Syariah

Hukum Pelecehan Seksual terhadap Anak Kandung atau Inses

Jumat, 23 Mei 2025 | 13:30 WIB

Hukum Pelecehan Seksual terhadap Anak Kandung atau Inses

Ilustrasi pelecehan seksual pada anak kandung. (Foto: Freepik)

‎Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan rasa aman kepada anak berupa perlindungan. Menjamin tumbuh kembang anak dalam koridor yang aman dan nyaman. Sebab keluarga merupakan sekolah pertama bagi sang anak sebelum mengenal dunia lebih luas. 


‎Adapun kenyataan yang terjadi, tidak semua keluarga hadir sebagai ruang aman bagi anak. Sebagian anak melihat keluarga sebagai lingkaran kekerasan fisik, eksploitasi, serta tempat pelecehan. Hal ini memberikan trauma pada benak anak yang berdampak pada perkembangan dirinya. 


‎Baru-baru ini terdapat kasus yang viral tentang grup Facebook yang berisikan tentang pelecehan terhadap anak kandung (inses). Dari beberapa media yang mengabarkan kasus itu, terlihat salah satu anggota grup memberikan pengalaman buruknya ketika melakukan pelecehan terhadap anaknya sendiri. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD



‎Bahkan dikabarkan bahwa penghuni grup itu berkisar empat puluh ribu, jumlah yang sangat banyak. Grup itu dinamakan 'Fantasi Sedarah'. Akibat viralnya berita tersebut, Kominfo telah memblokir grup yang memuat beberapa konten pelecehan anak tersebut. 


‎Pemaparan di atas memberikan gambaran tentang penyimpangan dan pelecehan terhadap anak kandung. Dalam istilah biologi dikenal dengan inses yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh ikatan keluarga dekat. Di antaranya ayah kepada anak perempuan atau ibu dengan anak laki-lakinya. Tentunya perilaku ini merupakan penyimpangan yang ditentang oleh agama Islam, bahkan agama-agama lainnya. 

‎Artikel ini akan membahas terkait hubungan sedarah dan bagaimana Islam memandang kasus pelecehan terhadap anak kandung. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


‎Data dan Pandangan Psikologi 

‎Dalam Catatan Tahunan Komnas HAM melaporkan bahwa terdapat 97 aduan yang dilaporkan tentang Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) dalam ranah personal, sementara dari lembaga lain sebanyak 518 laporan 2023. Adapun laporan perilaku inses sebanyak 66, menurun dari tahun sebelumnya yang berjumlah 221. Perilaku inses ini dilaporkan meliputi pelecehan seksual disertai kekersan fisik, perkosaan dan eksploitasi seksual. Di antara pelaku inses adalah Ayah kandung, ayah tiri, paman, dan sepupu. Pola yang sering digunakan adalah memanfaatkan kepercayaan korban, baik relasi ayah kepada anak, atau sepupu. (Baca: Catatan Komnas Perempuan, 2022-2023). Kemungkinan masih banyak kasus-kasus serupa yang belum dilaporkan.


‎Pelaku Inses biasanya terjadi karena ada relasi kuasa antara pelaku dan korban, sehingga korban merasa kesulitan untuk melakukan perlawanan. Korban biasanya memiliki sifat submisif, penurut, ditambah minimnya pengetahuan tentang bahaya kriminal yang dalam hal ini adalah inses. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


‎Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rudyatuh Zahra Latief, dkk dengan judul 'Gambaran Distorsi Kognitif pada Pelaku Kekerasan Seksual Inses (2024)'. Ia melakukan penelitian terhadap 3 pelaku Inses yang dilakukan di Lapas Kelas 1 Makassar. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat 5 bentuk distorsi kognitif yang dialami oleh palaku kekerasan seksual inses berdasarkan theory Ied approach. 



‎Pertama, pelaku merasa kekerasan seksual pada anaknya di luar kendalinya, misalnya dikendalikan setan (uncontrollable). Kedua, pelaku meyakini tindakan inses berbahaya, namun pelaku melihat korban (anak) baik saja setelah tindakan pertama (nature of harm). Ketiga, menganggap bahwa anak juga menikmati tindakan pelaku (children a sexual beings). Keempat, balas dendam pada istrinya yang menolak berhubungan seksual dengannya (dangerous world). Kelima, keyakinan bahwa pelaku berhak melakukan itu, adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban (entitlement).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND



‎Selain itu, beberapa pakar menyebutkan bahwa perilaku inses merupakan gabungan dari beberapa faktor atau permasalahan (multifaktor). Misalnya belum siapnya orang tua untuk memilki anak, yang berakhir menjadi Boomerang bagi anak, seringnya menonton konten pornografi menuntutnya untuk menemukan fantasi lain dalam menyalurkan hasrat seksualnya, lajunya perkembangan media sosial dan bergesernya standarisasi norma masyarakat, sesuatu yang awalnya dianggap tabu, saat ini dapat dianggap sebagai hal yang biasa dan menjadi konsumsi publik. 


‎Pandangan Agama Terhadap Inses

‎Islam melarang adanya hubungan pernikahan kekerabatan, yaitu hubungan pernikahan yang terjadi antara kerabat keluarga seperti Kakak, adik, atau cucu dll. Keharaman ini berangkat dari Firman Allah SWT.



‎حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ، إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

‎Artinya:“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (An-Nisa’ ayat 23). 



‎Mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini mengindikasikan keharaman menikahi berdasarkan nasab, persusuan dan ikatan perkawinan. Adapun yang pertama kerabat berdasarkan nasab, yaitu hubungan yang timbul karena kelahiran, seperti Ibu, anak perempuan, saudara perempuan (sekandung, sebapak, atau seibu) saudara perempuan ayah (bibi), bibi dari ibu, anak perempuan saudara lak-laki (ponakan) dan ponakan dari dari saudara perempuan. 


‎Kedua, kerabat berdasarkan sepersusuan (Radha'ah), yaitu hubungan yang timbul karena perempuan menyusui seseorang yang bukan anaknya sendiri, seperti ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan, saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan. Ketiga, kekerabatan yang terjalin karena pernikahan (Musyaharah), seperti ibu tiri, ibu mertua, menantu ataupun anak tiri dan saudara perempuan istri. 


‎Diketahui bahwa pernikahan sedarah dapat melahirkan keturunan yang lemah secara jasmani dan rohani.  Kemudian belakangan dijelaskan secara ilmiah bahwa pernikahan kerabat rentan terjangkit penyakit cacat fisik, tingkat kesuburan rendah, hingga potensi kemandulan. 


‎Menurut Prof Quraish Shihab, terdapat pula ulama yang meninjau bahwa hubungan kekerabatan ini dapat menimbulkan perselisihan/perceraian, sebagaimana yang dapat terjadi antara istri dan suami, yang mana hubungan mereka tidak selalu harmonis. Maka bagaimana jadinya jika anak yang seharusnya menyayangi saudaranya justru bertengkar, bagaimana jadinya jika ayah dan ibu yang seharusnya dihormati justru dilecehkan?


‎Sehingga dapat dipahami, bahwa larangan menikahi kerabat bisa jadi untuk memperluas kekerabatan dan mempererat hubungan antar keluarga satu dengan keluarga lain dalam rangka mengukuhkan masyarakat.  (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, {Departemen Agama UIN Malang, Lentera Hati, } Vol II, Halaman 393). 



‎Maka agama telah melarang adanya ikatan pernikahan ataupun hubungan intim dalam koridor kekerabatan. Hak yang seharusnya diberikan orang tua kepada anak adalah kasih sayang, pendidikan, nafkah dan lainnya, termasuk keamanan yang menjamin tumbuh kembang anak. 


‎Larangan Melakukan Pelecehan Seksual Terhadap Anak 



‎Salah satu tanggung jawab orang tua ialah memberikan rasa aman kepada anaknya. Keluarga selayaknya menjadi tempat pulang yang hangat bagi anak selepas selesai dari kegiatannya di luar, bukan malah manjadi tempat yang subur bagi kekerasan dan pelecehan. 


‎Keterbatasan pengetahuan anak tentang bahaya kriminal, seharusnya tidak dijadikan kesempatan bagi orang tua untuk melakukan tindakan yang menyimpang, seperti pelecehan. 


‎Dalam Islam, orang tua boleh mencium pipi anaknya dengan alasan kasih sayang. Namun dilarang mencium pipi anaknya dengan syahwat, bahkan melihat anaknya dengan syahwat merupakan sesuatu yang haram.


‎وَأَمَّا التَّقْبِيلُ بِالشَّهْوَةِ فَحَرَامٌ سَوَاءٌ كَانَ فِي وَلَدِهِ أَوْ فِي غَيْرِهِ بَلْ النَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ حَرَامٌ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ وَالْقَرِيبِ بِالِاتِّفَاقِ 


Artinya: Adapun mencium (pipi) dengan syahwat hukumnya haram. Sekalipun itu dilakukan kepada anak sendiri atau orang lain. Bahkan melihat orang lain atau kerabat dengan pandangan syahwat hukumnya haram, berdasarkan kesepakatan. (Imam An-Nawawi, Majmu Syarh Muhadzhab, {Cairo, Al-Muniroh: 1344-1347 H), Juz IV, halaman 637).



