Nasional

RMI PBNU Komitmen Ciptakan Pesantren Ramah Anak Bebas Bullying dan Kekerasan Seksual 

Senin, 9 Desember 2024 | 09:00 WIB

RMI PBNU Komitmen Ciptakan Pesantren Ramah Anak Bebas Bullying dan Kekerasan Seksual 

Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev ri pada kegiatan Diskusi Buku Strategi Dakwah NU Melalui Pesantren di Jakarta di Jakarta Aula Gedung PWNU DKI Jakarta, Jalan Utan Kayu Raya Nomor 112, Jakarta Timur, Selasa (26/11/2024). (Foto: NU Onloine Jakarta/Wiwit Musaada)

Jakarta NU Online Jakarta
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hodri Ariev mengatakan pihaknya berkomitmen untuk menciptakan pesantren menjadi tempat yang aman dan ramah anak, bebas dari segala bentuk kekerasan, baik verbal, fisik, maupun seksual.


Hal tersebut disampaikannya saat memberikan materi pada kegiatan Diskusi Buku Strategi Dakwah NU Melalui Pesantren di Jakarta di Jakarta Aula Gedung PWNU DKI Jakarta, Jalan Utan Kayu Raya Nomor 112, Jakarta Timur, Selasa (26/11/2024).

 

Ia menjelaskan bahwa praktik kekerasan, terutama dalam bentuk bullying, sudah terjadi sejak lama di pesantren, bahkan lintas generasi. Namun, belakangan ini dampaknya semakin menjadi jadi dengan munculnya kasus-kasus penyimpangan perilaku dalam ranah pesantren.


"Kita harus mengakui bahwa kekerasan memang terjadi, baik di pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama maupun tidak. Meski jumlahnya kecil, ini tetap masalah serius yang harus diatasi bersama," ujarnya.

 

Berdasarkan data yang dimiliki RMI PBNU, terdapat sekitar 42.000 pesantren di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 27.000-28.000 pesantren berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Meskipun kasus kekerasan di pesantren tidak mencapai 1% dari total yang ada, hal ini dinilai tetap memprihatinkan.

 

"Sekecil apa pun angka itu, kita tidak boleh menganggapnya lumrah. Sebaliknya, kita harus serius memastikan lingkungan pesantren benar-benar aman bagi para santri," tegasnya.

 

Menurutnya, beberapa faktor turut mempengaruhi terjadinya kekerasan di pesantren, salah satunya adalah pengaruh media sosial.


 "Kadang, hal-hal yang dianggap lumrah di masa lalu terus dilakukan tanpa melihat dampaknya di era sekarang. Ini menjadi tantangan yang harus kita atasi," tambahnya.

 

Untuk menanggulangi kekerasan di pesantren, RMI PBNU telah menyiapkan sejumlah langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak, termasuk para Kiai sepuh dan penegak hukum.

 

Salah satu upaya utama adalah mengadakan halaqah terbatas yang melibatkan 40-50 Kiai sepuh dari berbagai daerah di Indonesia. Halaqah tersebut bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi konkret terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di pesantren.

 

"Halaqah ini akan fokus membahas langkah-langkah internal untuk menciptakan pesantren yang ramah anak. Pendekatan ini bersifat internal dan tidak dipublikasikan agar lebih efektif," jelas Kiai Hodri.

 

Kedua RMI PBNU mendorong aparat penegak hukum untuk  menangani kasus kekerasan di pesantren. "Pelaku kekerasan harus bertanggung jawab secara hukum. Kekerasan fisik yang menyebabkan luka atau bahkan kehilangan nyawa tidak boleh ditoleransi," katanya.

 

Ketiga RMI PBNU tengah mempertimbangkan penyediaan konsultan psikologi di pesantren. Pendekatan ini dianggap penting untuk menangani santri bermasalah tanpa harus selalu menggunakan hukuman fisik atau takzir.

 

"Kita harus memahami akar masalah perilaku santri. Dengan kehadiran konsultan psikologi, penyelesaian yang lebih manusiawi dan efektif dapat diterapkan," ujarnya.

 

Kiai Hodri menekankan bahwa menciptakan pesantren ramah anak adalah tugas bersama, tidak hanya RMI PBNU, tetapi juga seluruh pihak terkait, termasuk pengasuh pesantren, pemerintah, dan masyarakat.

 

"Kami ingin pesantren menjadi tempat pendidikan yang benar-benar mendidik, tanpa ada unsur kekerasan. Ini bukan hanya soal melindungi santri, tetapi juga memastikan masa depan generasi penerus bangsa," pungkasnya.