Menjaga Mental dengan Terapi 'Self-Healing' dalam Al-Qur’an
Rabu, 7 Juni 2023 | 07:30 WIB
Manusia merupakan mahluk sosial yang setiap harinya pasti akan melakukan interaksi dengan orang lain. Semakin sering melakukan interaksi dengan orang lain, semakin banyak pula informasi yang akan diterima. Bahkan, kerapkali informasi-informasi tersebut menimbulkan emosi positif maupun negatif. Emosi ini juga dapat mempengaruhi beberapa aspek dalam kehidupan seseorang. Sebab di saat seseorang merasakan emosi positif maupun negatif, maka akan membawa perubahan secara fisik maupun psikologis.
Sehingga penting bagi setiap individu untuk memahami kesehatan mental dan menjaga agar mental tetap sehat. Untuk itu, diperlukan banyak metode agar dapat mengendalikan emosi secara efektif salah satunya adalah dengan self-healing dalam Al-Qur’an.
Self-healing adalah istilah psikologi yang saat ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat modern. Istilah self-healing seringkali digunakan berhubungan dengan kondisi psikologis mental seseorang yakni sebagai proses pemulihan atau penyembuhan (umumnya dari gangguan psikologis, trauma) yang didorong dan diarahkan sendiri oleh pasien.
Berikut beberapa teknik self-healing perspektif Al-Qur’an sebagai terapi untuk mengolah emosi dan menjaga mental yang terdiri dari amalan hati dan lisan (doa dan zikir) dan amalan ibadah yakni shalat dan puasa.
Pertama, shalat dengan khusyuk penuh kesadaran dan hanya semata-mata karena Allah akan menghimpun tiga elemen penting yakni spiritual, mental, dan fisik yang pada praktiknya akan memberikan makna atau esensi antara hubungan seorang hamba dengan sang Pencipta, sehingga dapat melahirkan kedamaian dan ketenangan hati. Allah berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S al-Ankabut [29]: 45).
Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa perintah melaksanakan shalat di atas adalah harus dengan hati yang khusyuk dan hudur. Sesungguhnya shalat (dengan khusyuk) dapat mencegah dari perbuatan yang tercela seperti zina, meminum khamr (yang memabukkan), dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar atau bertentangan dari syari’at dan akal. Beliau menegaskan sudah tidak diragukan lagi bahwa shalat disertai dengan khusyuk dan rasa penyerahan diri kepada Allah, maka akan mencegah dari perbuatan mungkar. (Ibnu Ajibah, 1419 H, Vol. 4: 305).
Selain sebagai pencegah kejelekan, dalam shalat juga memiliki berbagai aspek yang dibutuhkan dan bisa diterapkan untuk self-healing yakni aspek terapeutik (olahraga), aspek meditasi, aspek autosugesti, dan aspek kataris (penyucian jiwa).
Baca Juga
Menelisik Tradisi Nyekar di Jakarta
Kedua, dzikir. Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (Q.S al-Ra’d [13]: 28).
Dalam tafsir “Taysir al-Karim al-Rahman”, Al-Sa’di menafsiri kata zikir dengan dua tafsiran. Pertama, zikir seperti membaca tasbih, tahlil, dan takbir kepada Allah sehingga seorang hamba tidak akan tenteram hatinya kecuali dengan berzikir kepada Allah. Tidak ada sesuatu yang lebih lezat ataupun manis selain cinta kepada Allah, mendekatkan diri serta bermakrifat kepada-Nya. Ukuran kecintaan dan makrifat kepada Allah adalah sesuai dengan zikir yang dilakukan. Kedua, ketenteraman hati didapat ketika mengetahui makna-makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pada bagian ini, ketenteraman tidak akan didapat kecuali dengan keyakinan dan pengetahuan. (Al-Sa’di, 2000: 417).
Dalam konteks self-healing, zikir dapat dijadikan terapi untuk menjaga mental di mana zikir disertai dengan pengakuan atas kebesaran Allah yang Maha Pencipta dan pengakuan atas dirinya yang lemah, sebenarnya telah terjadi proses self-compassion (sikap baik terhadap diri sendiri) dan positive self-talk (pembicaraan positif terhadap diri sendiri).
Ketiga, puasa atau menahan dari segala sesuatu.
Menurut syara’, puasa adalah menahan dari sesuatu yang dikhususkan (yang membatalkan puasa), dilakukan oleh seseorang yang khusus dalam waktu yang ditentukan disertai dengan syarat-syaratnya. (Taqiuddin Abu Bakar, 2004: 284) Perintah berpuasa termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 183, berikut bunyinya:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S al-Baqarah [2]: 183).
Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan bahwa beberapa faedah yang akan didapat ketika melaksanakan puasa adalah dapat mensucikan jiwa, mendapat ridha Allah, dan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah, baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Selain itu, melalui puasa, seseorang dapat mengatur kehendaknya sendiri agar tidak berlebihan, belajar bersabar, dan menahan segala hal yang dapat membatalkan atau menahan diri dari perkara-perkara yang tidak disukai dan meminimalisasi syahwat. (Wahbah Zuhaili, 1418 H, Vol. 2: 131).
Melalui ritual puasa, pikiran individu biasanya akan lebih jernih karena ketika seseorang berpuasa maka zat-zat yang terkadang membawa emosi-emosi tertentu kosong seperti kafein atau gula-gulaan. Dengan begitu, tidak ada zat macam-macam yang masuk ke dalam tubuh, sehingga pikiran pun akan lebih jernih. Oleh karenanya dengan berpuasa seseorang dapat men-treatment dirinya sendiri (self-healing).
Keempat, doa. Dengan berdoa, hati seorang hamba akan merasakan ketenteraman. Sebab di dalam doa memuat unsur curhat kepada yang diyakini yakni Allah. Dalam Surat At-Taubah ayat 103 disebutkan:
“Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (Q.S al-Baqarah [2]: 186).
Seorang yang berdoa dengan hati yang hudur dan tidak melakukan perbuatan yang dapat menghambat dikabulkannya doa seperti mengonsumsi makanan haram, maka sungguh Allah telah berjanji akan mengabulkannya, terutama ketika ia mendatangkan sebab-sebab dikabulkannya doa yakni melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh petunjuk keimanan dan akan melaksanakan amal-amal shaleh serta akan menghilangkan perbuatan tercela yang dapat menghilangkan keimanan dan amal shalehnya. (Al-Sa’di, 2000: 87).
Dengan demikian, self-healing sangat penting untuk meredam emosi negatif dan depresi yang akan berdampak pada tindakan self-injury (melukai diri sendiri). Di antara beberapa konsep self-healing yang efektif untuk menjaga mental ialah konsep self-healing dalam Al-Qur’an yang mengombinasikan pelatihan fisik, psikis dan spiritual. Di antaranya adalah shalat, dzikir, puasa,.dan doa sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Artikel di atas merupakan karya dari Lukman Hakim, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta.
Terpopuler
1
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Pengurus PMII Pembebasan Hasan Hanafi 2024-2025
2
Resmi Dilantik, Ini Susunan Pengurus Rayon PMII Perjuangan Bung Hatta 2024-2025
3
Prabowo Undang Calon Menteri, Ini Daftar Nama yang Sudah Hadir ke Kertanegara
4
Resmi Dilantik, Ini Susunan Pengurus PMII Jakpus 2024-2025
5
KH Zakky Mubarak Tegaskan Nabi Muhammad Tak Membedakan Seseorang dari Latar Belakang
6
Addin Minta Ansor-Banser Jakarta Miliki Kualitas Kader Kelas Dunia
Terkini
Lihat Semua