‎Jika mencium pipi seorang anak dengan syahwat saja dilarang, maka tak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan pelecehan terhadap anak kandung. Bahwa pelecehan terhadap anak kandung merupakan sesuatu yang keji. Dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa pelaku tindakan keji akan mengundang kemurkaan Allah. 


‎إِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيء 

Artinya, “Sesungguhnya Allah amatlah murka terhadap seorang yang keji lagi jahat.” (HR al-Tirmidzi)


Kata 'faahisa' dalam hadis tersebut berakar dari kata 'fahasya'. Imam Ibn Faris menjelaskan bahwa kata 'fahasya' merupakan kalimat yang menunjukkan atas perilaku yang buruk sekaligus mengerikan. Dari kata itu lahir kalimat 'al-fuhsya, al-fahsya dan al-faahisyah'. Mereka berkata: segala sesuatu yang melewati batas disebut dengan 'faahis' (keji). ini menunjukkan pada sesuatu yang tidak disukai. (Ahmad bin Faris bin Zakariya Al-Qazwini Ar-Razi, Mawayis Al-Lughah, {Dar El-Fikr, Beirut: 1979 M}, juz IV, halaman 478).



‎Sementara perilaku kekerasan seksual terhadap anak kandung termasuk dari perbuatan yang keji dan tercela. Kita dapat membayangkan, bahwa orang paling terdekat (keluarga) yang diandaikan sebagai tempat yang teraman bagi seorang, justru menjadi ancaman bagi kehormatan dirinya. Perilaku pencabulan anak bukan hanya melanggar aturan agama, tapi juga memberikan mimpi buruk bagi masa depan korban.



‎Bahwa setiap anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan berdampak pada gangguan sosial emosionalnya, dan merasa rendah diri sebab hasil dari perilaku keji tersebut. Selain itu, sang anak akan mengalami trauma, terbayang-bayang, mimpi buruk tatkala menghadapi situasi yang mengingatkan mereka pada masa lalunya. Termasuk yang paling parah, beresiko menjadi pelaku di masa yang akan datang.


‎Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan manusia dan keturunan. Menjaga keturunan (Hifzu Nasl) merupakan salah satu dari pada Maqasid Syariah (tujuan pokok syariah). Segala bentuk perilaku yang dapat mencederai keturunan dalam hal ini adalah anak, maka merupakan sesuatu yang dilarang dalam agama. Dan perilaku pelecehan seksual merupakan perilaku yang merusak fisik dan psikis seorang anak, maka hal itu agama melarang keras perilaku keji tersebut.

 


‎ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.

Artinya: Segala sesuatu yang bertujuan untuk menjaga landasan pokok yang lima (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) maka itu adalah kemaslahatan, dan segala hal yang mengabaikan kelima pokok tersebut adalah kerusakan, sedangkan mencegahnya adalah kemaslatahan. (Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa, {Dar El-Kotob Ilmiah: 1993}, halaman 174).



‎Pelecahan seksual terhadap anak dilarang secara syariat dan termasuk dari pada dosa besar. Karena ia telah mengotori dirinya dari fitrah seorang orang tua yang berkewajiban menjaga kehormatan anaknya. Ia mencemari anaknya dengan syahwat dengan cara yag buas dan keji. Hal ini merupakan kekerasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. 



‎Islam amat menjunjung tinggi kehormatan manusia, menjaga martabat, dan senantiasa menghindari perbuatan yang merusak kehormatan. Bahwa Islam telah menentapkan hukum yang bertujuan menjaga kehormatan, mulai dari hukum menundukan pandangan hingga berujung pada penegakkan hukum bagi pelaku zina dan pelaku fitnah yang merupakan penyerangan fisik terhadap kehormatan.


‎وقد شرع الإِسلام للحفاظ على العرض ورعايته أحكامًا كثيرة تبدأ من غض النظر وتنتهي بإقامة الحد على الزاني الذي يعتدي ماديًا على العرض، وإقامة حد القذف على القاذف الذي يعتدي أدبيًّا على  العرض.

 

(Muhammad Mustofa Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Qatar, Kementerian Kebudayaan Islam: 2006 M), Juz I, halaman 117). 


 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND