calon santri Pondok Pesantren Manba'ul Ulum asuhan sang ayah di Banyuwangi, Jawa Timur. Kebetulan nama santri itu adalah Iskandar. Setelah singgah di kediaman beliau, santri tersebut memutuskan untuk belajar di Asshiddiqiyah.


Berselang tujuh bulan Iskandar menuntut ilmu di sana, datanglah seorang santri perempuan berasal dari Kuningan bernama Rohanah. Merekalah santri generasi pertama Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.


Asshiddiqiyah membuka sistem pendidikannya dengan metode Ribathiyah, yaitu sistem belajar menggunakan halaqah tradisional. Para santri belajar dan mengaji kepada guru atau kiai sambil memegang bidang pekerjaan di pondok. 


Selain itu, Kiai Noer mengadakan pengajian mingguan bagi anak-anak remaja dan pemuda pada waktu itu. Dari bekal mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut, Kiai Noer mencoba mendirikan madrasah formal pada 1986.


Asshiddiqiyah Mulai Berkembang
Awal berdirinya Pesantren Asshiddiqiyah, perhatian masyarakat terbilang sangat minim. Jangankan bergabung, untuk kenal saja tampaknya masih jauh dari harapan. Pada 1986, Madrasah Tsanawiyah dibuka. Murid pertamanya tentu santri Ribathiyah dan 30 santri putra-putri yang siap dikader.


Karena di kota besar, Kiai Noer tidak sulit untuk mendapatkan guru-guru muda, punya semangat juang dan cita-cita tinggi. Beliau melibatkan sarjanawan-sarjanawan, tidak sedikit pula alumnus-alumnus pesantren salaf.


Setahun berjalan, Madrasah Tsanawiyah mendapatkan kepercayaan yang meningkat dari masyarakat. Terbukti, pada tahun kedua Kiai Noer membuka madrasah aliyah. Kiai Noer percaya bahwa peningkatan tersebut merupakan sebuah amanat yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga.


Selain membangun akses pendidikan bagi para santri, Kiai Noer berusaha membangun akses pusat-pusat kegiatan masyarakat. Sebab, dukungan masyarakat pada waktu itu sangat dibutuhkan demi keberlangsungan lembaga yang beliau rintis.


Tahun-tahun berikutnya, kepercayaan masyarakat terhadap Kiai Noer semakin meningkat. Ketika santri-santri di Kedoya tidak bisa ditampung lagi, Kiai Noer menerima tanah wakaf dari H Jauhari dan H Musa di Batu Ceper, Tangerang, Banten. 


Lahan seluas satu hektar diserahkan untuk dikembangkan Asshiddiqiyah. Selain itu, Kiai Noer diberikan kepercayaan untuk mengelola tanah  H Sayuthi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat menyusul di Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan di Cijeruk Barat, Bogor, Jawa Barat.


Dari tahun ke tahun, perkembangan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah semakin pesat. Kini, pesantren telah berkembang menjadi dua belas, antara lain Asshiddiqiyah Pusat Jakarta Barat; Asshiddiqiyah 2 Batuceper Tangerang; Asshiddiqiyah 3, 4, 5, Karawang; Asshiddiqiyah 6 Serpong Tangerang Selatan; Asshiddiqiyah 7 Cijeruk Bogor; Asshiddiqiyah 8 Musi Banyuasin; Asshiddiqiyah 9 Gunungsugih Lampung Tengah; Asshiddiqiyah 10 Cianjur; Asshiddiqiyah 11 Way Kanan; dan Asshiddiqiyah Jonggol.


Muhaimin Yasin, Mahasantri Mahad Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.

*) Tulisan ini disarikan dari buku Pergulatan Membangun Pesantren karya Amin Idris (2009).


Editor:

Literatur Terbaru