Bahtsul Masail

Putusan LBMNU Jakarta Soal Hukum Mengemis yang Menganggu Ketertiban Umum

Kamis, 8 Mei 2025 | 13:00 WIB

Putusan LBMNU Jakarta Soal Hukum Mengemis yang Menganggu Ketertiban Umum

Ilustrasi Pengemis. (Foto: Freepik)

Deskripsi Masalah


Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjaring sebanyak 2.070 Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) di Ibu Kota sejak Januari hingga April 2024 dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. "PPKS tersebut terdiri atas gelandangan, pengemis, anak jalanan, pemulung, tuna susila, dan disabilitas mental," ujar Kepala Dinsos DKI Premi Lasari saat dikonfirmasi wartawan.

 

Selain itu, penyandang disabilitas, korban bencana, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang (napza) juga turut terjaring. Jakarta selalu dianggap kota yang paling mudah mencari uang, tidak heran Jakarta sangat padat penduduknya. Banyak mereka warga desa sengaja datang ke Jakarta untuk mencari uang. Sebagian dari mereka yang hanya modal nekat datang ke Jakarta dan karena keterbatasan pendidikan serta keterbatasann fisik, lebih memilih untuk mencari uang dengan mengemis.


Premi merinci, penjangkauan dan penghalauan pengemis oleh Dinas Sosial tingkat provinsi sebanyak 425 orang, lalu dari Suku Dinas Sosial (Sudinsos) Jakarta Pusat 269 orang, dan Sudinsos Jakarta Utara 257 orang, Sudinsos Jakarta Barat ada 513 orang, Sudinsos Jakarta Selatan ada 275 orang, dan Sudinsos Jakarta Timur ada 331 orang (yang terjaring razia)," imbuh dia.


Banyak faktor mengapa mereka memilih untuk mengemis, diantaranya adalah malas berusaha, disabilitas fisik/cacat fisik, biaya pendidikan yang mahal, tidak adanya lapangan kerja, beranggapan bahwa lebih baik mengemis daripada menganggur, harga kebutuhan yang mahal, terlilit masalah ekonomi yang akut, untuk anak gelandangan kebanyakan mereka disuruh oleh orang tua. Dampaknya banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan pengemis di jalanan, mengganggu ketertiban, Kota terlihat kumuh bahkan perkelahian.


Premi menyampaikan, upaya yang dilakukan pemerintah daerah, yakni pembinaan berbasis lembaga kesejahteraan sosial, reunifikasi kepada keluarga dan pemulangan ke daerah asal.

 

"Dinas Sosial juga memulangkan PPKS kembali ke daerah asal. mereka kami pulangkan yang dalam keadaan terlantar, tidak memiliki biaya dengan harus dilengkapi dengan surat keterangan dari kepolisian," jelasnya. 

 

Sementara PPKS yang terjangkau, bila masih memiliki keluarga, maka akan dikembalikan kepada keluarga dengan harus terlebih memenuhi syarat-syarat. 


"Reunifikasi kepada keluarga juga kami jalankan kepada para PPKS yang memang sedang dicari oleh keluarga karena hilang seperti lansia yang alzhaimer, atau memiliki gangguan disabilitas," tutur dia.

 

Sebagai kelompok marginal, pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat sekitarnya.  Stigma  ini  mendeskripsikan  pengemis  dengan  pandangan  yang  negatif.  Pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum. 

 

“Pengemis tidak membawa perkembangan serta pembangunan yang baik untuk kota, khususnya untuk DKI Jakarta. Banyak pula masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya pengemis, terkadang para mengemis sering meminta-minta dengan memaksa, bahkan kadang bila kita tidak memberinya, pengemis itu langsung marah, itu sangat mengganggu Masyarakat,” imbuhnya.

 

Bahkan juga ditemukan oleh Dinas Sosial Provinsi DKI pengemis yang termasuk kategori keluarga berkecukupan. Pengemis itu diketahui sempat viral di media sosial beberapa waktu terakhir. Disebutkan, pengemis itu memiliki penghasilan hingga Rp11 juta dan memiliki rumah tergolong mewah Terkait hal itu, Satuan Petugas Pelayanan, Pengawasan dan Pengendalian Sosial (Satgas P3S) Jakarta Utara telah melakukan kunjungan ke rumah pengemis tersebut yang berlokasi di sekitar Teluk Gong Selatan, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara.

