Ketua MUI Larang Praktik Politik Identitas Jelang Pemilihan Umum 2024
Bandung, NU Online Jakarta
Menjelang tahun politik 2024, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH M Cholil Nafis melarang praktik politik identitas. Menurutnya, politik yang eksklusif dapat menciptakan permusuhan akibat memilih pemimpin berdasarkan identitas yang melekat bukan sebuah prestasi.
"Politik identitas ini yang dilarang, karena politik identitas itu sebuah terminologi tentang aktivitas politik yang ekslusif, yaitu memilih preferensi politik berdasar suku, ras dan agama dengan memandang preferensi pilihan politik di luar itu salah dan dia cenderung memusuhinya," katanya saat sambutan Silaturahmi Komisi Dakwah MUI dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung di Gedung Rektorat Unpas, Ahad (28/5/2023).
Kiai Cholil memandang orang yang melakukan politik identitas akan menilai seseorang yang berbeda dengan dirinya sebagai kesalahan yang luar biasa sehingga tidak bisa dimaafkan.
“Yang terpenting tidak memandang orang di luar dirinya itu sebagai musuh atau sampai menghukumi dengan hukum tertentu, misal munafik, kafir dan lain sebagainya. Atau sikap-sikap yang merasa paling benar sendiri," katanya.
Kiai Cholil mengajak umat Islam untuk memilih saat pemilihan kepala daerah. Baginya, pembangunan bangsa dimulai dari memilih pemimpin yang terbaik.
"Umat Islam hendaknya tidak golput (golongan putih/tidak memilih) saat pemilu nanti karena golput itu dapat membahayakan bangsa, juga umat Islam hendaknya menjadikan pemilu ini sebagai ajang untuk memilih pemimpin bukan mencari musuh atau bahkan membuat permusuhan," ungkapnya.
Kiai Cholil menceritakan saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Menurutnya, menjelang Pemilu digelar terjadi kerawanan sosial akibat terjadinya politik yang memecah belah umat yang mengakibatkan polarisasi dari sisi agama, ras, suku, antargolongan dan lain-lain.
“Politik yang dapat memecahbelah umat sangat membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI sebagai Negara yang majemuk dan dapat merusak prinsip bhineka tunggal ika,” ujarnya.
Dia menegaskan untuk itu, perlu adanya kesepahaman pengelola tempat ibadah untuk tidak menjadikan tempat ibadah sebagai ajang kampanye politik praktis dan ajang penyebaran politik yang dapat memecahbelah umat.
"Sebaliknya tempat ibadah dapat dijadikan sebagai arena pendidikan politik umat agar umat memiliki kedewasaan dalam menghadapi perbedaan preferensi politik menjalang pemilu," tutupnya.
Editor: Haekal Attar