Pencegahan praktik suap-menyuap dalam dunia peradilan merupakan tantangan besar bagi negara. Dalam sistem hukum yang berlaku, praktik menyuap hakim merupakan tindakan pidana yang jelas. Undang-undang telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku suap maupun penerima suap.
Sejak zaman dahulu, praktik suap-menyuap telah menjadi masalah klasik dalam dunia peradilan. Sejarah mencatat banyak kasus di mana keadilan tergadaikan akibat ulah oknum hakim yang tidak bersih. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas praktik ini, nyatanya suap menyuap masih saja terjadi hingga saat ini.
Praktik menyuap hakim memiliki dampak yang sangat luas dan merusak. Tidak hanya merugikan pihak-pihak yang berperkara, tetapi juga merusak tatanan sosial dan ekonomi. Korupsi di bidang peradilan dapat memicu ketidakstabilan politik, melemahkan investasi, dan memperparah kesenjangan sosial.
Kasus suap hakim di Indonesia merupakan masalah serius yang terus menjadi sorotan publik. Praktik korupsi ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, tetapi juga menghambat penegakan hukum yang adil dan bermartabat.
Dalam kajian fiqih, suap disebut dengan istilah risywah, yaitu harta yang diberikan kepada hakim dengan tujuan agar hakim menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar membatalkan hukum yang benar.
Hukum tindakan suap, baik bagi pemberi atau pun penerima, adalah diharamkan, karena telah jelas larangannya dalam Al-Qur’an, hadits, dan ijma’, serta termasuk dari bagian memakan harta orang lain dengan batil. Sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sa’id Muhammad Al-Khadimi dalam Kitab Buraiqah Al-Mahmudiyah (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011) juz V, halaman 71. Dalam hadits disebutkan:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ
Artinya: “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Ibnu Hibban)
Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan bahwa hukum haram dan dosa tersebut berlaku baik untuk hakim yang menerima suap, ataupun pihak yang memberi suap.
فَصْلٌ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الرِّشْوَةُ : أَيْ قَبُولُهَا وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لَهُ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنْ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ …( وَيَأْثَمُ مَنْ أَرْشَى ) الْقَاضِي لِلْخَبَرِ السَّابِقِ
Artinya: "Fasal: Diharamkan bagi hakim suap. Yaitu menerimanya. Suap yaitu sesuatu yang diberikan kepadanya untuk menetapkan hukum secara tidak benar atau untuk membatalkan hukum dengan benar... (dan orang yang menyuap hakim juga berdosa) karena hadits sebelumnya.” (Asnal Mathalib [Beirut: Darul Kutub Al-Imiyah, 2012] ju IX, halaman 203)
Keharaman suap atau risywah ini tidak hanya untuk menetapkan hukum yang yang salah. Suap juga diharamkan untuk sesuatu yang menjadi kewajiban hakim yaitu memutuskan kebenaran. hal ini disampaikan oleh Al Ghazali:
الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ
Artinya: “Harta jika diserahkan untuk tujuan akhirat maka disebut shadaqah, atau untuk tujuan dunia dan itu berupa harta, maka disebut hibah bits tsawab, atau untuk hal yang diharamkan atau yang diwajibkan, maka disebut risywah." (Ihya’ Ulumiddin [Beirut: Darul Fikr, 2018] juz III, halaman 268)
Baca selengkapnya di sini
Terpopuler
1
PWNU DKI Jakarta Potong 15 Ekor Sapi untuk Kurban Idul Adha
2
PCNU Jakut Kurban 6 Ekor Sapi dan 5 Kambing pada Idul Adha 1446 H
3
GP Ansor Jakut Kerahkan Banser Bantu Warga Terdampak Kebakaran di Kapuk Muara
4
Gubernur Jakarta Tinjau Langsung Korban Kebakaran Kapuk Muara
5
Kebakaran Hanguskan 500 Rumah di Kapuk Muara, 2.000 Jiwa Mengungsi
6
LPBINU Jakarta Dirikan Dua Tenda NU Peduli di Lokasi Kebakaran Kapuk Muara
Terkini
Lihat Semua