 

Kadinsos Provinsi DKI Jakarta, Premi Lasari mengatakan petugas telah melakukan beberapa tahapan. Yakni, upaya pencegahan, pemberi layanan kesejahteraan sosial, pembinaan, pengendalian dan pengawasan ketertiban umum dan pembinaan lanjut. Disampaikan Premi, upaya tersebut mengacu pada Pasal 6 ayat 1 Pergub DKI Jakarta Nomor 169 Tahun 2014 tentang Pola Penanganan PMKS.

 

Pertimbangan


1)    Pengemis dapat Mengganggu ketertiban dan keamanan publik.
2)    Meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas.
3)    Mengurangi kenyamanan dan kepercayaan masyarakat.
4)    Membuat citra kota terlihat kurang baik.
5)    Pengemis sebagai profesi
6)    Banyak pengemis yang berpenghasilan besar bahkan bisa jutaan perhari
7)    Kemiskinan dan pengangguran masih marak.
8)    Keterbatasan akses pendidikan dan pelatihan usaha bagi pengemis.
9)    Kurangnya dukungan sosial dan ekonomi bagi pengemis.
10)    Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.


Pertanyaan :

a)    Bagaimana Hukum meminta-minta yang mengganggu ketertiban umum? Dan bagaimana hukum bersedekah kepada mereka?
b)    Dapatkah dibenarkan larangan dari pemerintah Daerah untuk memberi uang kepada pengemis sebagaimana deskripsi di atas?

 

Jawaban :


a. Pada dasarnya hukum meminta-minta bagi orang yang terdesak kebutuhannya adalah boleh, namun ketika jadi mengganggu ketertiban umum maka meminta-minta hukumnya menjadi dilarang dengan beberapa alasan berikut:


1. Merendahkan diri
2. Cenderung memaksa
3. Berpotensi menyakiti diri sendiri atau mengganggu orang lain
4. Mengganggu ketertiban umum
5. Melanggar peraturan daerah (Perda)
 
Pada dasarnya hukum memberi atau bersedekah hukumnya sunnah namun dilarang bila mengganggu ketertiban umum karena memberi pengemis sama halnya membiarkan mereka tetap di jalanan.

 

Referensi


موعظة المؤمنين ص 298 دار النفائس
نَعَمْ يُبَاحُ السُّؤَالُ بِضَرُورَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيبَةٍ مِنَ الضَّرُورَةِ، فَالضَّرُورَةُ كَسُؤَالِ الْجَائِعِ عِنْدَ خَوْفِهِ عَلَى نَفْسِهِ مَوْتًا أَوْ مَرَضًا، وَسُؤَالُ الْعَارِي وَبَدَنُهُ مَكْشُوفٌ لَيْسَ مَعَهُ مَا يُوَارِيهِ، وَهُوَ مُبَاحٌ مَا دَامَ السَّائِلُ عَاجِزًا عَنِ الْكَسْبِ فَإِنَّ الْقَادِرَ عَلَى الْكَسْبِ وَهُوَ بَطَّالٌ لَيْسَ لَهُ السُّؤَالُ إِلَّا إِذَا اسْتَغْرَقَ طَلَبُ الْعِلْمِ أَوْقَاتَهُ، وَأَمَّا الْمُسْتَغْنِي فَهُوَ الَّذِي يَطْلُبُ الشَّيْءَ وَعِنْدَهُ مِثْلُهُ وَأَمْثَالُهُ، فَسُؤَالُهُ حَرَامٌ قَطْعًا،

حاشية قليوبي الجزء الثالث صحـ: 206 – 207
صْلٌ صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ سُنَّةٌ لِمَا وَرَدَ فِيهَا مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ،(وَتَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَكَافِرٍ) قَالَ فِي الرَّوْضَةِ يُسْتَحَبُّ لِلْغَنِيِّ التَّنَزُّهُ عَنْهَا وَيُكْرَهُ لَهُ التَّعَرُّضُ لِأَخْذِهَا وَفِي الْبَيَانِ لَا يَحِلُّ لَهُ أَخْذُهَا مُظْهِرَ الْفَاقَةِ، وَهُوَ حَسَنٌ وَفِي الْحَاوِي الْغَنِيُّ بِمَالٍ، أَوْ بِصَنْعَةٍ سُؤَالُهُ حَرَامٌ، وَمَا يَأْخُذُهُ حَرَامٌ عَلَيْهِ انْتَهَى، (وَدَفْعُهَا سِرًّا، وَفِي رَمَضَانَ وَلِقَرِيبٍ وَجَارٍ أَفْضَلُ) مِنْ دَفْعِهَا جَهْرًا، وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ، وَلِغَيْرِ قَرِيبٍ، وَغَيْرِ جَارٍ لِمَا وَرَدَ فِي ذَلِكَ مِنْ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ.

 

(وَتَحِلُّ) بِمَعْنَى يَحِلُّ قَبُولُهَا كَمَا مَرَّ بَلْ يَجِبُ عَلَى نَحْوِ مُضْطَرٍّ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ. قَوْلُهُ: (لِغَنِيٍّ) بِمَا فِي الزَّكَاةِ قَالَهُ شَيْخُنَا نَقْلًا عَنْ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ فِي شَرْحِهِ اعْتِبَارُ الْفِطْرَةِ كَ ابْنِ حَجَرٍ. قَوْلُهُ: (وَكَافِرٍ) أَيْ غَيْرِ حَرْبِيٍّ وَكَذَا لَهُ مَعَ رَجَاءِ إسْلَامٍ أَوْ قَرَابَةٍ مَثَلًا. قَوْلُهُ: (وَيُكْرَهُ) هُوَ بَيَانٌ لِمَفْهُومِ يُسْتَحَبُّ وَتَفْسِيرٌ لِلْمُرَادِ بِالتَّنَزُّهِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا يَعُمُّ قَبُولَهَا، وَسُؤَالُهُ وَلَوْ بِلِسَانِ الْحَالِ وَهَذَا إذَا لَمْ يُظْهِرْ الْفَاقَةَ كَمَا يَأْتِي. قَوْلُهُ: (لَا يَحِلُّ لَهُ) أَيْ يَحْرُمُ أَخْذًا مِمَّا بَعْدَهُ. قَوْلُهُ: (أَوْ بِصَنْعَةٍ) وَكَذَا بِكَسْبٍ. قَوْلُهُ: (سُؤَالُهُ حَرَامٌ) أَيْ عِنْدَ إظْهَارِ الْفَاقَةِ أَوْ مَعَ إلْحَاحٍ أَوْ إيذَاءٍ لِنَفْسِهِ أَوْ لِلْمَسْئُولِ أَوْ إلْجَاءٍ إلَى الْإِعْطَاءِ لِحَيَاءٍ مِنْهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ.

قَوْلُهُ: (وَمَا يَأْخُذُهُ حَرَامٌ عَلَيْهِ) أَيْ عِنْدَ شَيْءٍ مِمَّا تَقَدَّمَ، أَوْ عِنْدَ فَقْدِ صِفَةٍ أَعْطَى لِأَجْلِهَا قَالَ شَيْخُنَا: وَحَيْثُ حَرُمَ لَا يَمْلِكُ مَا أَخَذَهُ، وَيَجِبُ رَدُّهُ إلَّا إذَا عَلِمَ الْمُعْطِي بِحَالِهِ فَيَمْلِكُهُ، وَلَا حُرْمَةَ إلَّا إنْ أَخَذَهُ بِسُؤَالٍ أَوْ إظْهَارِ فَاقَةٍ فَيَمْلِكُهُ مَعَ الْحُرْمَةِ، وَفِي شَرْحِ شَيْخِنَا وَحَيْثُ أَعْطَاهُ عَلَى ظَنِّ صِفَةٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهَا وَلَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ لَمْ يَمْلِكْ مَا أَخْذَهُ، ثُمَّ قَالَ: وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي سَائِرِ عُقُودِ التَّبَرُّعِ كَهِبَةٍ وَهَدِيَّةٍ وَوَقْفٍ وَنَذْرٍ وَوَصِيَّةٍ فَرَاجِعْهُ.


الغرر البهية الجزء الخامس صحـ: 231
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَكَافِرٍ قَالَ فِي الرَّوْضَةِ وَيُسْتَحَبُّ لِلْغَنِيِّ التَّنَزُّهُ عَنْهَا وَيُكْرَهُ لَهُ التَّعَرُّضُ لَهَا وَفِي الْبَيَانِ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهَا مُظْهِرًا لِلْفَاقَةِ قَالَ وَهُوَ حَسَنٌ وَعَلَيْهِ حُمِلَ «قَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الَّذِي مَاتَ مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ فَوَجَدُوا لَهُ دِينَارَيْنِ كَيَّتَانِ مِنْ نَارٍ» قَالَ وَأَمَّا سُؤَالُهَا فَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ إنْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا بِمَالٍ أَوْ بِصَنْعَةٍ فَحَرَامٌ وَمَا يَأْخُذُهُ حَرَامٌ وَمَتَى تَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كُرِهَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهُ مِنْ جِهَةِ مَنْ دَفَعَهُ إلَيْهِ بِمُعَاوَضَةٍ أَوْ هِبَةٍ وَلَا بَأْسَ بِمِلْكِهِ مِنْهُ بِالْإِرْثِ وَلَا بِتَمَلُّكِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ..

(قَوْلُهُ: وَيُكْرَهُ لَهُ التَّعَرُّضُ) فِي م ر أَنَّ الْغَنِيَّ يَحْرُمُ عَلَيْهِ السُّؤَالُ وَإِنْ لَمْ يُظْهِرْ الْفَاقَةَ نَقَلَهُ عَنْ الْإِحْيَاءِ وَسَيَأْتِي فِي الشَّرْحِ فَلَعَلَّ الْمُرَادَ بِالتَّعَرُّضِ لَهَا الْجُلُوسُ فِي مَوَاضِعِهَا مَثَلًا (قَوْلُهُ: وَيُكْرَهُ لَهُ التَّعَرُّضُ لَهَا) أَيْ وَإِنْ لَمْ يَكْفِهِ مَالُهُ أَوْ كَسْبُهُ  ا يَوْمًا وَلَيْلَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهَا إنْ أَظْهَرَ الْفَاقَةَ وَلَا يَمْلِكُ مَا أَخَذَهُ إنْ ظَنَّهُ الدَّافِعُ مُتَّصِفًا بِهَا؛ لِأَنَّهُ قَبَضَهُ بِلَا رِضًى مِنْ صَاحِبِهِ إذْ لَمْ يَسْمَحْ لَهُ إلَّا عَلَى ظَنِّ الْفَاقَةِ وَفِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَغَيْرِهِ مَتَى أَذَلَّ نَفْسَهُ أَوْ أَلَحَّ فِي السُّؤَالِ أَوْ آذَى الْمَسْئُولَ حَرُمَ اتِّفَاقًا وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا كَمَا أَفْتَى بِهِ ابْنُ الصَّلَاحِ أَيْ إلَّا أَنْ يُضْطَرَّ سم وَفِي الْإِحْيَاءِ مَتَى أَخَذَ مَنْ جَوَّزْنَا لَهُ الْمَسْأَلَةَ عَالِمًا بِأَنَّ بَاعِثَ الْمُعْطِي الْحَيَاءُ مِنْهُ أَوْ مِنْ الْحَاضِرِينَ وَلَوْلَاهُ لَمَّا أَعْطَاهُ فَهُوَ حَرَامٌ إجْمَاعًا وَيَلْزَمُهُ رَدُّهُ وَحَيْثُ أَعْطَاهُ عَلَى ظَنِّ صِفَةٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهَا وَلَوْ عَلِمَ مَا بِهِ لَمْ يُعْطِهِ لَمْ يَمْلِكْ الْأَخْذَ مَا أَخَذَهُ. اهـ. شَرْحُ م ر عَلَى الْمِنْهَاجِ وَعُلِمَ مِنْهُ أَنَّ الْإِيذَاءَ وَالْإِلْحَاحَ وَالْإِذْلَالَ حَرَامٌ لَكِنَّهُ يَمْلِكُ الْمَدْفُوعَ لَهُ كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا الذَّهَبِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ -.


(قَوْلُهُ: وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا) أَيْ بِمَا يَكْفِيهِ مِنْ ذَلِكَ يَوْمًا وَلَيْلَةً (قَوْلُهُ: أَيْضًا وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا) أَيْ فِي غَيْرِ مَا اُعْتِيدَ سُؤَالُهُ. اهـ. ع ش (قَوْلُهُ: أَيْضًا وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا) فِي الْإِحْيَاءِ سُؤَالُ الْغَنِيِّ حَرَامٌ إنْ وَجَدَ مَا يَكْفِيهِ هُوَ وَمُمَوَّنَهُ يَوْمَهُمْ وَلَيْلَتَهُمْ وَسِتْرَتَهُمْ وَآنِيَةً يَحْتَاجُونَ إلَيْهَا قَالَ م ر وَالْأَوْجَهُ جَوَازُ سُؤَالِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ بَعْدَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إنْ كَانَ السُّؤَالُ عِنْدَ نَفَادِ ذَلِكَ غَيْرَ مُتَيَسِّرٍ وَإِلَّا امْتَنَعَ. اهـ.


حاشية البجيرمي على المنهج الجزء الثالث ص 374
ويكره له التعرض لأخذها، ويستحب له التنزه عنها، بل يحرم عليه أخذها إن أظهر الفاقة، أو سأل، بل يحرم سؤاله أيضا
)قوله: إن أظهر الفاقة( كأن يقول ليس عندي شيء أتقوت به، أو لم آكل الليلة شيئا لعدم وجود شيء عندي ح ل وأفهم قوله إن أظهر الفاقة أنه لا يحرم عليه السؤال لمن يعرف ع ش على م ر )قوله: أو سأل(، ولو بلسان حاله ب ر )قوله بل يحرم سؤاله( واستثنى في الإحياء من تحريم سؤال القادر على الكسب ما لو كان يستغرق الوقت في طلب العلم وفيه أيضا سؤال الغني حرام إن وجد ما يكفيه هو وممونه يومهم وليلتهم وسترتهم وآنية يحتاجون إليها والأوجه جواز سؤال ما يحتاج إليه بعد يوم وليلة إن كان السؤال عند نفاد ذلك غير متيسر وإلَّ امتنع شرح م ر.

 

تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج 7 ص 179
وَفِيهِ أَيْضًا سُؤَالُ الْغَنِيِّ حَرَامٌ بِأَنْ وَجَدَ مَا يَكْفِيهِ هُوَ وَمُمَوِّنُهُ يَوْمَهُمْ وَلَيْلَتَهُمْ وَسُتْرَتَهُمْ وَآنِيَةً يَحْتَاجُونَ إلَيْهَا، وَهَلْ لَهُ سُؤَالُ مَا يَحْتَاج إلَيْهِ بَعْدَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؟ . يُنْظَرُ إنْ كَانَ السُّؤَالُ مُتَيَسِّرًا عِنْدَ نَفَادِ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ، وَإِلَّا جَازَ أَنْ يَطْلُبَ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِسَنَةٍ. اهـ.
وَنَازَعَ الْأَذْرَعِيُّ فِي التَّحْدِيدِ بِالسَّنَةِ وَبَحَثَ جَوَازَ طَلَبِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ إلَى وَقْتٍ يَعْلَمُ عَادَةً تَيَسُّرَ السُّؤَالِ وَالْإِعْطَاءِ فِيهِ لَا يَحْرُمُ عَلَى مَنْ عَلِمَ غِنَى سَائِلٍ، أَوْ مُظْهِرٍ لِلْفَاقَةِ الدَّفْعُ إلَيْهِ فِيمَا يَظْهَرُ خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ؛ لِأَنَّ الْحُرْمَةَ إنَّمَا هِيَ لِتَغْرِيرِهِ بِإِظْهَارِ الْفَاقَةِ مَنْ لَا يُعْطِيهِ لَوْ عَلِمَ غِنَاهُ فَمَنْ عَلِمَهُ، وَأَعْطَاهُ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ تَغْرِيرٌ، ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَهُمْ رَدَّ عَلَيْهِ بِتَصْرِيحِ شَرْحِ مُسْلِمٍ بِعَدَمِ الْحُرْمَةِ، وَظَاهِرٌ أَنَّ سُؤَالَ مَا اُعْتِيدَ سُؤَالُهُ بَيْنَ الْأَصْدِقَاءِ، وَنَحْوِهِمْ مِمَّا لَا يُشَكُّ فِي رِضَا بَاذِلِهِ، وَإِنْ عُلِمَ غِنَى آخِذِهِ كَقَلَمٍ، وَسِوَاكٍ لَا حُرْمَةَ فِيهِ لِاعْتِيَادِ الْمُسَامَحَةِ بِهِ، وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ، أَوْ صَلَاحٍ، أَوْ نَسَبٍ بِأَنْ تَوَفَّرَتْ الْقَرَائِنُ أَنَّهُ إنَّمَا أُعْطِيَ بِهَذَا الْقَصْدِ، أَوْ صَرَّحَ لَهُ الْمُعْطِي بِذَلِكَ، وَهُوَ بَاطِنًا بِخِلَافِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا، وَمِثْلُهُ مَا لَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ الْمُعْطِي لَمْ يُعْطِهِ،


كتاب من أصول الفقه على منهج أهل الحديث, [زكريا بن غلام قادر الباكستاني] 162
(القاعدة الثالثة: ما أدى إلى محرم فهو محرم)
ما أدى إلى محرم فهو محرم فعله، كما لو أدى فعل نافلة إلى ترك فريضة كالذي يصلي بالليل طويلاً وينام عن صلاة الفجر، فإنه لا يشرع له قيام الليل إذا كان ذلك سببا لتركه صلاة الفجر. أو أدى فعل مباح إلى فعل محرم، كما لو إذا خلى وحده ارتكب المحرمات، فإنه لا يشرع له أن يخلوا لوحده إذا كان ذلك سبباً للوقوع في الحرام أو أدى فعلٌ إلى الإحتيال على أمر محرم فهو محرم، 


b.  Undang-undang pemerintah Daerah terkait larangan memberi kepada pengemis dapat dibenarkan karena mengandung maslahat berupa (Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40) :
1.    Menjaga etos kerja Masyarakat
2.    Upaya terciptanya fasilitas umum yang tertib dan nyaman
3.    menjaga martabat kemanusiaan

 

Referensi


بغية المسترشدين - )ص (91 )دار الفكر(
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.


الشرواني جـ 10 صـ 69
(قَوْلُهُ: ظَاهِرًا وَبَاطِنًا) فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ طَاعَتُهُ فِيمَا لَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَا مَكْرُوهٍ وَمِنْ مَسْنُونٍ وَكَذَا مُبَاحٌ إنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَالْوَاجِبُ يَتَأَكَّدُ وُجُوبُهُ بِأَمْرِهِ بِهِ وَمِنْ هُنَا يُعْلَمُ أَنَّهُ إذَا نَادَى بِعَدَمِ شُرْبِ الدُّخَانِ الْمَعْرُوفِ الْآنَ وَجَبَ عَلَيْهِمْ طَاعَتُهُ، وَقَدْ وَقَعَ سَابِقًا مِنْ نَائِبِ السُّلْطَانِ أَنَّهُ نَادَى فِي مِصْرَ عَلَى عَدَمِ شُرْبِهِ فِي الطُّرُقِ وَالْقَهَاوِي فَخَالَفَ النَّاسُ أَمْرَهُ فَهُمْ عُصَاةٌ إلَى الْآنَ إلَّا مَنْ شَرِبَهُ فِي الْبَيْتِ فَلَيْسَ بِعَاصٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنَادَ عَلَى عَدَمِ شُرْبِهِ فِي الْبَيْتِ أَيْضًا وَلَوْ رَجَعَ الْإِمَامُ عَمَّا أَمَرَ لَمْ يَسْقُطْ الْوُجُوبُ شَيْخُنَا وَقَوْلُهُ فَهُمْ عُصَاةٌ إلَى الْآنَ فِيهِ نَظَرٌ بَلْ الْأَقْرَبُ مَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ وُجُوبَ امْتِثَالِ أَمْرِ الْإِمَامِ إنَّمَا هُوَ فِي مُدَّةِ إمَامَتِهِ فَلَا يَجِبُ بَعْدَ مَوْتِهِ وَقَوْلُهُ وَلَوْ رَجَعَ الْإِمَامُ إلَخْ مَرَّ مِثْلُهُ عَنْ ع ش مَعَ مَا فِيهِ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِي أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ مَا لَمْ يُخَالِفْ الشَّرْعَ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَأْمُرْ بِمُحَرَّمٍ وَهُوَ هُنَا لَمْ يُخَالِفْهُ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَمَرَ بِمَا نَدَبَ إلَيْهِ الشَّرْعُ وَقَوْلُهُمْ يَجِبُ امْتِثَالُ أَمْرِهِ فِي التَّسْعِيرِ إنْ جَوَّزْنَاهُ أَيْ كَمَا هُوَ رَأْيٌ ضَعِيفٌ نَعَمْ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ مَا أَمَرَ بِهِ مِمَّا لَيْسَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ لَا يَجِبُ امْتِثَالُهُ إلَّا ظَاهِرًا فَقَطْ بِخِلَافِ مَا فِيهِ ذَلِكَ يَجِبُ بَاطِنًا أَيْضًا.  قَوْلُهُ: مَا لَمْ يُخَالِفْ إلَخْ) هَذَا يُفِيدُ وُجُوبَ الْمُبَاحِ إذَا أَمَرَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُخَالِفُ حُكْمَ الشَّرْعِ وَنَقَلَ سم عَلَى الْمَنْهَجِ عَنْ مَرَّ آخِرًا اشْتِرَاطَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَأَنَّهُ إذَا أَمَرَ بِالْخُرُوجِ إلَى الصَّحْرَاءِ لِلِاسْتِسْقَاءِ وَجَبَ انْتَهَى وَفِي حَجَرٍ أَنَّهُ إنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ أَيْ لَيْسَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَجَبَ ظَاهِرًا أَوْ بِمَنْدُوبٍ أَوْ بِمَا فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَجَبَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا انْتَهَى وَخَرَجَ بِالْمُبَاحِ الْمَكْرُوهُ كَأَنْ أَمَرَ بِتَرْكِ رَوَاتِبِ الْفَرْضِ فَلَا تَجِبُ طَاعَتُهُ فِي ذَلِكَ لَا ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا مَا لَمْ يُخْشَ الْفِتْنَةُ وَنُقِلَ بِالدَّرْسِ عَنْ فَتَاوَى الشَّارِحِ مَرَّ مَا يُوَافِقُهُ 


الأحكام السلطانية ج 2 ص 299
والتاسع: إنَّ له اجتهاد رأيه فيما تعلق بالعرف دون الشرع؛ كالمقاعد في الأسواق وإخراج الأجنحة فيه، فيقر وينكر من ذلك ما أدَّاه اجتهاده إليه

الأحكام السلطانية صـ 188 )دار الفكر(
أمَّا القسم الثالث: وهو ما اختص بأفنية الشوارع والطرق فهو موقوف على نظر السلطان، وفي نظره وجهان:
أحدهما: أن نظره فيه مقصور على كفهم عن التعدي، ومنعهم من الإضرار، والإصلاح بينهم عند التشاجر، وليس له أن يقيم جالسًا، ولا أن يقدّم مؤخرًا، ويكون السابق إلى المكان أحق به من المسبوق. الوجه الثاني: أنَّ نظره فيه نظر مجتهد فيما يراه صلاحًا في إجلاس من يجلسه، ومنع من يمنعه، وتقديم من يقدمه، كما يجتهد في أموال بيت المال وإقطاع الموات، ولا يجعل السابق أحق، وليس له على الوجهين أن يأخذ منهم على الجلوس أجرًا. وإذا تركهم على التراضي كان السابق منهما إلى المكان أحق به من المسبوق، فإذا انصرف عنه كان هو وغيره من الغد فيه سواء يراعى فيه السابق إليه، وقال مالك: إذا عرف أحدهم بمكان وصار به مشهورًا، كان أحق به من غيره قطعًا للتنازع وحسمًا للتشاجر، واعتبار هذا وإن كان له في المصلحة وجه يخرجه عن حكم الإباحة إلى حكم الملك.


الغياثي صـ 97
)على الإمام حماية البلاد من اللصوص وقطاع الطرق( وأما نفض العرامة من خطة السَّلام ففيه انتظام الأحكام ولَّ تصفو نعمة عن الأقذاء مالم يأمن أهل الإقامة والأسفار من الأخطار والأغرار فإذا اضطربت الطرق وانقطعت الرفاق وانحصر الناس في البلاد وظهرت دواعي الفساد ترتب عليه غلاء الأسعار وخراب الديار وهو اجس الخطوب الكبار فالأمن والعافية قاعدتا النعم كلها، ولا يهنأ بشيئ منها دونها، فلمنهض الإمام لهذا المهم، وليوكل بذلك الذين يخفون، وإذا حزب خطب لا يتواكلون ولَّ يتجادلون ولا يركانون إلى الدعاة والسكون، ويتسارعون إلى لقاء الأشرار بدار الغرش إلى النار، فليس للناجمين من المتلصصين مثل أن يبادروا قبل أن يتجمعوا ويتألبوا وتتحد كلمتهم و يستقر قدممهم، ثم يندب لكل صقع من ذوي البأس من يستقل بكفاية هذا المهم وإذا تمهدت الممالك، وتوطدت المسالك، انتشر الناس في حوائجهم ودرجوا في مدارجهم وتقادفت اخبار الديار مع تقاصي المزار إلى الإمام وصارت خطت الإسلام كأنها بمرأى منه ومسمع واتسق أمر الدين والدنيا واطمأن إلى الأمنة الورى والإمام في حكم البدرقة في اليلاد للسفرة والحاضرة فليكلأهم بعين ساهرة بطشة قاهرة


موعظة المؤمنين ص 298 دار النفائس
نَعَمْ يُبَاحُ السُّؤَالُ بِضَرُورَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيبَةٍ مِنَ الضَّرُورَةِ، فَالضَّرُورَةُ كَسُؤَالِ الْجَائِعِ عِنْدَ خَوْفِهِ عَلَى نَفْسِهِ مَوْتًا أَوْ مَرَضًا، وَسُؤَالُ الْعَارِي وَبَدَنُهُ مَكْشُوفٌ لَيْسَ مَعَهُ مَا يُوَارِيهِ، وَهُوَ مُبَاحٌ مَا دَامَ السَّائِلُ عَاجِزًا عَنِ الْكَسْبِ فَإِنَّ الْقَادِرَ عَلَى الْكَسْبِ وَهُوَ بَطَّالٌ لَيْسَ لَهُ السُّؤَالُ إِلَّا إِذَا اسْتَغْرَقَ طَلَبُ الْعِلْمِ أَوْقَاتَهُ، وَأَمَّا الْمُسْتَغْنِي فَهُوَ الَّذِي يَطْلُبُ الشَّيْءَ وَعِنْدَهُ مِثْلُهُ وَأَمْثَالُهُ، فَسُؤَالُهُ حَرَامٌ قَطْعًا

 

Ibaroh


قال الإمام الشافعي" :لا ضرر ولا ضرار، والإنسان لا يجوز له أن يتسبب في ضرر للآخرين حتى وإن كانت نيته في البداية حسنة

 

Hasil Bahtsul Masail disahkan pada Selasa, 24 Desember 2024 di Bogor oleh Ketua Sidang Komisi Waqiiyyah, KH. Tatang Hidayat, Ketua LBMNU DKI Jakarta KH Masrur Ainun Najih dan Sekretaris LBMNU DKI Jakarta Achmad Fuad