Status Emas sebagai Komoditas: Menelaah Ketentuan Riba di Era Modern
Ahad, 25 Mei 2025 | 15:01 WIB
Ulama dan berbagai lembaga fatwa Islam kontemporer telah banyak memberikan pandangan seputar kebolehan melakukan jual beli emas secara digital maupun dalam bentuk cicilan. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa hukum riba emas tidak lagi relevan dalam konteks zaman sekarang.
Argumentasi yang mereka berikan adalah bahwa ‘illat (alasan hukum) dari larangan riba pada emas tidak lagi berlaku karena emas di era modern ini telah berubah statusnya dari alat tukar resmi seperti pada masa Rasulullah Saw menjadi komoditas murni.
Namun, apakah benar bahwa emas di zaman sekarang telah sepenuhnya menjadi komoditas dan tidak lagi memiliki fungsi moneter sebagai alat tukar? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri lebih dalam bagaimana pandangan ekonomi modern dan ekonomi Islam untuk memposisikan status emas hari ini.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Apa itu Uang Menurut Ekonomi Modern?
Dalam teori ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang diterima secara umum oleh masyarakat sebagai alat pembayaran untuk barang, jasa, dan utang. Uang modern memiliki empat fungsi utama:
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
1. Alat Tukar (Medium of Exchange): Uang memungkinkan transaksi tanpa barter.
2. Satuan Hitung (Unit of Account): Uang menjadi dasar pengukuran nilai barang.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
3. Penyimpan Nilai (Store of Value): Uang sebagai penyimpan nilai dapat disimpan untuk digunakan di masa depan.
4. Standar Pembayaran Tertunda (Standard of Deferred Payment): Uang digunakan dalam pelunasan utang atau cicilan. (Rifki Ismail, “Money and Monetary Policy From The Islamic Perspective”, Chapter 15, 2018)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Uang yang digunakan saat ini adalah uang fiat (fiat money), yakni uang yang nilainya tidak bergantung dan tidak didukung pada benda yang memiliki nilai intrinsik (seperti emas), melainkan pada kepercayaan masyarakat dan otoritas negara. Contohnya adalah Rupiah (IDR), Dolar Amerika (USD), atau Euro (EUR). Di Indonesia, satu-satunya alat pembayaran yang sah adalah Rupiah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dahulu, emas dan perak adalah uang komoditas karena memiliki nilai intrinsik dan digunakan sebagai alat tukar di banyak negara. Namun, sejak berakhirnya era standar emas pada 1971, uang fiat menggantikan emas sebagai mata uang resmi. Sejak itu pula, emas tidak lagi digunakan secara umum untuk transaksi harian.
Pandangan Ekonomi Islam terhadap Uang
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Dalam ekonomi Islam, konsep uang dibahas cukup mendalam. Uang adalah barang publik (public good) yang harus beredar di masyarakat dan tidak boleh ditimbun. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa uang adalah alat tukar, bukan komoditas.
Dalam ekonomi Islam, uang memiliki tiga fungsi utama, pertama, sebagai ukuran harga (measure of price), kedua, sebagai alat transaksi (medium of transaction), ketiga, sebagai penyimpan nilai/kekayaan (store of value/wealth). (Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, 2002, 19-22)
Terdapat beberapa pandangan ulama dalam memahami hakikat uang. Mazhab pertama menyatakan bahwa uang harus terbatas pada emas dan perak. Mazhab kedua membuka ruang lebih luas, bahwa uang bisa berbahan lain asalkan memenuhi keadilan dalam nilai. Imam al-Ghazali, misalnya, menganggap uang adalah anugerah Allah untuk menjaga keseimbangan ekonomi, bukan untuk diperjualbelikan. Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim pun berpandangan bahwa uang bukan komoditas, dan tidak boleh diperdagangkan demi keuntungan karena hal itu dapat menyebabkan kerugian sosial. Dalam pandangan An-Nabhani, emas dan perak tetap menjadi unit tukar ideal karena stabilitas nilainya.
Fungsi uang dalam Islam mirip dengan definisi ekonomi modern: sebagai alat tukar, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Perbedaannya terletak pada larangan riba dan penimbunan, serta anjuran agar uang tidak dijadikan komoditas.
Meskipun Islam idealnya menghendaki uang bernilai intrinsik, seperti emas dan perak, sebagian ulama kontemporer mengakui uang fiat sebagai uang yang sah berdasarkan ‘urf (kebiasaan masyarakat), selama diakui negara dan digunakan secara luas oleh masyarakat. (Juhro dkk, Basic Theory of Money in Islam, 2025, 302-313)
Perbandingan Emas dengan Teori Uang Ekonomi Modern
Kita perlu menguji emas berdasarkan empat fungsi uang dalam ekonomi modern:
1. Alat Tukar: Emas tidak lagi digunakan untuk transaksi harian. Tidak ada toko yang menerima emas sebagai pembayaran. Semua pembayaran dilakukan dalam mata uang resmi.
2. Satuan Hitung: Harga barang dinyatakan dalam Rupiah atau Dolar, bukan dalam gram emas.
3. Penyimpan Nilai: Emas masih unggul di sini. Emas dipercaya sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi.
4. Pembayaran Tertunda: Tidak ada kontrak utang atau cicilan yang dibayar dengan emas. Semua diselesaikan dengan mata uang fiat.
Dengan demikian, emas saat ini hanya memenuhi satu fungsi uang, yaitu sebagai penyimpan nilai. Ini menunjukkan bahwa emas tidak lagi berfungsi sebagai uang dalam praktik kehidupan ekonomi modern. Oleh karena itu, secara fungsional, emas dapat dianggap sebagai komoditas bernilai tinggi, bukan alat tukar.
Bukti Lain Status Emas Sebagai Komoditas
1. Perdagangan di Pasar Komoditas Global: Emas diperjualbelikan di bursa seperti COMEX di AS dan melalui produsen seperti Antam di Indonesia. Harganya berfluktuasi seperti komoditas lainnya.
2. Kasus Pasar Muamalah Depok (2021)
Pendiri Pasar Muamalah, Zaim Saidi diduga menggunakan dinar dan dirham dalam transaksi. Namun, pengadilan memvonis bebas dan menyatakan itu bukan pelanggaran hukum karena dianggap sebagai bentuk barter, untuk membayar zakat, pembuatan emas-peraknya dikenakan pajak (karena komoditas) dan kegiatan tersebut dinilai bukan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Mata Uang.
3. Cadangan Devisa Bank Indonesia: Meskipun Bank Indonesia menyimpan emas sebagai cadangan devisa, proporsinya sangat kecil (kurang dari 5%). Fungsinya pun bukan sebagai alat transaksi, melainkan untuk kepentingan strategis dan stabilitas moneter ekonomi jangka panjang.
Semua ini menunjukkan bahwa dalam konteks hukum negara dan praktik ekonomi, emas telah keluar dari fungsi aslinya sebagai uang, dan kini diposisikan sebagai komoditas investasi.
‘Illat Riba Emas Serta Implikasi Hukum Jual Beli Emas Tidak Tunai
Perubahan status emas dari uang menjadi komoditas memiliki dampak besar terhadap hukum transaksi dalam Islam. Sebagaimana diketahui, jual beli emas sebagai barang ribawi harus memenuhi dua syarat, yaitu miṡlan bi miṡlin (setara ukuran dan kualitas) dan Yadan bi yadin, yaitu dilakukan secara tunai di tempat dan waktu yang sama.
Namun, ketentuan ini berlaku ketika emas masih berfungsi sebagai uang. Jika emas telah berubah menjadi komoditas, maka ‘illat riba yang melekat pada emas sebagai alat tukar tidak lagi berlaku. Oleh karena itu, transaksi emas secara cicilan atau digital tidak otomatis dikategorikan sebagai riba.
Syekh Ali Jumah dalam al-Kalim al-Thayyib Fatawa ‘Ashriyah:
فيما رَوَاهُ أَبُو سَعِيدٍ الخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ" (رَوَاهُ البُخَارِيُّ). وَهُوَ مُعَلَّلٌ بِأَنَّ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ كَانَا وَسِيلَتَيِ التَّبَادُلِ وَالتَّعَامُلِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَيْثُ انْتَفَتْ هَذِهِ الحَالَةُ الآنَ فَيَنْتَفِي الحُكْمُ حَيْثُ يَدُورُ الحُكْمُ وُجُودًا وَعَدَمًا مَعَ عَلَّتِهِ.
Artinya: Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama (timbangannya), dan janganlah kalian menjual yang tidak tunai dengan yang tunai." (HR. Bukhari) Dan hadis ini disertai dengan ‘illat karena emas dan perak saat itu adalah alat tukar dalam transaksi antar manusia. Dan ketika kondisi ini (emas sebagai alat tukar) sudah tidak ada lagi sekarang, maka hukum tersebut pun tidak berlaku, karena hukum itu bergantung pada adanya atau tidak adanya ‘illat-nya.
Mayoritas ulama kontemporer, seperti Syekh Ali Jumah hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap emas sebagai komoditas, bukan alat tukar resmi memperkuat pandangan ini. (Fatwa DSN-MUI No. 77/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai).
Selama emas bukan lagi menjadi alat tukar resmi dan menjadi komoditas, maka jual beli emas tidak tunai seperti emas digital atau jual beli emas dengan cicilan itu diperbolehkan selama tetap memenuhi syarat umum jual beli emas yang sah menurut syariah, yaitu:
1. Emasnya benar-benar ada,
2. Emas dapat dimiliki fisiknya,
3. Emas yang dibeli diketahui secara jelas ukuran dan kualitasnya, dan
4. Mendapatkan bukti dokumen kepemilikan emas (jika emas digital).
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis berdasarkan kajian ekonomi, hukum dan fikih muamalah kontemporer. Sampai saat ini, Nahdlatul Ulama melalui forum resmi seperti Muktamar, Munas, maupun Bahtsul Masail belum mengeluarkan keputusan khusus terkait status emas. Karena itu, artikel ini tidak mewakili sikap resmi NU, melainkan sebagai kontribusi pemikiran untuk mendorong diskusi di kalangan umat.
Wallāhu a‘lam
Alfi Maulana, Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syari'ah
ADVERTISEMENT BY ANYMIND