Dinamika Gerakan Keagamaan di Indonesia dalam Menjaga Spirit Damai di Tengah Keragaman
Sabtu, 26 Juli 2025 | 20:30 WIB

Ilustrasi keberagaman suku dan budaya Indonesia yang bersatu dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. (Foto: freepik)
Indonesia sejak lama dikenal sebagai rumah bagi ragam agama dan keyakinan. Dari Sabang sampai Merauke, kita tumbuh bersama dalam warna-warni perbedaan. Di satu sisi jalan berdiri masjid megah, di seberangnya gereja tua berdampingan dengan vihara, pura, hingga klenteng yang masih dijaga turun-temurun. Itulah Indonesia, mozaik keyakinan yang selama ini menjadi sumber kebanggaan, sekaligus tantangan.
Namun, di balik cerita toleransi di gang sempit, di warung kopi kampung, atau di forum pengajian, sejarah juga mencatat agama pernah menjadi bahan bakar konflik. Kadang karena tafsir sempit, kadang karena fanatisme buta, kadang karena politik yang menungganginya. Gerakan keagamaan yang seharusnya mengajarkan kasih, persaudaraan, dan solidaritas, bisa berubah arah ketika diseret kepentingan tertentu.
Sejak masa kolonial, organisasi keagamaan sudah menjadi pilar penting. Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, hingga beragam majelis taklim dan tarekat, semua lahir bukan hanya untuk menjaga ritual ibadah. Mereka membangun madrasah, pesantren, sekolah, rumah sakit, bahkan menggerakkan bantuan sosial ketika bencana datang. Mereka menjaga moral masyarakat di pelosok kampung sampai kota besar.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Zaman terus bergeser. Era digital membuka babak baru. Gerakan keagamaan tak lagi hanya di mimbar masjid atau forum pengajian. Kini merambah layar ponsel. Semua orang bisa menjadi 'ustaz dadakan' dengan video berdurasi satu menit di TikTok atau reels Instagram. Ceramah singkat, potongan ayat, atau slogan agama bisa viral hanya karena menarik emosi. Dalam hitungan jam, jutaan orang membagikannya tanpa saring.
Inilah tantangan kita sekarang. Gerakan keagamaan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, tetap menjadi motor kebaikan seperti menggerakkan zakat, infak, sedekah, membangun solidaritas warga, menolong korban bencana, sampai menjadi penopang moral di tengah krisis. Tapi di sisi lain, kalau literasi agama dangkal, ruang diskusi buntu, dan emosi menguasai akal sehat, potensi perpecahan selalu terbuka.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sejak Reformasi, kebebasan berorganisasi dan berpendapat dijamin konstitusi. Ormas keagamaan tumbuh subur. Ada yang tetap moderat, menjaga semangat damai. Ada pula yang lebih puritan, mendakwahkan kembalinya ajaran murni sesuai versi mereka. Bahkan sebagian terhubung ke jaringan transnasional dengan agenda politik lintas negara. Sah saja, asal tetap di jalur damai. Yang berbahaya adalah ketika fanatisme bertemu syahwat politik, agama dijadikan komoditas menjelang pemilu, ayat dijadikan spanduk kampanye. Lawan politik dilabeli musuh agama, padahal agama mestinya menenteramkan, bukan menakut-nakuti.
Di sinilah peran tokoh agama diuji. Mereka punya otoritas moral, tapi tak cukup hanya pidato di atas mimbar. Harus turun tangan meredam ketegangan di akar rumput. Harus berani bicara moderasi. Harus siap berdiri di barisan depan melawan ujaran kebencian. Tapi, tugas ini bukan tanggung jawab ulama saja. Negara harus hadir. Bukan sekadar membuat regulasi yang membungkam, melainkan membuka ruang edukasi, diskusi, literasi keagamaan di sekolah, kampus, majelis taklim, sampai ke ruang digital.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Literasi agama di era media sosial ini penting. Generasi muda lebih banyak belajar agama dari potongan video atau kutipan motivasi. Jarang lagi duduk berjam-jam di majelis ilmu mendengar penjelasan panjang lebar. Akhirnya, yang viral seringkali dianggap paling benar, meski konteksnya hilang entah ke mana. Kalau pola ini terus dibiarkan, gerakan keagamaan yang seharusnya menjadi rahmat, bisa berubah menjadi sekat.
Maka, menjaga spirit damai di tengah keragaman bukan slogan kosong. Jawabannya: perbanyak ruang dialog. Ajak diskusi lintas iman, lintas mazhab, lintas ormas. Jangan biarkan debat akidah kering di media sosial justru memecah silaturahmi. Indonesia punya modal besar: Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika—warisan para pendiri bangsa yang menegaskan bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan anugerah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sebagai masyarakat sipil, kita juga punya peran. Jangan gampang terpancing provokasi. Saring sebelum sharing. Kalau ada potongan ceramah provokatif, cek dulu ke guru, kiai, atau ustaz yang punya sanad ilmu. Jangan hanya menelan mentah-mentah demi memuaskan ego. Pengetahuan agama lahir dari majelis yang sabar, bukan sekadar trending topic di media sosial.
Sebagai generasi muda, saya tetap optimis. Saya lihat sendiri, di kampus-kampus, di komunitas lintas iman, di pengajian anak muda, banyak gerakan sunyi yang membangun ruang literasi, ruang diskusi, bahkan kerja sama lintas agama. Mereka yang sering luput dari sorotan justru penopang harmoni paling nyata. Mereka mungkin tak viral, tapi merekalah pagar rapat di tengah riuhnya narasi agama yang kadang menakutkan.
Kita semua harus sadar, sejarah sudah cukup mencatat luka akibat konflik agama. Kita boleh beda ayat, beda cara ibadah, beda jalan pulang ke Tuhan, tapi kita tetap satu tanah air. Mari rawat perbedaan ini sebagai rahmat. Kalau rumah besar bernama Indonesia terbakar oleh api kebencian, kita semua akan kehilangan tempat pulang.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Penulis adalah Mahasiswa dan pemerhati sosial Hafizhul Abdillah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND