Syariah

Hukum Meminum Air Bekas Guru: Sebuah Pengamatan pada Film 'Bidaah'

Kamis, 10 April 2025 | 16:00 WIB

Hukum Meminum Air Bekas Guru: Sebuah Pengamatan pada Film 'Bidaah'

Tokoh Walid dalam film Malaysia, Bidaah. (Foto: Viu.com)

‎Film Bidaah mulai ramai dibicarakan orang-orang dalam media sosial. Film asal Malaysia tersebut menceritakan bagaimana seseorang melakukan tindakan manipulatif terhadap manusia lainnya dengan menggunakan dalih agama. 


‎Film yang berangkat dari naskah Erma Fatima itu mengangkat tokoh kharismatik yang dikenal dengan Walid. Walid digambarkan sebagai tokoh agama yang pandai berbicara, dan mengikat para jemaahnya menggunakan retorika agama dengan ajaran menyimpang, demi kepentingan pribadinya. 



‎Meskipun film ini banyak mendapatkan apresiasi dari para penonton, namun tak menutup kemungkinan adanya kritikan dan masukan mengenai beberapa tayangan atau ritual yang ditampilkan. 



‎Salah satunya dalam episode 2 tepat pada menit 27:39. Di sana seorang murid hendak minum air sisa dari gelas sang Walid. Namun di antara mereka ada yang menolak, yaitu Baiduri. Baiduri mengatakan "Aku tidak butuh minum sisa orang untuk mendapatkan berkah". 



‎Scene di atas menggambarkan penolakan untuk bertabarruk (mencari keberkahan) dengan cara meminum sisa air bekas sang guru. Dengan alur kisah yang menceritakan ajaran menyimpang, tentunya ritual minum air sisa guru bisa dianggap dari bagian penyimpangan tersebut. Maka bagaimana sebenarnya hukum meminum sisa air pada gelas guru atau kiai?



‎Minum air bekas guru atau kiai bukanlah sesuatu yang asing bagi para santri atau murid, khususnya di kalangan pesantren. Biasanya para santri berebutan untuk meminum air dari gelas bekas gurunya. Dengan harapan mendapatkan keberkahan. 



‎Sahabat Nabi pernah melakukan hal serupa. Peristiwa itu direkam dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 



‎عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ قَالَ عَاصِمٌ رَأَيْتُ الْقَدَحَ وَشَرِبْتُ فِيهِ


 

‎Artinya: Anas bin Malik radhiallahu'anhu berkata, "Gelas milik Nabi pecah lalu beliau mengumpulkan dan mengikatnya dengan rantai terbuat dari perak." 'Ashim berkata, "Aku melihat gelas tersebut lalu kupergunakan untuk minum". (H.R Bukhori 2878).



‎Selain itu, hal yang sama juga terjadi di Saqifah Bani Saidah. Ketika Nabi meminta air untuk minum, lantas Sahal membawa mangkuk sebagai wadahnya, sehingga Rasul dan para sahabat juga meminum dari wadah tersebut. Beberapa waktu kemudian Umar bin Abdul Aziz meminta mangkuk bekas wadah minum Nabi, Sahal pun memberikannya. 


‎Imam Nawawi menjelaskan bahwa peristiwa tersebut merupakan usaha para sahabat untuk bertabarruk (mencari keberkahan) dari sisa minum Nabi. 



‎يَعْنِي الْقَدَحَ الَّذِي شَرِبَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا فِيهِ التَّبَرُّكُ بِآثَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وما مسه أو لبسه أوكان مِنْهُ فِيهِ سَبَبٌ وَهَذَا نَحْوُ مَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ

Artinya: Wadah yang diminum Rasulullah di dalamnya terdapat keberkahan dari sisa nabi Muhammad shalallahu Alaihi wa Sallam, dan apa yang disentuhnya, digunakannya, dan apapun yang berhubungan dengan nabi, ini merupakan sesuatu yang disepakati. (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, {Dar Ihya Turast Al-Arabi, Beirut: 1397 H}, Juz XIII, halaman 178. 


‎Namun, apakah keberkahan yang dilakukan para sahabat kepada Nabi juga berlaku bagi para santri kepada kiainya? 


‎Hampir mayoritas ulama membolehkan melakukan tabarruk kepada orang-orang yang shaleh, termasuk bertabarruk kepada sisa atau jejak peninggalan mereka. Dan di antara ngalap berkah kepada orang shaleh adalah meminum air sisa mereka. 



‎Pernah Suatu ketika Rasulullah bersama Abu Bakar menjenguk Jabir bin Abdillah tatkala sakit. Kemudian Rasulullah berwudhu dan memercikkan air wudhunya kepada Jabir hingga ia tersadar. (H.R. Muslim)



‎Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Muslim menjelaskan peristiwa di atas sebagai isyarat kebolehan mencari keberkahan (tabarruk) kepada orang-orang shaleh. 

 


‎وَفِيهِ التَّبَرُّكُ بِآثَارِ الصَّالِحِينَ وَفَضْلُ طَعَامِهِمْ وَشَرَابِهِمْ وَنَحْوِهِمَا وَفَضْلُ مُؤَاكَلَتِهِمْ وَمُشَارَبَتِهِمْ



Artinya: isyarat kebolehan mencari keberkahan (tabarruk) kepada orang-orang shaleh, dan keutamaan mengambil makanan, minuman atau lainnya, serta makan minum bersama mereka. (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, {Dar Ihya Turast Al-Arabi, Beirut: 1397 H}, Juz II, halaman 55. 

 


‎Penjelasan di atas juga diperkuat oleh murid Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh fi Umdah.

 

‎إتيان أهل القدوة وأهل الفضل إلى أماكنهم، في السفر والحضر؛ للتبرك بهم، والاقتباس منهم، وحكاية حالهم، وذكر منازلهم... استعمال فضل طهورهم، وطعامهم، وشرابهم، ولباسهم، والتبرك بآثارهم


Artinya: Mengunjungi orang berakhlak dan shaleh, baik dalam perjalanan maupun di rumahnya, untuk mencari keberkahan kepada mereka, mengikuti mereka, menceritakan kehidupan mereka dan mendatangi rumah mereka. Juga keutamaan menggunakan air wudhu, makan, minum, pakaian dan bertabarruk dengan sisa-sisa mereka. (Imam Ala'uddin Ibn Atthar, Al-Uddah fi Syarh Al-Umdah fi Ahadis Al-Ahkam, {Dar Al-Basya'ir, Beirut: 2006 M} Juz I, halaman 380.).


‎Secara teori meminum air sisa dari seorang kiai adalah hal yang diperbolehkan. Para santri yang melakukan hal tersebut, berharap mendapatkan keberkahan dari guru-gurunya yang shaleh.


‎Namun, mari melihat realitas yang terjadi. Bahwa meminum air sisa dari gelas kiai merupakan tradisi di kalangan pesantren dan tidak semua pesantren menerapkan tradisi tersebut. Tentunya tradisi ini tidak seragam di seluruh pesantren. Hanya saja beberapa yang menerapkan tradisi ini, biasanya dilakukan oleh para santri secara spontanitas dan sukarela oleh para santri sebagai upaya mencari keberkahan dan ungkapan rasa cinta kepada guru yang telah mengajarkan mereka. 



‎Di satu sisi, hendaknya tidak meninggalkan aspek medis dalam melakukan tabarruk ini. Misal jika seorang kiai atau guru memiliki riwayat penyakit yang memungkinkan terjadinya penularan melalui bekas minumnya, maka memilih cara lain untuk mencari keberkahan adalah pilihan yang bijak bagi santri.  Sebab mempertimbangkan kesehatan juga bagian dari pada perintah agama dan meminum air bekas guru bukanlah bagian dari ajaran pokok agama Islam. 



‎Seorang santri masih bisa bertabarruk dengan cara membersihkan tempat mengajar sang kiai atau mencium tangannya, bahkan akan lebih baik mencari keberkahan ilmunya dengan cara fokus -tidak tertidur- tatkala sang kiai mengajarkan ajaran agama dan cara tabarruk lainnya. 



‎Tentunya realitas yang terjadi di pesantren, tidak se-menyeramkan dengan apa yang ditampilkan dalam film Bidaah tersebut. Nuansa negatif memang membuat segala yang dilakukan Sang Walid dianggap sebagai penyimpangan. Kita tak menutup mata tentang beberapa oknum berlabelkan tokoh agama yang melakukan penyimpangan kepada para santri dan jemaahnya. Dan kita sepakat bahwa itu merupakan sebuah kesalahan. 



‎Namun bukankah terlalu terburu-buru jika sampai menggeneralisir bahwa seluruh relasi kiai dan santri -tentang ngalap berkah- sebagai bentuk penyimpangan? Sementara banyak tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan berasal dari kalangan santri yang memiliki kepercayaan kuat bahwa keberkahan bisa dicari melalui kiai mereka yang termasuk orang-orang shaleh.


‎Memang hubungan santri kepada kiainya bukanlah bertumpu pada aspek materi semata antara murid dan guru, tapi juga terbangun dalam koridor emosional dan batin yang kuat antara keduanya. 



‎Namun hubungan ini terimplementasi pada perilaku penghormatan dan kecintaan -bukan pengkultusan, kepada sang kiai. Seorang kiai bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik bagi para santri. Sebab relasi kiai dan santri tidak dibatasi dengan jam pelajaran sebagaimana universitas atau sekolah umum, tapi mencakup kehidupan sehari-harinya. 



‎Tak heran jika hubungan kiai dan santri memiliki ikatan batin yang kuat dan ini merupakan chemistry yang khas menggambarkan wajah pendidikan pesantren. 



‎Sebagai penutup, bahwa mencintai orang shaleh dan mencari keberkahan kepada mereka bukan berarti menyucikan dirinya dan mengkultuskannya. Itu dilakukan untuk semata-mata mendekatkan diri kepada Allah. Bahwa Allah lah yang berhak menurunkan keberkahan, namun Allah juga menaruh keberkahan kepada orang-orang pilihan-Nya.


Wallahu a’lam bis shawab